My Coldest CEO

Seratus empat puluh dua



Seratus empat puluh dua

0Mau tahu bagaimana suasana antara D. Krack dengan Orlin yang membentuk sebuah atmosfer awkward di sekitar mereka? Dan ya, kini langsung saja masuk ke dalam jalan cerita.     

...     

"AKU INGIN IKUT, KENAPA AKU DITURUNKAN DI DEPAN RUMAHKU?! DASAR LAKI-LAKI TIDAK JELAS!"     

Pekikan itu, astaga... tidak perlu di jelaskan lagi siapa sang pemilik suara. Suara penuh ciri khas yang tanpa di terka pun sudah di ketahui banyak orang yang mengenalnya.     

Orlin menatap tajam ke arah D. Krack yang masih dengan santai berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang menyilang di depan dada. Raut wajahnya tegas, bahkan tidak menunjukkan ekspresi takut ataupun gemetar sedikit pun.     

Mendengar pekikan yang membuat gendang telinga menjadi berdengung, D. Krack mengernyitkan dahinya untuk menetralisir suara melengking tersebut. Untung saja kini mereka berada di pekarangan rumah gadis yang tengah menatapnya sebal, ini semua adalah ide Erica. "Jangan berisik, nanti aku di sangka menyakiti dirimu atau lebih parahnya lagi berbuat macam-macam." ucapnya sambil menghembuskan napasnya. Kalau saja yang berhadapan dengannya kini bukan seorang gadis, ia mungkin saja akan langsung meninggalkan dirinya tanpa banyak bicara dan berbasa-basi.     

Dengan senyum yang di tekuk, Orlin menatap D. Krack dari atas sampai bawah. "Kamu tuh siapa sih?! Aku mau tahu keadaan sahabatku, kenapa kamu membawa ku pulang ke rumah?!" ucapnya yang kini sudah menurunkan volume suara, lebih kecil dari sebelumnya, tapi tak ayal masih terdengar nyaring karena gadis ini berseru.     

"Jangan banyak tanya, Erica menyuruhku untuk membawa mu kesini." balas D. Krack masih dengan rasa sabar yang membingkai kuat di sepanjang tubuhnya. Kalau tidak, ia sudah pasti akan berteriak kesal juga. Ini adalah pertama kalinya ia menghadapi seorang gadis dengan sifat berisik namun menunjukkan sorot khawatir seperti ini. Ia memang sedikit bingung, namun berkat informasi dari media sosial yang tidak sengaja tertampil di beranda membuat dia tahu bagaimana cara menaklukkan seorang gadis.     

Memberi perhatian, mengalah, dan tentunya bersikap tenang dan juga hangat. Astaga, ia bahkan masih belum mahir mengendalikan sifat yang seperti itu. Karena biasanya, hanya Erica saja yang masuk ke dalam hidupnya. Dan tentunya sudah dapat di tebak jika gadis itu terlalu dingin dan pendiam untuk porsi seorang gadis.     

Ini adalah salah satu dari sekian juta alasan dirinya tidak ingin memiliki gadis spesial di dalam hidupnya. Selain banyak tanya, merepotkan, pasti akan membuang-buang waktu dengan pembahasan yang tidak penting sama sekali. Dan ya, hal itu memberikan sebuah pencerahan pada dirinya sendiri jika sendiri adalah pilihan yang paling tepat.     

"Tapi kenapa?" tanya Orlin dengan lesu. Tangan kanannya memegang tas jinjing yang tadi pagi ia bawa ke kantor, sedangkan tangan kirinya kini sudah memegang body mobil milik Xena supaya tubuhnya tidak merosot karena merasa lemas. Orang-orang tengah berlomba-lomba untuk menyelamatkan salah satu sahabatnya, dan ia malah uncang kaki di rumah? Tidak, itu sama sekali tidak setimpal.     

Apalagi Erica yang gemar sekali menyuruh dirinya untuk diam dan tidak melakukan apapun. Katanya sih untuk kebaikan bersama, jika dirinya ikut terjerat di dalam masalah pasti semuanya akan lebih sulit lagi. Tapi kan ia ingin sekali menunjukkan rasa peduli dengan ikut turun tangan.     

"Erica peduli, makanya tida membiarkan mu untuk ikut turun di kondisi yang berbahaya ini." ucap D. Krack sambil menampilkan sebuah senyuman yang terlihat simpul, namun berwibawa. Lengan kekar yang terlihat di tubuhnya itu menambah poin plus untuk mendukung ekspresinya saat ini. Entah kenapa, ia memang mendukung keputusan Erica untuk membawa gadis satu ini kembali kerumahnya supaya bisa beristirahat. Toh kelihatan dari wajah Orlin yang tampak frustasi, mungkin gadis itu memiliki banyak kepikiran. Raut wajah yang cemas bercampur aduk dengan sedih itu pun memang pantas untuk di suruh beristirahat.     

Mendengar ucapan D. Krack, sebuah senyuman kecil hadir di wajah Orlin. "Kalau begitu, terimakasih banyak, laki-laki kekar." ucapnya sambil menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan D. Krack. Ia sadar dan menerima jika Erica mengamanahkan hal itu pada laki-laki ini. Sahabatnya yang satu itu memang selalu saja mengutamakan keselamatannya dan memberikan tugas ringan yang tidak berbahaya.     

Melarang sama artiannya dengan perhatian yang tersirat. Satu pelajaran hidup yang perlu di tanamkan pada kehidupan karena akan tetap berguna di sepanjang hidup tanpa di sadari.     

D. Krack terkekeh kecil mendengar ucapan Orlin yang memanggil dirinya dengan sebutan 'laki-laki kekar'. Toh kenapa tidak berkenalan saja? Dengan menatap penuh ragu ke juluran tangan Orlin, ia menghembuskan napasnya secara perlahan. "Terimakasih kembali, panggil saja D. Krack." ucapnya sambil menyambut juluran tangan gadis tersebut lalu menghentakkan tangan mereka secara perlahan.     

Orlin mengangguk paham, lalu menarik tangannya yang menjadi simbol berkenalan dengan D. Krack ini. Astaga ia malu, kenapa memanggil laki-laki di hadapannya dengan panggilan seperti itu? "Eh? Lebih baik aku memanggil mu sebagai laki-laki berwibawa saja, dan nama ku Roseline Damica, panggil saja Orlin." ucapnya mengeluarkan sederet kalimat yang lebih konyol lagi.     

D. Krack menganggukkan kepala lalu beralih mengangkat bahunya, ia sama sekali tidak setuju dengan nama panggilan tersebut, namun tidak buruk juga. "Jangan panggil seperti itu, tidak cocok. Aku sama seperti Sean, bahkan aku akses segala macam tindakan kriminalitas dunia." ucapnya dengan nada kecil takut ada yang mendengar. Padahal kalau boleh jujur, pekarangan rumah Orlin ini cukup sepi karena komplek, lebih dominan di tempati orang-orang sibuk yang tidak ada waktu untuk keluar rumah dan berbaur satu sama lain.     

Orlin menutup mulutnya dengan refleks, ia merasa terkejut dengan pengakuan D. Krack. "Jangan bunuh aku!" serunya dengan cepat sambil mengibaskan tangannya di hadapan D. Krack, bertindak seperti menyuruh laki-laki yang berada di hadapannya ini untuk segera menjauh.     

Melihat ekspresi Orlin yang berubah-ubah, tentu saja membuat D. Krack geleng-geleng kepala. "Tidak mungkin, aku juga memiliki banyak pekerjaan lebih penting daripada menewaskan seorang gadis lugu seperti mu." ucapnya sambil terkekeh.     

Orlin menghembuskan napasnya dengan lega. Untung saja D. Krack baik, kalau tidak pasti sekarang nasibnya sudah seperti sarden kalengan yang berada di supermarket. "Syukurlah, sepertinya aku harus puji Tuhan atas kebaikan mu." ucapnya sambil membungkukkan sedikit badannya, pertanda ucapan terimakasih karena laki-laki tersebut tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Ah memang pikirannya saja yang selalu melenceng ke arah sebaliknya.     

D. Krack hanya menganggukkan kepalanya, lalu menoleh ke arah mobil yang tadi ia kendarai. "Milik siapa mobilnya?" tanyanya sambil menunjuk mobil yang berada di sampingnya menggunakan dagu. Karena setahunya, Vrans tidak pernah memiliki mobil dengan model seperti ini.     

"Oh itu punya Xena, tidak sih itu milik Tuan tampan." ucap Orlin sambil meralat ucapannya untuk pembicaraan yang kedua kalinya. Ia perlu meralat karena apa milik Xena, pasti berasal dari Vrans. Laki-laki yang selalu pengertian dan memenuhi segala kebutuhan sahabatnya itu.     

D. Krack membulatkan mulutnya, membentuk O kecil yang tercetak jelas di wajahnya. "Aku ingin melanjutkan perjalanan," ucapnya sambil menunjuk ke arah belakangnya yang mengarahkan jalanan untuk keluar dari kawasan perumahan mewah ini menggunakan ibu jari tangan kanannya.     

"Kemana?" tanya Orlin dengan rasa penasaran yang menceruak kental. Ia menyipitkan kedua bola matanya, berharap supaya laki-laki ini tidak berkata apapun yang penuh kebohongan.     

"Membantu Sean dan Hana, sepertinya mereka membutuhkan bantuan." ucapnya sambil mengeratkan sarung tangan hitam yang di modifikasi bisa mengeluarkan 5 besi tajam berukuran jari dan juga racun yang bisa di kendalikan semaunya.     

Orlin menganggukkan kepalanya. Begitu mendengar nama Erica, hatinya langsung menghangat. Ia sangat beruntung memiliki sahabat yang setenang dan seperhatian itu. "Pastikan kedua sahabatku baik-baik saja," ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman. Ia mengelus lengan kanan dengan tangan kirinya karena sapuan udara siang hari terasa cukup menyegarkan.     

"Tentu saja, kita akan memberikan pelajaran pada Hana dan menewaskan dia, bukan sebaliknya." Dengan anggukan yang penuh keyakinan, sorot matanya menatap dalam ke arah manik mata Orlin. Ia memberikan sebuah janji yang tidak akan pernah bisa diingkari, dan ia adalah penepat janji yang paling mahir.     

Setelah merasa cukup membuang-buang waktu untuk menenangkan Orlin, D. Krack langsung saja berpamitan kecil dengan pengakhiran 'see you'. Ia langsung masuk ke dalam mobil, lalu tidak ingin berbasa-basi lagi.     

Memakai seatbelt untuk keamanan saat berkendara, lalu melajukan mobilnya untuk keluar dari perumahan elite ini.     

"Pasti setiap laki-laki juga merasakan hal ini, repot sekali mengurusi satu orang gadis. Lebih baik ngurusin deretan pistol di ruang senjata daripada seperti ini." gumamnya sambil mengusap peluh yang sedikit terlihat di pelipisnya. Stay cool pun tidak memungkinkan dirinya untuk berkeinginan meninggalkan gadis bernama Orlin itu.     

Ia yakin seratus persen kalau kekasih dari gadis itu memiliki tingkat sabar uang tinggi. Oh ia ingin menebak. Apa jangan-jangan mereka lebih terlihat seperti budak cinta yang di mabuk asmara?     

Darimana dirinya tahu Orlin memiliki kekasih? Toh di balik case ponsel gadis itu saja foto bersamaan seorang laki-laki dengan berbagai pose yang tentu saja tidak pernah ia tampilkan seumur hidup.     

Baiklah, sepertinya ia harus move on dengan topik pembicaraan satu ini.     

Laju mobilnya mulai memasuki jalan raya kembali, membalap semua kendaraan yang satu jalur dengan dirinya.     

Bagaimana pun juga, ia harus dengan segera sampai di lokasi yang telah ditunjukkan oleh Sean di map ponsel. Ia pun tidak sabar untuk ikut masuk ke dalam permainan yang di buat oleh Hana.     

Pertanyaan hanya satu, sejauh mana kemampuan Hana untuk menyiapkan segala sistem pertahanan selama berbulan-bulan ini? Ia juga ingin melihat sudah sampai mana ketangguhan gadis itu yang bernotabene berhenti berbulan-bulan dalam ruang lingkup kriminal di dunia dengan bersembunyi di isu dan rumor mengenai kematiannya.     

Bukan hanya dirinya yang menunggu kematian Hana. Orang yang paling memiliki kemauan besar untuk menyaksikan kematian sang pembunuh bayaran itu adalah Sean Xavon. Laki-laki yang tidak akan pernah merasa puas jika sang kakak masih berkeliaran di dunia ini mengincar satu-satunya gadis yang berhasil mengubah pola pikir liarnya menjadi sedikit lebih hangat dan lembut.     

Karena kasih sayang, bisa mengubah segalanya.     

Tapi, tunggi sebentar. Apapun sifat gadis di luar sana yang sangat beragam tentu saja tidak menutup kemungkinan dirinya untuk mengubah pola pikir supaya dapat memberikan ruang kasih sayang untuk gadis lain di hidupnya.     

Semua orang punya hak untuk mengatur apa yang pantas dan apa yang tidak pantas. Dan menurutnya, laki-laki seperti dirinya sangat tidak pantas bertindak penuh cinta dan menebar kasih sayang seperti itu.     

"Reality won't change anything in my life."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.