My Coldest CEO

Seratus lima puluh enam



Seratus lima puluh enam

0Erica menatap tajam ke arah Sean yang masih sibuk membenarkan lengan kemejanya yang tergulung sampai siku. Bagaimana tidak kesal? Sedari tadi laki-laki itu bertindak seperti seorang bodyguard untuk menjaga gadis lemah.     

Oh ayolah, Erica bukanlah gadis yang membutuhkan pengawasan ketat seperti itu. Jika di pikir-pikir lagi sih memang tindakan Sean sangatlah baik, tapi ia muak.     

"Hati-hati memijakkan kaki,"     

"Jangan mengambil jalan terlalu tepi."     

"Kalau di bilang tetap berada di belakang ku, ya tetap berada di sana. Jangan bertindak gegabah,"     

Segala ucapan Sean yang tentunya masih banyak lagi itu mulai masuk ke dalam kinerja otak Erica, memutarnya kembali seperti kaset rusak. Ia menatap laki-laki itu dengan jengah yang saat ini sudah menyibakkan rambutnya dengan sok keren. "Kalau begitu, lebih baik tadi aku sendiri." ucapnya sambil menguncir rambut sampai berbentuk mirip dengan ekor kuda.     

Sean yang mendengar sederet kalimat protes untuk kesekian kalinya itu pun hanya bisa menaikkan sebelah alisnya, ayolah ia hanya ingin menjaga Erica. "Kenapa memangnya? Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Erica." ucapnya dengan nada sangat lembut membuat gadis yang tandi menunjukkan perasaan kesalnya langsung luntur seketika. Mungkin perasaan bersalah karena merasa tidak nyaman itu telah hadir di dalam relung hatinya yang terdalam.     

"Kalau begitu, biarkan aku ikut membantu mu. Aku sangat tidak suka di perlakukan seperti ini." ucap Erica sambil menggeser tubuh Sean. Ia memijakkan kakinya di lantai kotak-kotak, namun tiba-tiba lantai tersebut seperti tertekan ke bawah.     

Sean yang melihat itu pun langsung saja merapatkan dirinya dengan Erica ke dinding sampai benar-benar rata, lalu...     

Fyuh     

Fyuh     

Kumpulan anak panah mulai beterbangan, jika Sean tidak tanggap untuk menyingkirkan Erica dari tempatnya berpijak tadi, bisa saja panah itu langsung mengenai tepat di jantungnya.     

Erica sempat menahan napas karena kejadian yang tak terduga tadi. Bagaimana pun, keras kepala yang dimilikinya benar-benar bisa membunuh. "Eh? Terimakasih." ucapnya dengan nada parau. Entah apa yang ia rasakan, tapi bolehkah ia menarik segala ucapan yang sudah ia katakan pada Sean barusan?     

Rasanya, kini dirinyalah yang bersalah.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, ia sebenarnya kesal dengan Erica yang selalu saja tidak ingin mendengarkan setiap perkataan baik yang ia putuskan. Namun rasa kesal itu kalah dengan ekspresi terkejut yang di tampilkan oleh gadis itu. "Terimakasih kembali, makanya kalau aku bilang A ya ikutin A jangan tiba-tiba B. Untung saja aku tahu taktik klasik ini," ucapnya mulai berkata hal yang dewasa mengenai semua ini. Ia hanya tidak ingin Erica dalam bahaya, makanya ia mengatakan berbagai hal larangan supaya gadis itu terhindar dari segala macam bahaya.     

Taktik klasik yang menyembunyikan sebuah tombol di bawah lantai untuk meluncurkan beberapa buah anak panah sebagai media jebakannya. Sedetik saja tidak paham dengan taktik ini, maka sudah dapat di pastikan akan terbunuh dengan cepat.     

Erica menyingkirkan tubuh Sean yang berada di dekatnya, lalu langsung saja mengusap wajahnya dengan perlahan. "Tapi tidak terlalu ketat penjagaannya, Sean." ucapnya dengan nada bicara yang sudah merendah. Apa kali ini Hana mengubah lorong ini menjadi tempat ranjau? Pasalnya, sudah hampir ke tiga kalinya mereka nyaris terbunuh karena hal yang cukup sepele.     

Padahal, seingat Erica dulu lorong ini menjerumuskan dirinya ke ruang bawah tanah. Namun sepertinya itu sudah tidak berlaku sama sekali, ya namanya juga di ubah pasti ada yang di rombak besar-besaran ada juga yang hanya di tambahkan beberapa saja.     

"Tapi, tetaplah berada di pengawasan ku, Erica." ucap Sean sambil menghembuskan napas ringan. Ia sangat tahu jika Erica tidak bisa terbantahkan, maka dari itu ia memilih untuk nurut saja tapi tidak sepenuhnya memberikan akses kebebasan yang secara tersirat diminta oleh gadisnya itu.     

Erica membenarkan letak bajunya yang sedikit berantakan, lalu mereka berdua kembali berjalan menelusuri lorong, kali ini berjalan beriringan satu sama lain. Tidak ada yang egois lagi, kali ini keduanya benar-benar untuk mengerti.     

"Kalau Xena tidak selamat, bagaimana?"     

Pertanyaan tiba-tiba yang dilontarkan kepada Erica, tentu saja membuat gadis itu langsung menolehkan kepalanya dengan heran. Ia menggelengkan kepalanya, merasa jika ucapan Sean adalah sebuah kesalahan. "Tidak mungkin," ucapnya yang selalu berpikir positif tentang segala hal. Ia sangat tahu jika Xena adalah gadis yang kuat, dan sudah dapat dipastikan segala kejadian buruk akan ada sihir rahasia yang selalu bisa menyelamatkannya.     

"Hei, aku hanya bertanya kemungkinan lain. Semua ini bergantung pada Allea dan juga Vrans, bagaimana kalau mereka gagal dan di hadapi dengan semua penemuan canggih milik Hana?" tanya Sean kembali. Ia memiliki tujuan bagus untuk tetap membuat Erica tidak berharap lagi kalau bisa saja misi penyelamatan ini gagal.     

Tidak, ia bukannya bersifat pesimis kok. Tapi melihat perkembangan sejauh ini... Hana sangat tidak main-main dengan apa yang di ucapkan mengenai seberapa siap rencana yang sudah di susun olehnya.     

Baiklah, perasaan khawatir semakin hinggap di benak Erica akibat dari pertanyaan Sean yang menurutnya benar karena memikirkan kemungkinan lain. "Kalau begitu, aku tidak akan pernah memaafkan diri ku sendiri. Sebagai seorang sahabat, sudah seharusnya aku menjaga. Kalau gagal, ya berarti aku tidak berarti apapun." ucapnya dengan ulasan senyum miris yang tercetak jelas di permukaan wajahnya.     

Sean yang melihat itu pun langsung saja mengerjapkan kedua bola matanya, ia merasakan apa yang dirasakan oleh Erica. Ya setidaknya bukan merasakan bagaimana kehilangan seorang sahabat, tapi merasakan penyesalannya.     

Tanpa di sangka sedikitpun, Erica langsung saja menjulurkan kedua tangannya untuk di lingkarkan pada pinggang Sean. Iya, benar. Seorang Erica Vresila memeluk laki-laki yang selama ini selalu ia sebut dengan julukan aneh.     

...     

Kembali lagi mengingat Orlin yang kini sudah duduk manis di dalam rumahnya. Tidak, kali ini bukan dengan perasaan senang ataupun berbahagia, tapi sebaliknya.     

Dengan kedua tangan yang mulai terkepal satu sama lain saling bertautan dan meremasnya dengan perasaan cemas.     

Bagaimana kalau Xena kenapa-napa?     

Bagaimana kalau Erica mendapatkan masalah yang sama seperti sebelumnya?     

Bagaimana kalau nanti Hana yang menang?     

Bagaimana kalau...     

Baiklah, berbagai pikiran negatifnya sudah mulai mengalir di dalam kinerja otak. Ia tidak bisa berpikir jernih semenjak D. Krack mengembalikan dirinya ke rumah yang hampa dan kosong ini. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding berharap jika di jam selanjutnya semuanya sudah selesai tanpa kendala sedikitpun. Tapi kenyataan menariknya kembali ke sebuah zona kecemasan jika semua harapan yang berada di hatinya telah kandas begitu saja.     

"Kalau aku cuma diam, pasti tidak akan terselesaikan. Tapi aku harus bagaimana?" Ia bahkan sampai bertanya pada diri sendiri mengenai hal ini.     

Ingin menghubungi pihak kepolisian pun rasanya takut, karena kalau mereka nanti mengevaluasi tempat pasti akan berakhir mengenaskan karena setiap inci yang berkaitan dengan Hana pasti sangatlah berbahaya.     

Niel? Tidak mungkin mengganggu jam kerja kekasihnya itu yang mungkin saja sedang dilanda kesibukan yang sangat.     

Tapi mau bagaimana lagi?     

Ah, memang dirinya tidak pernah punya pilihan selain menghubungi Niel.     

Apa-apaan, pasti dirinya lari ke laki-laki yang pernah memutuskan hubungannya karena mendekati dirinya ini hanya untuk seorang Xena. Tapi, sekarang rasa sayangnya tidak pernah main-main bahkan kelewat tulus.     

Ia segera meraih ponselnya yang sedaritadi tidak berniat untuk di sentuh itu, membuka layar kunci lalu mulai mencari kontak telepon milik Niel dengan emoticon love merah yang tertampil jelas di samping namanya.     

Orlin segera menekan tombol gagang telepon, lalu tersambung dengan orang yang di tuju.     

"Halo, sayang. Ada apa?" tanya Niel di seberang sana, dari nada ucapannya saja sudah dapat di tebak jika laki-laki itu masih sibuk dengan segala urusannya.     

Orlin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merasa tidak enak saat mengetahui panggilan teleponnya ini pasti sudah mengganggu Niel. Toh padahal laki-laki itu selalu tidak masalah akan hal ini, karena baginya gadis ini adalah alasan di balik kesenangan yang ada di hidupnya.     

"Xena dalam bahaya, lagi." ucap Orlin dengan nada parau yang seperti sudah pasrah dengan apa yang terjadi, tapi semangat untuk menyelamatkan Xena tidak akan pernah luntur.     

Iya, selama dirinya dapat teror dari seseorang tempo lalu sampai sudah di posisi darurat seperti ini, ia tidak bercerita apapun kepada laki-laki itu.     

Terdengar suara terkejut kecil di seberang sana, "Bagaimana bisa?" tanya Niel.     

Orlin menghembuskan napasnya dengan perlahan, ia tahu ini adalah kesalahannya yang menyembunyikan perihal tentang masalah sebesar ini. "Nanti ku jelaskan, selebihnya apa kamu bisa membantu diriku?" tanyanya dengan nada pelan.     

Dari seberang sana terdengar nada hembusan napas kecil, lalu berganti menjadi sebuah suara kecupan angin seolah-olah mengecup Orlin di seberang sana. "Jangan khawatir, aku akan memanggil pihak FBI serta pihak keamanan." ucapnya dengan nada tenang, seolah-olah menenangkan Orlin yang sudah khawatir setengah mati, terdengar dari suaranya.     

Orlin merasa tidak enak dengan apa yang dilakukan ia kali ini, "Maaf kan aku karena selalu mengganggu mu bekerja." cicitnya sambil mengerucutkan bibir dengan sangat lucu.     

Niel terkekeh kecil di seberang sana, ia rasa ingin mengecup pipi gadisnya saat tau ekspresi menggemaskan yang ditampilkan saat ini. "Tidak, aku senang jika kamu butuh bantuan ku. Aku akan meninggalkan pekerjaan ku untuk hari ini, dan tunggu aku sekitar sepuluh menit. Sampai jumpa, love you."     

Pip     

Panggilan telepon terputus secara sepihak, bahkan tanpa mendengarkan jawaban dari Orlin sedikitpun. Sedangkan gadis ini, ia langsung saja menaruh kembali ponselnya lalu mulai beranjak dari duduk.     

"Kalau seperti ini, setidaknya aku sudah ambil andil." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman tipis. Walaupun sederhana, setidaknya ia sudah membantu bersama Niel.     

Kini yang ia perlukan hanya berganti pakaian casual supaya lebih mudah bergerak daripada memakai rok dan jas kerja seperti ini.     

Setiap sahabat memiliki peran untuk tetap mengambil andil saat salah satu dari mereka mendapatkan masalah, dan itu adalah bentuk kasih sayang yang sangat besar.     

Apalagi mengingat bagaimana perawalan dirinya bersahabat dengan seorang Xena, jangan dijelaskan lagi karena sangat menyenangkan sehingga terekam di memori otaknya dan di posisikan paling atas.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.