My Coldest CEO

Seratus lima puluh empat



Seratus lima puluh empat

0memangnya apa lagi yang harus di lakukan saat dirimu di sekap dengan tingkat keamanan ketat tanpa adanya celah untuk melarikan diri?     

Bosan? Tentu saja. Itu yang Xena rasakan saat ini, ingin berusaha sekuat apapun tetap saja tidak bisa keluar dari sini.     

Dengan tubuh yang sudah melekat pada kasur yang tidak terlalu empuk seperti milik yang ada di rumah miliknya dan Vrans, Xena sudah berkali-kali memutar tubuhnya dari samping kanan ke kiri. Tapi tidak menemukan sebuah ide gila yang bisa mengisi kehampaannya.     

Tiba-tiba saja, ia terpikir bagaimana kondisi Vrans saat ini. Apa laki-laki itu sudah makan? Oh tidak, pasti tentu saja belum makan siang! Dan apa kah kekasihnya itu sedang melakukan sebuah rencana untuk menyelamatkan dirinya?     

Ingin menangis ataupun berteriak pun tidak akan mendatangkan keajaiban dengan datangnya ibu peri yang dalam sekejap bisa membawanya keluar dari bangunan tua yang memuakkan ini.     

Ayolah, apa bunga pesanannya sudah sampai? Jangan bilang kalau tiba-tiba Vrans menjadi seorang detektif handal, dan membatalkan pesanan bunganya?     

"ISH KAN AKU MAU PUNYA BUNGA!" teriaknya dengan nada yang sangat kesal. Senyumnya tertekuk, bersamaan juga dengusan kecil yang keluar dari hidung mancungnya.     

Ia dengan sigap langsung saja memposisikan tubuhnya untuk duduk tegak di atas kasur, lalu matanya mulai menatap ke sekeliling. Apa tidak ada tombol untuk berbicara dengan seseorang di luar sana? Rasanya ia ingin sekali memakan pizza dan berbagai camilan lainnya.     

Semua karena ulah Hana! Siapa yang suruh masih mengincar dirinya seperti ini? Memangnya ada keuntungan yang di dapatkan dari dirinya?     

Kalau sudah begini, siapa yang ia harus mintakan tolong untuk membelikan dirinya makanan pengganjal perut? Padahal ia baru saja makan siang beberapa menit yang lalu.     

Eh? Ngomong-ngomong makan siang, bagaimana keadaan Allea dan Orlin ya? Ah iya, serta Erica! Apa mereka semua ikut mencari dirinya?     

Kalau begitu... SIAPAPUN TOLONG KALI INI PIPINYA MERONA KARENA TINGKAH ORANG-ORANG YANG PEDULI PADANYA!     

Dengan tangan yang meraih bantal, ia langsung saja menutupi wajahnya di sana. Senyuman mengembang saat mengetahui mereka semua yang bersusah payah menyelamatkannya adalah hal yang sangat menghangatkan hati.     

"Berisik,"     

Arah pandang Xena beralih ke sumber suara dengan nada bariton yang langsung mengambil alih indra pendengarannya.     

Siapa lagi memangnya kalau bukan Chris? Laki-laki itu dengan wajah yang menampilkan sebuah senyuman kecil mulai berjalan ke arah Xena dengan tangan kanan yang menenteng satu box pizza. Entah ini kebetulan atau tidak, tapi yang pasti keinginan gadis itu sudah terwujud hanya dalam hitungan beberapa menit saja.     

Ah iya, saking fokusnya dengan keadaan yang terlalu runyam, membuat dirinya lupa jika takdir selalu membagi rasa keadilan di dalam hidupnya.     

"ASTAGA TERIMAKASIH, CHRIS." pekik Xena sambil menyambar kantung plastik yang berisi sekotak pizza di tangan Chris setelah laki-laki itu berhasil duduk di kursi yang tadi di duduki olehnya.     

Chris menaikkan sebelah alisnya mendapatkan perlakuan yang tiba-tiba seperti itu, lalu menaruh ponselnya di atas nakas supaya tidak terlalu repot. "Eh? Memangnya siapa yang bilang itu untuk mu?" tanyanya sambil menyisir rambut ke belakang menggunakan jari-jari tangannya.     

Entah dalam alasan apa seorang Chris membeli sebuah pizza yang menurutnya itu adalah makanan kurang menarik. Dan ya, untuk pertama kalinya juga ia membelikan ini untuk seorang gadis yang memang sudah terkenal dengan tingkah tanpa malu sedikitpun itu. Ia hanya mengetes Xena dengan mengatakan jika pizza-nya bukan untuk gadis tersebut. Ya malu lah kalau mengakuinya, toh ia nanti ketahuan kalau sebenarnya memiliki rasa kasihan pada Xena.     

"Untuk siapapun itu, aku tidak peduli. Aku sangat lapar, di sekap tapi tidak diberi makanan. Sama saja membunuh ku tanpa menyentuh," ucap Xena dengan bawel. Ia bukannya menikmati masa penyekapan ini, toh rasa lapar sudah memenuhi rongga perutnya sampai berbunyi kecil.     

"Kamu senang di sekap?" tanya Chris sekali lagi. Rasanya jika dibandingkan, ia lebih cocok sebagai wartawan daripada seorang kriminalitas yang di incar beberapa orang untuk di sewa melakukan kegiatan kotor.     

"Kata siapa? Aku sudah pernah berada di posisi ini. Ingin menangis pun sia-sia, menjerit? Hanya membuat pita suara menjadi sakit." ucap Xena dengan jujur menyalurkan apa yang ia rasa saat ini.     

Chris menganggukkan kepalanya, merasa setuju dengan apa yang diucapkan oleh Xena, ada benarnya juga gadis ini. "Apa kamu tidak membenci Sean atau pun Hana?" tanyanya yang kembali penasaran dengan sosok di hadapannya.     

Berkomunikasi dengan Hana tentang apa yang menurutnya salah ini dan akhirnya menyalurkan pendapatnya tentang semua ini, dan akhirnya hanya kalimat yang tidak bisa terbantahkan yang keluar dari mulut gadis pembunuh bayaran itu.     

Dengan tangan yang mulai membuka kotak pizza dan mengambil satu potong untuk di kunyah dalam mulutnya, ia menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak, untuk apa membenci? Aku tahu Tuhan dan takdir tidak tertidur." ucapnya dengan tenang. Pemikiran yang dewasa ini ia dapatkan dari Vrans yang selalu mengajarkan dirinya untuk tidak terlalu kekanak-kanakan, dan sekarang sudah ia terapkan.     

"Apa kamu tidak membenci ku?" tanya Chris sekali lagi, ia menatap Xena dengan lekat, gadis itu sudah terlarut dalam potongan pizza yang berada di tangannya.     

Xena menelan kunyahan pizza miliknya yang sudah terlumat, sehingga masuk ke dalam tenggorokannya untuk mengisi perut yang keroncongan. "Tidak, lagi pula kamu kan fans ku."     

Pada detik itu juga, Chris menyimpulkan kalau Xena benar-benar gadis lugu yang tidak pantas berada di situasi seperti ini.     

...     

Masih penasaran dengan apa yang akan di lakukan Allea pada Herra? Lihat saja, kini gadis itu dengan senyum kemenangan menatap bangga pada dirinya sendiri karena berhasil membuat robot wanita itu menggeram kesal.     

"Better, don't expect to kill me." ucap Allea sambil menyibakkan rambutnya ke belakang, membawa helaian rambut lemas miliknya supaya tidak menghalangi penglihatannya.     

(*"Lebih baik, jangan berharap membunuhku.)     

Ucapannya barusan sangat menjengkelkan sekali di penangkap suara yang di miliki oleh Herra, memang Allea ternyata adalah gadis yang menyebalkan tapi memilih untuk menyembunyikan sifatnya itu. Toh yang kelihatan hanya sifat rasa ingin tahunya sangatlah besar.     

Herra mengalihkan pandangannya pada kedua tangannya yang sudah terkepal di udara. Dalam hitungan detik, jemari besinya berubah menjadi sebuah pisau kecil yang merupakan alat penyayat paling ampuh untuk mengukir luka di tubuh manusia atau makhluk hidup lainnya.     

Allea yang melihat itu pun langsung membelalakkan matanya. Bagaimana pun, ia tidak memiliki sistem pertahanan yang ampuh. "Not balanced! I don't have a gun." protesnya sambil mendelik kesal ke arah Herra yang sepertinya menutup telinga dengan apa yang ia ucapkan barusan. Iya lah menutup telinga toh sebenarnya seorang robot tidak memiliki telinga, hanya rancangan dari beberapa alat saja yang menyerupai agar bisa mendengar berbagai suara layaknya seorang manusia.     

(*Tidak seimbang! Saya tidak punya senjata.)     

Herra tidak peduli dengan nada protes yang di keluarkan oleh Allea, ia dengan cepat langsung saja berlari ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya itu.     

Allea dengan tangkas langsung mengambil pemukul bola kasti. Yang awalnya ia tidak kuat, tapi tiba-tiba menjadi bisa mengangkat itu.     

Herra dengan 10 jari pisaunya dan Allea dengan pemukul bola kasti yang terbuat dari besi. "You are a loser." gumamnya dengan tatapan kesal, nada bicaranya juga merendah namun terdengar sangat mengintimidasi. Ia berniat untuk mengejek gadis yang berada di depannya, Hana bilang dia terlalu sulit untuk di alihkan perhatiannya dan itu terbukti 100% benar adanya. Herra akui, dirinya sendiri pun sempat merasa kewalahan walaupun ia memakai tenaga robot. Tapi memangnya siapa yang tidak jengkel?     

(*Kamu adalah pecundang.)     

Mendengar kalimat ejekan itu, tentu saja membuat amarah Allea memuncak. Ekspresi menyebalkan dan gembiranya tadi sudah kandas, berganti dengan wajah memerah yang siap melakukan apa yang seharusnya ia lakukan --melawan Herra sampai perangkat lunak maupun kerasnya rusak--.     

"Look in the mirror first before you speak." ucapnya sambil mengangkat tinggi tongkat kasti yang berada di tangannya saat Herra sudah hampir mendekati dirinya.     

(*Lihat ke cermin terlebih dahulu sebelum kamu berbicara.)     

Prank!     

Srek!     

Bertepatan dengan itu, Allea berhasil memukul kepala Herra, lalu membawa tubuhnya untuk menjauh dari robot yang sudah di sistem menjadi seperti psikopat. "Damn you!" serunya kala melihat ke arah lengan kirinya yang kemejanya sudah sobek memanjang bersamaan dengan keluarnya darah yang tercetak jelas disana.     

(*Sialan kamu!)     

Herra memegangi kepalanya yang terasa bergeser, lalu matanya berkilat seperti benci sekali dengan Allea. Kenapa Hana gemar sekali menciptakan barang-barang yang sangat sempurna? Bahkan robot ini pun tidak goyah dengan pendiriannya untuk memusnahkan Allea. "Damn, you shifted my head!" serunya sambil mengembalikan bentuk jemarinya yang sudah terdapat bercak darah kembali menjadi jari sungguhan.     

(*Sial, kamu menggeser kepalaku!)     

Allea yang tadinya meringis kecil itu pun langsung tertawa terbahak-bahak, ia sangat tidak bisa mendengar guyonan ringan yang berakibat besar pada tingkat humorisnya. "Head swaying like autumn leaves?"     

(*Kepala bergoyang seperti daun musim gugur?)     

Sungguh, Allea. Disaat seperti ini bukanlah waktu yang tepat untuk menertawakan keadaan. Memang sih jika di bayangkan sangat menggelikan, tapi ayolah... tetap saja dirinya tidak habis pikir dengan kinerja otaknya yang justru membuat dirinya merasa geli.     

Herra yang mendengar itu pun langsung saja membenarkan kembali letak kepalanya, untung saja masih kokoh. Dengan segera, ia mengubah tangan kanannya menjadi setipis samurai yang berkilat tajam. "You will meet your death." gumamnya dengan nada seram.     

(*Kamu akan menemui kematian mu.)     

Allea mengatupkan mulutnya dengan rapat, lalu merobek lengan kemejanya dengan kuat untuk langsung diikat kencang di lengannya yang terluka. Jangan sampai darahnya keluar terlalu banyak, karena akan menyebabkan kehabisan darah. "God, now I'm afraid and please take care of myself."     

(Tuhan, sekarang aku takut dan tolong jaga diri ku.)     

Kini, hanya harapan yang mungkin akan terkabul. Ia tidak memiliki pacuan apapun lagi untuk merasa menang pada saat ini, kalau pun bisa...     

"CLARRIE, TOLONG BANTU NONA MUDA MU INI!"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.