My Coldest CEO

Seratus lima puluh satu



Seratus lima puluh satu

0Allea menahan napasnya begitu melihat mesin gergaji yang masih menyala itu. Dan ya, ia kedapatan bagian ruangan replika yang siapnya sangat mirip dari segi sistem keamanan beserta para ancaman seperti layaknya Herra. Hana benar-benar gadis yang hebat. Dan kini, berkat kejadian yang belum pernah diikut campuri olehnya, ia merasa bingung harus melakukan apa.     

Yang Allea tahu, kini ia harus memutar cara untuk mengalahkan rancangan robot yang memang terkenal tidak pernah terkalahkan. Produk rancangan Hana tidak ada yang pernah gagal.     

Jadi, siapapun harus berpikir lebih bijak untuk hal ini. Kepintaran otak sudah kalah tanding, kini waktunya kenyataan untuk mengambil alih keadaan.     

"Now, it's time to work in the field. Allea, prove to Hana that you can." gumamnya sambil menatap Herra dengan kedua bola mata yang berkilat tajam. Dari Hana, ia belajar satu hal, kalau ada seseorang yang mengancam keselamatan itu artinya ia harus bertindak dan jadikan boomerang bagi seseorang itu. Jadi, jangan mau kalah dengan keadaan yang membuat dirinya tidak berkutik seperti ini.     

(*Sekarang, waktunya bekerja di lapangan. Allea, buktikan pada Hana bahwa kamu bisa.)     

Allea menarik napas dengan panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Wanna play with me? Let's do it." gumamnya sambil mengambil ancang-ancang. Ia mendengar suara Vrans yang bertanya-tanya tentang apa yang terjadi, ia tidak mempedulikannya karena kini dirinya harus fokus dengan Herra yang masih menampilkan mode berbahaya pertarungan.     

(*Ingin bermain dengan ku? Ayo lakukan.)     

Setelah itu, ia berjalan menjauh dari Herra, masih menempelkan tubuhnya pada dinding supaya dapat ruang hindar yang besar. Ia melirik ke arah tongkat kasti, lalu langsung saja meraihnya.     

Ia bahkan tidak pernah tahu jika sebuah tongkat kasti terbuat dari besi, ini sungguh berat. Namun tidak punya pilihan lain, ia segera mengangkat tongkat tersebut sampai tersampir di bahunya yang sebelah kanan.     

Herra yang melihat itu pun tertawa datar layaknya robot, ia meremehkan apa yang di pegang Allea saat ini. "Come on, it's not worth it, right?" Dengan berbekal gergaji mesin yang biasa di gunakan untuk menumbangkan batang pohon besar yang berada di hutan, tentu saja ia memiliki peluang menang sekitar 85%. Jadi, apa hanya dengan sebuah tongkat kasti saja bisa mengalahkan dirinya? Tentu harus optimis kalau dialah yang akan memenangkan ini.     

(*Ayolah, itu tidak setimpal, bukan?)     

Allea terkekeh kecil. Belum mulai permainannya tapi sudah merendahkan sang lawan? Lihat saja nanti apa yang ia lakukan.     

"Duh, this is so heavy, I can't lift it." gumamnya dengan meringis kecil --ia merutuki kesombongannya, padahal kini ia pun tidak tahu harus berbuat apa- sambil menurunkan kembali tongkat kasti yang berada di bahunya. Tidak, ia tidak jadi bergaya dengan benda ini. TOLONG LAH SIAPAPUN, INI SANGAT BERAT! Bisa-bisanya ada alat seperti ini yang dirinya saja tidak tahu apa kegunaannya. Jadi, apa benar jika dirinya ini harus kalah?     

(*Duh, ini sangat berat, aku tidak bisa mengangkatnya.)     

Herra mendekatkan tubuhnya ke arah Allea, lensa mata yang melekat di bola matanya itu di buat berwarna hitam pekat. "So, it's my turn. Want to play? There's Herra here." ucapnya. Ia mengarahkan gergaji tersebut ke arah Allea yang kini sudah hampir berkeliling setiap dinding yang ada di ruangan ini.     

(*Jadi, giliran ku. Ingin bermain? Ada Herra di sini.)     

Kalau ada Xena, pasti gadis itu sudah mentertawakan kebodohan Allea. Bukannya maju dan melawan, tapi mengulur waktu dengan mengubah setiap langkah kakinya.     

Allea menarik kuat tirai yang membingkai sebuah rak buku besar sampai sobek, ia pun lalu menghembuskan napasnya untuk yang kesekian kali. Entah apa yang ia lakukan saat ini tapi yang pasti kakinya mulai berlari ke arah berlawanan dari Herra yang masih berjalan mendekati dirinya dengan perlahan.     

"AAAAAA DASAR ROBOT JELEK, AWAS AJA KALAU BERHASIL MENYENTUH AKU!" Teriaknya dengan heboh lalu tangannya itu melempar tirai yang tadi ia sobek ke arah Herra sampai mengenai mesin gergaji yang sedang berfungsi itu.     

Dan ya, berhasil. Kain dari tirai berhasil masuk ke dalam mesin gergaji yang berada di genggaman Herra. Membuat benda tersebut berhenti bergerak yang menimbulkan suara benda macet berdecit.     

Melihat itu, tentu saja Herra langsung membuang asal gergaji yang berada di tangannya. "Useless thing, damn it." umpatnya dengan nada yang tertahan. Sebelumnya, ini pasti hanya sebuah kebetulan saja yang membuat Allea beruntung terhindar dari mesin yang dengan mudahnya mengoyak tubuh manusia itu.     

(*Hal yang tidak berguna, sial.)     

Bahkan, Allea pun sama sekali tidak menyangka jika dirinya ini berhasil membuat gergaji mesin itu rusak. Dalam hati, ia bersorak. "YOU'RE LOSE AND I'M THE WINNER!" pekiknya sambil menaruh telapak tangan kanannya di mulut. Ia mengejek Herra yang gergaji mesinnya rusak akibat tindakan tanpa rencana dirinya itu.     

(*KAU KALAH DAN AKU PEMENANG!)     

Kini, kinerja otaknya sedang berpikir apa rencana selanjutnya untuk terbebas dari robot gila yang terobsesi membunuh dirinya. Ah, ia sepertinya tidak minat lagi untuk bekerja di langsung di lapangan. Lebih baik di dalam ruangan bersama dengan layar laptop atau komputer dengan segelas americano ataupun coklat panas yang menemani kerjanya. Tidak perlu membuang banyak tenaga yang membuatnya seperti kekurangan pasokan oksigen ini.     

...     

Vrans memijat pangkal keningnya begitu mendengar suara pekikan Allea yang sangat heboh, entah itu karena ketakutan ataupun rasa senang karena merasa menang. Awalnya ia khawatir dengan gadis tersebut, tapi ia pikir hal itu tidak perlu di lakukan.     

Dan sepertinya, Allea tahu harus melakukan hal apa tanpa adanya campur tangan dari orang lain. Toh dirinya jadi menghela napas lega.     

Percakapan Allea dengan seseorang wanita di seberang sana membuatnya bertanya-tanya. Dan kira-kira, siapa kah yang berada di seberang sana bersama dengan gadis itu? Dan suaranya pun terdengar seperti layaknya sebuah robot.     

"YOU'RE LOSE AND I'M THE WINNER!"     

Teriakan itu berasal dari ponselnya yang masih tersambung dengan ponsel Allea. Ia menaikkan sebelah alisnya merasa penasaran dengan apa yang terjadi di seberang sana. Dengan menggulung lengan tuxedo-nya, ia merenggangkan ikatan dasi yang melingkari lehernya. "Kalau begitu, lebih baik aku yang turun tangan." gumamnya sambil meraih kembali ponselnya, lalu ia melangkah menuju ka arah komputer yang tadi sudah ia nyalakan itu.     

Mendaratkan bokongnya di kursi putar yang terdapat di sana, ia langsung saja menaruh ponselnya dekat keyboard. Ia tidak berniat untuk mematikan sambungan telepon, hanya untuk berjaga-jaga jika Allea dalam masalah atau ada suatu hal yang membutuhkan bantuannya.     

Dengan memusatkan titik fokusnya ke layar monitor, ia langsung saja merenggangkan otot-otot jemarinya sampai berbunyi 'kretek' pertanda dirinya sudah mengerahkan seluruh kemampuannya.     

"Tuan, kamu sedang apa?" tanya Allea di seberang sana. Napasnya tersengal-sengal seperti habis lari maraton dengan jarang berkilo-kilo.     

Vrans yang baru saja ingin menari-narikan jemarinya untuk mengutak-atik komputer ini. "Ada apa?" tanyanya.     

"Sepertinya aku ingin jus deh, apa bisa minta tolong hubungi Alard?" ucap Allea mengatakan hal yang sangat aneh itu.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, "Maksud mu apa? Kalau begitu, Alard pasti akan mengetahui keberadaan ku." ucapnya menolak secara tidak langsung permintaan Allea yang menginginkan segelas jus untuk membasahi dinding tenggorokannya. Untuk apa di saat genting seperti itu membutuhkan jus?     

Brak!     

"Damn you!" umpat Allea bersamaan dengan suara sebuah benda yang patah. Ia yakin sedang melakukan sesuatu kepada seorang robot di sana.     

"Allea?" panggil Vrans. Ia merasa jika gadis ini mungkin saja hanya ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan sebuah perkataan tersirat.     

"Hai Tuan, bisakah ambilkan aku sebotol Rye Whiskey LV-1767 tua di dalam laci lemari perpustakaan? Black Cat Hana Xavon."     

Pip     

Vrans menaikkan sebelah alisnya begitu sambungan telepon terputus secara sepihak. Ia saat ini benar-benar merasa bingung dengan apa yang tadi di ucapkan oleh Allea. Ayolah, ia bukan agen mata-mata ataupun FBI yang dapat menyelesaikan semua ini. Toh dirinya hanyalah seorang CEO yang menekuni setiap dokumen penting di dalam perusahaan miliknya.     

"Dan sekarang, aku di tinggali sebuah teka-teki." gumamnya. Ia langsung saja meraih sebuah bolpoin beserta secarik kertas untuk mencoret-coret apa yang setidaknya berada di pikirannya saat ini.     

Yang ia tahu saat ini, dieinya mendapatkan clue Rye Whiskey LV-1767 tua di dalam laci lemari perpustakaan kecil yang berada tepat di belakangnya.     

Black Cat Hana Xavon?     

"Apa itu?" tanya Vrans pada dirinya sendiri.     

Dengan mencoret-coret kertas tersebut, ia mendapatkan beberapa nomor yang mungkin saja menjadi sandi untuk membuka laci. Ya itu hanya pemikiran dia saja sih, toh belajar dari pengalaman pun yang Hana terapkan pada setiap sudut rumah ini pasti memiliki banyak sistem keamanan pada hal-hal kecil sekalipun.     

Pertama, ia mendapatkan sebuah sandi seperti nomor 1 - 2 - 3 - 4 hasil dari nomor urut dari kalimat yang di berikan oleh Allea tadi.     

Kedua, ia mendapat sebuah sandi seperti nomor 4 - 5 - 5 - 3 hasil dari perhitungan kata yang di mulai dari urut nama Hana Xavon lalu berlanjut dengan Black Cat.     

Dan yang ketiga, kemungkian besar ini adalah sandi paling benar dengan nomor 5 - 3 - 4 - 5 yang hasil perhitungan kata secara berurutan dari kalimat Black Cat Hana Xavon.     

Dan ya, Vrans langsung saja menaruh asal bolpoin dan membawa kertas tersebut ke dalam genggaman, lalu beranjak dari duduknya untuk melangkahkan kaki ke arah lemari besar yang berisi tumpukan banyak sekali buku.     

Kali ini, ia kebingungan melihat ada tiga buah deretan laci yang memiliki ukuran sama. Segalanya semakin rumit saja...     

"Come on, why is there so much puzzle to do with this?" ucapnya sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Ia seperti setelah berada di kondisi seperti ini harus menyewa seorang agen yang harus mengajari dirinya berbagai metode ini.     

(*Ayolah, mengapa ada begitu banyak teka-teki yang harus dilakukan dengan ini?)     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.