My Coldest CEO

Seratus empat puluh enam



Seratus empat puluh enam

0Entah apa yang kini dirasakan oleh Allea. Yang jelas rasa gelisah, takut, serta bingung bercampur menjadi satu bagian perasaan yang mampu membuat peluh di pelipisnya tercetak walaupun sedikit.     

Ia kini memikirkan bagaimana caranya untuk segera meretas sistem fungsi yang di kendalikan oleh sistem untuk mendatangkan bencana bagi yang lainnya. Bingungnya lagi, ia kini memikirkan nasib Vrans. Sudah dapat di pastikan jika laki-laki itu tidak tahu menahu dengan rencana selanjutnya. Karena kini, semua andil keselamatan Sean dan Erica sepenuhnya berada di tangannya.     

Allea menaruh anak rambutnya yang menjuntai ke belakang telinga, lalu membasahi bibirnya yang terasa kering. "Mengenai tawaran mu untuk kembali." ucapnya yang masih mengingat detail tentang apa yang diucapkan oleh Hana pada malam itu. Ia bukan pribadi yang pelupa, jadi siapapun yang pernah memberikan harapan palsu padanya, ia akan selalu ingat     

Mendengar ucapan Allea langsung saja membuat senyum Hana merekah. Ini adalah hal yang paling ia tunggu-tunggu. Dengan adanya Allea di setiap pekerjaan yang ia lakukan, sudah pasti akan terasa lebih ringan. "Dan apa jawabannya?" tanyanya sambil mengulum sebuah senyuman kemenangan.     

Hana selalu membayangkan, dirinya kembali memimpin di depan. Dengan menjabat status sebagai pembunuh bayaran terkenal adalah hal yang paling di dambakan oleh semua orang. Tidak sih, tidak semua. Lebih tepatnya hanya di dambakan oleh orang-orang yang memiliki sifat mendarah daging jiwa kriminalitas.     

Kalau Allea kembali berpihak pada dirinya, tentu saja orang yang berada di ruang lingkup Xena berkurang satu.     

"Kalau begitu, jawaban ku adalah tetap berada di kantor. Maaf, Hana tapi aku sepertinya masih harus menyelesaikan kontrak kerja dengan Luis Company. Setelah itu, aku bisa memutuskan antara ingin menetap atau bersama mu." ucap Allea sambil tersenyum sangat tipis.     

Menurutnya, tindakan Hana sudah keterlaluan. Kenapa bisa-bisanya gadis tersebut fokus pada titik sasaran yang sama untuk ketiga kalinya? Apa setidaknya setiap target yang tidak berhasil di bunuh berarti bisa di lepaskan dari segala tuntutan? Lagipula, untuk apa mengejar seorang Xena yang begitu polos dan lugu, bahkan tidak pantas berada di posisi yang rumit seperti ini. Kalau boleh berpihak, kini ia menaruhkan rasa simpati ke Xena.     

Hana yang mendengar keputusan Allea pun sudah tidak terkejut lagi. Ia sudah menebak akan hal ini, dan ternyata benar terjadi. Bahkan, ia juga mengerti dengan seseorang yang sudah terjerat oleh kontrak kerja. Pasti tidak bisa di batalkan begitu saja, atau keluar dari kontrak seenaknya. "Kalau begitu, aku paham. Setelah ini kamu ingin kemana? Biar ku antar," ucapnya sambil melihat ke seluruh tubuh gadis yang berada di hadapannya ini. Tatapannya menelusur seperti tengah menebak-nebak jika mungkin saja Allea akan kembali ke kantor.     

Mendengar penawaran itu tentu saja membuat Allea langsung menggelengkan kepalanya dengan sebuah senyuman yang cerah. "Tidak, aku rindu dengan ruang kerjaku. Bisa kah aku ke sana?" ucapnya sambil menaikkan sebelah alisnya, ia meminta persetujuan dari Hana untuk apa yang dirinya inginkan.     

Hana yang memang sudah menganggap Allea sebagai salah satu orang terpenting itu pun menganggukkan kepalanya, mengizinkan gadis tersebut untuk melihat-lihat ruang kerja yang memang hanya di masuki untuk di bersihkan saja. "Tentu saja, lakukan sesuka mu. Aku ingin pergi ke kamar ku, ada barang yang tertinggal. Kalau lapar dan haus, hubungi saja Alard. Sampai nanti ya, Allea." ucapnya sambil menunjukkan sebuah senyuman. Ia melambaikan tangannya, lalu mulai meninggalkan Allea yang tengah melambaikan tangan pada dirinya juga.     

Tampak Hana yang mulai menaiki anak tangga, lalu bersamaan dengan itu, Allea menurunkan tangannya yang melambai di udara. Ia menghembuskan napas lega, lalu melihat ke arah tangan kirinya yang sudah menggenggam sebuah teflon yang hanya di lapisi oleh plastik bening. "Gara-gara teflon aku jadi ketemu makhluk yang paling seram sedunia," gumamnya sambil meringis kecil.     

Tadi, Retta sudah menyuruh dirinya untuk langsung ke ruang tamu saja. Tapi karena mengingat ucapan Alard yang masih menyimpan teflon untuk dirinya ini, membuat ia belok kw arah yang berlawanan. Toh sayang kan teflon baru, gratis pula dari chef terkenal, tidak ia bawa pulang? Kan lumayan untuk ajang pamer dengan Clarrie.     

"Sebaiknya aku segera ke ruangan ku,"     

Setelah itu, dengan tangan yang masih setia menggenggam teflon, Allea langsung saja melangkahkan kakinya ke sebuah pintu kayu yang memiliki akses keamanan miliknya.     

Hanya ia yang tahu, bahkan Hana pun tidak pernah mengikut campuri apapun yang di sukai olehnya. Selagi tidak merusak fasilitas dan baik-baik saja, gadis itu sama sekali tidak masalah dengan apa yang terjadi di dalam rumahnya. Harta baginya sangat mudah untuk di cari, Hana hanya fokus untuk membunuh seseorang supaya hasrat yang menyeruak itu terpenuhi layaknya seorang iblis.     

Tangan kanannya mulai terjulur untuk menempelkan telapak tangan ke arah alat keamanan yang memindai dengan cara menaruh lima sidik jari di atasnya. Setelah itu, ia juga melakukan pemeriksaan retina serta bentuk wajah untuk mengidentifikasi jika orang yang ingin masuk ke ruangan ini adalah seorang Allea Liagrelya si empunya ruang kerja.     

Pintu terbuka kala sistem mengatakan 'success'. Ia langsung saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam, lalu menutupnya kembali dengan erat.     

Dengan kedua bola matanya yang langsung saja mengedarkan pandangan, Allea mulai menaikkan alisnya kala tidak melihat satu orang pun di ruangan kerja ini.     

"Vrans?" panggilnya dengan sangat hati-hati. Ia membiarkan pintunya tertutup dan kembali terkunci otomatis, ia mulai melangkahkan kakinya menuju ke tempat yang mungkin saja di jadikan laki-laki itu sebagai media untuk menyembunyikan tubuhnya.     

Panggilan pertama, ia tidak mendapatkan respon apapun. Ya kali Vrans dengan bodohnya keluar dari ruangan ini?     

"Tuan bos," panggilnya sekali lagi.     

Kali ini, ia bergeming, membiarkan suara jam dinding mengisi kehampaan yang tercipta di atmosfer sekitarnya. Entah apa dirinya yang salah masuk ke dalam ruangan atau... sebaliknya?     

Tidak, ia sendiri yang menciptakan terowongan kecil itu untuk menuju ke ruang kerjanya. Dan mendarat di tempat berbeda itu tentu saja bukanlah hal yang mungkin terjadi. Apalagi kalau misalnya dirinya lah yang ternyata salah ruangan, ini sangat tidak masuk akal. Karena secara harfiah, pembuatan sistem keamanan dan pendeteksian awal untuk mencocokkan dengan dirinya ini sangatlah sulit jika tanpa dirinya, jadi tidak mungkin Hana mengutak-atik sistem keamanan ruang kerjanya semulus ini.     

Ia akhirnya memutuskan untuk menaruh teflon yang berada di tangannya ini ke atas nakas yang memang di khususkan untuk menaruh pajangan antik, furniture mahal pemberian Hana untuk di letakkan pada ruang kerjanya. Jadi, jangan sampai menyenggol ini semua dan menjatuhkannya.     

"Lebih baik ku telfon saja," gumamnya. Ia meraih ponselnya yang berada di dalam tas jinjing, benda yang biasa ia bawa ke kantor untuk menaruh berbagai peralatan penting.     

Ia mencari kontak milik sang bos, lalu menghubungi nomornya yang ternyata...     

"Halo," ucap Vrans di seberang sana dengan nada maskulin yang terdengar sudah sangat bosan itu.     

Dengan cepat, Allea langsung saja menaruh ponsel ke telinga kanannya supaya percakapan di telepon lebih kondusif dan terdengar satu sama lain. "Halo, Tuan. Kamu dimana?" tanyanya to the point. Sudah cukup untuk berbasa-basi, kini saatnya untuk mengejar waktu yang sudah terbuang sia-sia. Dari berbicara bersamaan Retta, sampai hal ketakutan dengan Pussy, belum lagi saat mengobrol bersama Hana.     

Terdengar decakan kecil dari seberang sana. "Aku kamu lupa? Aku sudah berada di ruang kerja mu, sedang duduk di sofa." ucap Vrans dari seberang sana. Nada datar itu memang selalu mendominasi, menjadikan suara tersebut menjadi ciri khas laki-laki tersebut.     

Allea menaikkan sebelah alisnya merasa bingung dengan apa yang di katakan oleh Vrans, sontak saja ia langsung mengalihkan pandangannya menatap ke sekeliling. Tidak ada siapapun, masih sama seperti tadi. "Jangan bercanda, Tuan. Di sini tidak ada siapapun," ucapnya sambil memutar kedua bola matanya. Jangan katakan pada Vrans ya kalau dirinya ini tengah memutar kedua bola mata, bisa-bisa nyalinya nanti langsung saja menciut kecil.     

"Apa yang kamu katakan? Di sini dimana? Jelas-jelas kamu belum masuk ke ruang kerja mu, aku sudah bosan dan tidak tahu bagaimana cara meretas sistem keamanan." ucap Vrans di seberang sana dengan hembusan napas kecil.     

Baiklah, ia semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Siapapun, ada yang bisa menjelaskan padanya?     

"Tuan jangan bercanda, aku sudah masuk ke dalam ruangan. Dan kamu sedang duduk di sofa mana? Di ruangan kerja ku sepi, Tuan. Jangan bermain sembunyi-sembunyi, keluarlah." ucap Allea. Kini, ia mulai melangkahkan kakinya untuk duduk di satu-satunya sofa yang memang berada di ruang kerjanya ini. Dan tentunya, sama sekali tidak ada sosok Vrans yang duduk satu sofa dengan dirinya.     

"Kamu yang jangan bercanda, Allea. Segeralah kesini!" balas Vrans yang semakin mempertebal rasa sabarnya. Kalau tidak, bisa-bisa ia kelewatan untuk memaki Allea karena terlalu banyak berbasa-basi.     

Allea menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah ini, ia semakin merasa bingung dengan kejadian ini semua. "Tuan, aku sudah berada di ruangan ku." ucapnya dengan suara yang di buat selembut mungkin. Jangan sampai habis kesabarannya... nanti di pecat bisa bahaya.     

"Nanti ku foto, aku akan berdiri di depan pintu masuk, dan kamu juga mengirim hal yang sama dengan ku."     

Pip     

Belum sempat Allea protes tentang penyelesaian atas saran dari Vrans itu, ia segera mengembuskan napasnya. Lagipula, tidak ada cara lain untuk membuktikan hal ini, iya kan? Lebih baik menuruti kata laki-laki itu saja.     

Ia beranjak dari duduknya, lalu berjalan kembali ke arah pintu yang tadi ia gunakan untuk masuk ke dalam sini. Setelah berganti tepat di sana, ia langsung saja membalikkan badannya untuk melihat sekeliling secara keseluruhan.     

Dengan mengarahkan ponselnya ke udara, ia mengubah kamera ponselnya menjadi kamera belakang.     

Cekrek     

Satu potret berhasil ia abadikan, lalu langsung saja beralih ke aplikasi bertukar pesan dan mengirim foto tersebut.     

| ruang chat |     

Allea     

Send a picture     

Beberapa saat kemudian...     

Vrans     

Send a picture     

| ruang chat selesai |     

Setelah foto yang ia kirim dengan milik Vrans sudah sama-sama terunduh, pada detik itu juga Allea langsung membelalakkan kedua bola matanya.     

Ia tidak percaya apa yang dirinya lihat saat ini.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.