My Coldest CEO

Seratus empat puluh delapan



Seratus empat puluh delapan

0Siapa yang pernah mengira jika apa yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tiba-tiba terjadi begitu saja saat ini tanpa di duga sekalipun? Bingung serta merasa aneh adalah perasaan yang paling cocok untuk mengekspresikan segala hal yang memenuhi atmosfer di sekelilingnya saat ini.     

Dan ya, tanpa diberi tahu pun seorang laki-laki ini sudah tahu apa yang terjadi. Semua ini bukan hanya ilusi, tapi benar-benar kenyataan yang di susun dengan apik.     

Vrans menatap ke sekelilingnya, lalu kembali menatap ke layar ponsel. Sama persis, namun tidak ada tanda-tanda dari Allea yang juga mengirimkan sebuah foto dari sudut pandang sama dengan miliknya. Kini, ia sangat yakin jika Hana pasti sudah mengubah semua sistem kerjanya.     

Apa gadis itu hanya berpura-pura tidak tahu apapun, tapi sebenarnya sudah tahu segala hal? Yang ia pikir mereka sudah berada 1000 langkah di hadapan Hana, tapi nyatanya angka 0 sudah dua menggelinding menarik dirinya untuk tidak merasa kemenangan terlebih dahulu.     

Ia sangat yakin jika Hana membuat satu ruangan yang sama dengan milik Allea. Namun, ia tidak tahu ruangan mana yang berfungsi dengan baik. Mana yang nyata, dan mana ruangan yang hanya replika semata.     

"Gadis yang tidak bisa di remehkan," gumamnya sambil menekan simbol gagang telepon di layar ponselnya untuk kembali menghubungi Allea. Sialnya, ia tidak punya alat berkomunikasi jarak jauh selain ponsel yang berada di genggamannya saat ini.     

Sambungan pertama langsung saja di angkat oleh gadis yang berada di seberang sana. Karena tidak ingin repot, ia menyalakan mode speaker supaya tidak perlu repot-repot untuk menaruh ponsel di telinganya. Ia langsung saja melangkahkan kakinya untuk duduk di single sofa dekat lemari besar yang penuh dengan buku-buku, menaruh ponselnya di dekat meja kecil tepat di sampingnya.     

"Halo, Tuan." ucap Allea di seberang sana. Nada gadis itu terdengar sangat berbeda, seperti sedang panik.     

Vrans menghembuskan napasnya, lalu melirik ke arah berbagai macam peralatan yang biasa di pakai untuk meretas sistem keamanan dunia milik Allea. Dengan memijat pangkal hidungnya, ia menghembuskan napas kecil. Hana memang pintar membuat orang lain berada di situasi sulit yang membuang-buang waktu. "Sepertinya kita sudah masuk ke dalam permainan," ucapnya langsung pada poin pembicaraan. Kalau seperti ini caranya, apa akan tepat waktu untuk menyelamatkan Xena?     

Gadis periang yang suka sekali bertindak konyol. Tidak, ia akan mengerahkan segala kemampuannya untuk keluar dari permainan yang tentu saja sangat tidak di sangka ini.     

Allea di seberang sana tampak berdehem kecil, seperti seseorang yang berusaha untuk tenang supaya sebuah rencana jalan keluar dapat tercetak jelas di kepalanya. "Baiklah, kalau seperti ini, pasti Hana sudah tahu rencana kita. Padahal, tadi gadis itu baik-baik saja. Tidak mempermasalahkan apapun, tapi kenapa jadi seperti ini?"     

Vrans yang mendengar penuturan Allea pun langsung saja menaikkan sebelah alisnya. "Apa? Kamu bertemu dengannya?" tanyanya untuk memastikan ulang apa yang dikatakan oleh Allea. Ia melirik ke arah pintu kayu yang entah mengarah kemana. Kalau dirinya berada di ruangan tiruan yang dibuat oleh Hana, pasti berisi berbagai macam ranjau mematikan, begitu sebaliknya jika Allea yang mendapatkan ruangan tersebut.     

"Iya, barusan aku bertemu dengannya. Tuan tau? Dia bersikap biasa saja tanpa mengintimidasi ku, awalnya hanya curiga ringan karena ke rumah ini pada jam kantor. Tapi selebihnya tidak ada kecurigaan, dan aku tahu jika Hana tidak akan selancang ini." ucap Allea memberikan penjelasan panjang pada Vrans. Ia sendiri pun masih menerka-nerka dengan apa yang tersuguh saat ini. Kalaupun benar Hana lah semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terukir di kepalanya, berarti gadis itu tengah berpura-pura.     

Vrans berdehem, lalu menganggukkan kepalanya merasa puas dengan penjelasan Allea. "Kalau begitu, kita perlu bergegas." ucapnya sambil beranjak dari duduk. Ia mengambil kembali ponselnya, lalu melangkahkan kakinya menuju ke meja yang berisikan 1 komputer dan 1 laptop lengkap dengan peralatan tambahan lainnya. Ia menaruh ponselnya di meja ini, lalu memeriksa semua alat.     

Berfungsi atau tidak, hanya Tuhan yang bisa mendukung takdir saat ini supaya berjalan lebih baik kedepannya.     

"Coba kamu periksa peralatan yang ada di meja sana, pasti yang menyala hanya salah satu dari kita." ucap Vrans mengeluarkan kalimat perintah untuk masuk ke dalam rencana selanjutnya, rencana yang tertunda karena kini mereka berada di 1 ruangan dengan desain serupa tapi berbeda lokasinya.     

Mendengar derap langkah kaki akibat dari heels Allea yang bersentuhan dengan lantai kayu yang menjadi ciri khas rumah ini, di terapkan pada setiap ruangan penting.     

Vrans mencari tombol untuk menyalakan monitor komputer, lalu menatap ke arah ponselnya. "Sudah siap untuk menyalakan bersama?" tanyanya.     

Allea di seberang sana berdehem, "Tentu saja." ucapnya.     

Dan dalam hitungan,     

1     

2     

3     

Layar monitor milik Vrans menyala.     

"Punya ku tidak berfungsi," ucap Allea bertepatan dengan menyalakan monitor komputer.     

Pada saat itu juga, Vrans menahan napasnya. Ia memang sehari-hari bekerja dengan mengoperasikan komputer ataupun laptop di kantornya, tapi untuk meretas sistem keamanan, tentu saja bukan keahlian dirinya.     

Kali ini, ia sangat tidak setuju dengan takdir. Hei, kenapa semua ini semakin di persulit? Kalau saja yang berfungsi berada di tempat Allea saat ini, sudah di pastikan akan lebih memudahkan Sean, Erica, dan D. Krack yang tengah turun tangan langsung ke lapangan berhadapan dengan pembunuh bayaran yang tidak pernah luntur dari gelarnya selama bertahun-tahun.     

"Sial." umpat Vrans sambil menendang sebuah kursi putar yang berada tidak jauh dari dirinya. Kalau seperti ini, bisa-bisa keberuntungan sudah enggan untuk berpihak.     

Ia melangkahkan kakinya ke arah dinding, lalu menepuk-nepuknya dengan keras. "Allea!" serunya. Ia sangat berharap jika di balik dinding ini adalah ruangan lain yang sama persis dengan ruangannya saat ini.     

Dan beruntung sekali jika ruangan ini kedap suara, jadi Vrans tidak perlu cemas kalau Hana akan mendengar suaranya kali ini.     

"Tuan, aku mendengar mu!"     

Itu adalah balasan seruan dari Allea. Selain terdengar dari speaker ponselnya, suara tersebut juga terdengar dari balik dinding yang barusan ia tepuk-tepuk. Ternyata ruangan yang berdekatan, apa memiliki sistem yang sama dengan sebuah cermin pemantul? Bedanya hanya di buat nyata. Dan tentunya, sebenarnya ini adalah satu ruangan yang menjadikannya masih dapat berkomunikasi dengan Allea karena tidak ada penyadap suara yang membuat dua ruangan ini kedap suara.     

"Sebaiknya kita cepat mencari jalan keluar dari pada terus-menerus seperti ini dan membuang waktu lebih banyak lagi. Jika kita telat, pasti semuanya akan tewas jika tidak berhati-hati." ucap Vrans dengan nada bicara yang sangat serius. Ia bahkan tidak lagi berharap untuk dirinya bisa lolos, yang terpenting adalah keselamatan Allea yang merupakan titik terang semua ini.     

"Baik, Tuan. Apa aku harus membuat lubang di dinding?" ucap Allea di seberang sana yang sepertinya sudah memikirkan cara yang paling ampuh untuk dilakukan saat ini. Memangnya harus bagaimana lagi? Tidak ada ruang yang menghubungkan dirinya untuk pergi ke Vrans tepat disebelah ruangannya.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya saat mendengar pertanyaan konyol yang keluar dari mulut Allea. "Pemikiran seperti apa itu?" tanyanya.     

"Memangnya Tuan punya rencana lain yang lebih baik?" Bukannya menjawab pertanyaan Vrans, justru Allea kembali menanyakan sebuah pertanyaan yang mendukung semua pemikiran yang berada di kepalanya saat ini.     

"Tentu saj--"     

Belum sempat Vrans meneruskan kalimatnya, tiba-tiba suara sebuah mesin dari seberang sana terdengar jelas bersamaan dengan pekikan tertahan yang keluar dari mulut Allea. "Ada apa?!" teriaknya dengan suara bariton dan tentu saja langsung panik dan takut terjadi hal yang tidak-tidak pada gadis di seberang sana. Karena tanpa Allea, habis sudah...     

Sedangkan di seberang sana, Allea tengah merapatkan tubuhnya pada dinding begitu melihat sebuah robot wanita yang sudah berdiri menatap dengan sebuah gergaji mesin yang berada di genggaman tangannya.     

"Eh? Who are you?" tanyanya karena memang tidak pernah melihat robot wanita itu di rumah Hana kecuali Retta yang sudah bekerja cukup lama di rumah ini.     

(*Eh? Siapa kamu?)     

Robot tersebut mengangkat gergajinya sampai dada, dengan mata merah menyala ia menatap Allea. "Hi, Miss Allea. I'm Herra, the new robot to destroy you." ucapnya dengan nada khas seorang robot wanita.     

(*Hai, Nona Allea. Aku Herra, robot baru untuk menghancurkan Kamu.)     

Mendengar kalimat yang di lontarkan oleh robot wanita tersebut, Allea langsung saja membelalakkan kedua bola matanya. Ia merasa tidak habis pikir, saat ini ponselnya dengan perlahan ia letakkan di atas nakas yang berada tidak jauh dari jangkauannya. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk menelepon dan bertukar obrolan. "What do you mean? I don't understand and who told you to do this?" tanyanya dengan ekspresi ketakutan serta bingung.     

(*Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti dan siapa yang menyuruh mu melakukan ini?)     

Bayangkan saja, tanpa tahu darimana Herra itu berasal, tiba-tiba berkata seperti ingin membunuhnya menggunakan gergaji mesin.     

Herra menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, "I'm just doing my job." ucapnya tanpa ingin memberikan penjelasan apapun lagi untuk menjawab pertanyaan dari Allea. Yang ia tahu, kini tugas adalah tugas.     

(*Aku hanya melakukan pekerjaan ku).     

Allea menahan napasnya begitu melihat mesin gergaji yang masih menyala itu. Dan ya, ia kedapatan bagian ruangan replika yang siapnya sangat mirip dari segi sistem keamanan beserta para ancaman seperti layaknya Herra. Hana benar-benar gadis yang hebat. Dan kini, berkat kejadian yang belum pernah diikut campuri olehnya, ia merasa bingung harus melakukan apa.     

Yang Allea tahu, kini ia harus memutar cara untuk mengalahkan rancangan robot yang memang terkenal tidak pernah terkalahkan. Produk rancangan Hana tidak ada yang pernah gagal.     

Jadi, siapapun harus berpikir lebih bijak untuk hal ini. Kepintaran otak sudah kalah tanding, kini waktunya kenyataan untuk mengambil alih keadaan.     

"Now, it's time to work in the field. Allea, prove to Hana that you can." gumamnya.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.