My Coldest CEO

Seratus enam puluh



Seratus enam puluh

0Tanpa di sangka sedikitpun, Erica langsung saja menjulurkan kedua tangannya untuk di lingkarkan pada pinggang Sean. Iya, benar. Seorang Erica Vresila memeluk laki-laki yang selama ini selalu ia sebut dengan julukan aneh.     

Ingin berbesar kepala pun sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat, toh Sean sangat mengabadikan momen langka ini di kehidupannya. Di peluk oleh gadis dingin yang biasanya selalu berdecak sebal ketika ia bersifat jahil dan juga menjengkelkan? Tentu adalah hal yang paling menggemaskan sedunia. Ia pun langsung menjulurkan tangan kirinya untuk mendekap tubuh Erica, lalu tangan kanannya mulai mengelus pelan tepat di puncak kepala gadis tersebut.     

"Sudah merasa baikan, atau belum?" tanyanya sambil menangkup wajah tirus Erica ke dalam kedua telapak tangannya. Kali ini ia tidak memeluk balik tubuh mungil itu, tapi justru masuk menyelusuri apa yang sebenarnya terdapat di balik kedua manik mata indah tersebut.     

Terdapat ketakutan, kekhawatiran, dan juga sebuah rasa pantang menyerah pun tercetak jelas di sana. Erica benar-benar gadis yang sangat hebat, ia akui untuk saat ini.     

Erica yang wajahnya tadi sedang berada di dada bidang Sean pun langsung saya tersentak kala pandangannya sudah beralih pada wajah tampan Sean yang bahkan dengan kondisi berantakan pun tetaplah seperti layaknya sang Dewa Yunani.     

"Tentu saja belum karena kamu merusak suasana!" serunya dengan tatapan yang kembali menajam sambil mendorong dada bidang Sean supaya laki-laki itu menjauh dari dirinya. Kini yang ia perlukan hanyalah pasokan oksigen supaya tidak terlalu menipis di sekeliling atmosfernya.     

Sean yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Erica pun langsung saja terkekeh kecil. Erica adalah Erica, dan begitu seterusnya. Tidak mungkin gadis dingin berubah menjadi gadis lugu dan manis layaknya kelinci peliharaan yang sedang bermain bersama sang majikan.     

"Loh tadi dekat-dekat dengan ku, meluk segala. Sekarang kok kesel lagi?" ucapnya sambil menaik turunkan alis bermaksud untuk menggoda gadis yang kini sudah merapihkan kembali pakaiannya, bahkan sampai rambut pun ia sisir dengan jemari lentiknya.     

Erica memutar kedua bola mata, lalu mulai melangkahkan kembali kakinya untuk menelusuri lorong ini. Ia tidak peduli pada Sean yang terus-menerus memanggil dirinya dengan nada menyebalkan seperti meledek. Ayolah, refleks memeluk seorang laki-laki yang selalu ada di hidupnya itu bukanlah sebuah masalah, iya kan?     

Jangan menyimpulkan apapun di saat mendapati kondisi yang seperti ini. Jangan menjodoh-jodohkan dirinya dengan Sean atau siapapun di muka bumi ini, toh kalau sudah takdir pun akan datang menghampirinya.     

Sedangkan di belakang sana, Sean tengah terkekeh geli dengan tindakan Erica yang menurutnya sangat konyol itu. "Ayolah, jangan terlalu cepat jalannya." ucapnya sambil melangkahkan kakinya dengan cepat, tentu saja dengan berhati-hati.     

Erica menolehkan kepalanya dengan singkat ke arah Sean yang kini sudah berhasil menyusul langkah kakinya. "Apa? Memangnya--"     

Do     

"Eh?"     

Erica maupun Sean langsung saja menolehkan pandangannya satu sama lain merasa bingung ketika lantai yang mereka pijak langsung saja berbunyi seperti nada tangga do re mi fa so la si do. Dan kini mereka mendapatkan bagian 'do'.     

"Apa maksudnya?" tanya Erica pada Sean yang berakhir dengan jawaban kepala menggelengkan disertakan bahu terangkat, memberitahu pada dirinya jika laki-laki itu juga tidak tahu apapun.     

"Hi welcome to the musical scales of death."     

(*Hai, selamat datang di nada tangga kematian.)     

Suara sebuah sistem yang menggema di lorong ini pun mewakili jawaban dari pertanyaan yang berada di kepala masing-masing milik Seam dan juga Erica. Entah apa yang terjadi selanjutnya, pasti itu adalah hal yang sangat buruk.     

Mereka berdua bergeming karena belum paham dengan permainan tangga nada yang katanya 'berbahaya' ini, namun tak ayal mereka langsung mengalihkan pandangannya pada lantai yang memang diinjak oleh keduanya.     

Lantai berwarna hijau tua yang mereka pijak, dan selanjutnya ada beberapa warna yang di acak entah bermaksud apa.     

"This game is easy, you can do it if you are smart and agile. Green is next, red is for danger, and blue is for luck."     

(*Game ini mudah, kamu bisa melakukannya jika kamu pintar dan gesit. Hijau berikutnya, merah untuk bahaya, dan biru untuk keberuntungan.)     

Sebuah clue yang mungkin saja memiliki 2 poin warna yang bisa saja lebih memudahkan mereka. Tapi... apa maksud dari 'keberuntungan' pada warna biru? Beruntung tidak menginjak lantai merah berbahaya, atau beruntung untuk hal lainnya yang justru menyesatkan?     

Sean menatap ke arah Erica, lalu mengecup puncak kepala gadis itu. "Jangan takut, aku duluan." ucapnya begitu melihat Erica yang masih bergeming di tempatnya. Ia langsung saja mengalihkan pandangan pada pijakan lantai yang berwarna, kini hanya cukup untuk 1 orang sana. Dan ya, warna hijau nya pun jarang dan membutuhkan lompatan jauh.     

Dengan menghembuskan napasnya dengan perlahan, Sean berdoa pada Tuhan supaya masih bisa bernapas lagi di menit selanjutnya.     

Erica yang sudah melihat Sean berancang-ancang untuk melompat itu pun langsung saja menahan sebentar lengan laki-laki itu. "Berhati-hatilah, Sean." gumamnya sambil mengulas sebuah senyuman kecil pada permukaan wajahnya.     

Sean yang mendapatkan perhatian sekecil itu pun tetap saja merasa senang, lalu menjauhkan tangan Eric yang menggenggam lengannya dengan erat. "Jangan khawatir, aku pembunuh bayaran tampan tidak mungkin ada yang berani menewaskan ku." Masih dengan ucapan penuh kepercayaan diri, inilah Sean yang jatuh hati pada Erica dengan ketidaksengajaan.     

Erica memutar kedua bola matanya, ia berdecih kecil. "Semoga saja ada sesuatu yang mengenai mu membuat diri mu meringis dan tidak lagi menyebalkan." ucapnya yang sudah terlanjur merasa sebal dengan tingkah Sean.     

Berusaha untuk tidak merespon Erica padahal di dalam hatinya memiliki keinginan untuk segera menggoda gadis itu, ia mencoba terfokus pada langkah yang akan ia ambil.     

Pijakan biru menjadi pilihannya saat ini.     

Ia mengambil ancang-ancang melompat.     

Hap     

Re     

Sling     

Tiba-tiba saja sebuah kapak besar yang bergantung di langit-langit pun keluar begitu saja mengayun seratus delapan puluh derajat sebanyak 3x gerakan, lalu kembali lagi teredam di langit-langit.     

Sean yang berdiri tepat di samping lantai berwarna merah itu pun sempat menahan napasnya, sedikit saja ia menaruh kakinya lebih dekat dengan pijakan yang menandakan bahaya itu, bisa jadi tubuhnya sudah terbelah.     

Yang merasakan saja sudah terkejut, apalagi kini Erica yang menontonnya mungkin hampir pingsan kalau dia bukanlah cewek yang kuat.     

"SEAN? APA KAMU TIDAK APA?!" teriaknya yang tentu saja khawatir dengan apa yang terjadi dengan Sean barusan.     

Kini mereka tahu apa sebenarnya arti 'keberuntungan' yang di maksud. Beruntung tidak terkena ranjau mematikan yang di buat oleh Hana.     

Sean menolehkan kepalanya, lalu tersenyum disertai dengan ibu jari kanan yang melayang di udara mengarah ke Erica. "Baik banget, hanya terkejut saja." Padahal, satu hembusan lega pun lolos begitu saja dari dalam mulutnya.     

Dengan langkah besar seorang laki-laki, tentu saja Sean dapat melangkahkan kakinya lebih lebar ke pijakan berwarna hijau yang pertanda aman.     

Hap     

Mi     

Dirinya menunggu untuk detik selanjutnya saat sudah berhasil memijakkan kakinya di lantai berwarna hijau itu, dan tidak terjadi apapun.     

Sekali lagi, ia memilih langkah selanjutnya karena yang benar saja lantai berwarna hijau itu terletak sekitar tiga langkah dewasa jauh di depannya.     

"Sial, apalagi yang Hana tunjukkan pada semua orang?"     

Keahlian sang kakak yang memang tidak ada tandingannya ini pun mungkin cukup untuk di berikan sebuah tepukan tangan karena berhasil membuat sistem jebakan yang sekeren ini. Bahkan, ia hanya berpikiran untuk membuat ruang bawah tanah dan labirin kaca karena tidak memiliki banyak waktu untuk mengubah ruangan ini menjadi lebih mematikan lagi beberapa tempo bulan yang lalu sebelum dirinya membuat perjanjian manis pada Erica.     

Erica pun memperhatikan setiap langkah Sean, lalu saat laki-laki itu mencoba untuk melompat ke lantai berwarna hijau, tapi tiba-tiba pijakan tersebut langsung berubah warna menjadi merah. "SEAN, AWAS! PERHATIKAN LANTAINYA!"     

Dan berkat teriakan Erica, Sean langsung saja menatap ke bawah dan ya dirinya memijak lantai berwarna merah. Dan pada detik selanjutnya ia membulatkan kedua bola matanya dan melangkahkan ke samping lantai berwarna biru bersamaan dengan beberapa buah anak panah yang meluncur ke arahnya.     

Sean menundukkan kepalanya, dan anak panah tersebut langsung menancap ke dinding lorong. Kalaupun Sean lalai beberapa detik pun, pasti lagi-lagi ia sudah terbunuh.     

Tolong siapapun buat dirinya langsung terselamatkan tanpa harus melewati kesialan ini.     

"KU BILANG HATI-HATI, ASTAGA." teriak Erica yang kini dadanya sudah berdebar karena ulah Sean. Lagipula, kenapa bisa warna pijakan tersebut langsung saja berubah warna tanpa di ketahui sedikit pun?     

Pintar dan gesit.     

Itu adalah kunci untuk bisa ke lantai selanjutnya yang bebas dari tangga nada ini.     

Sekali lagi, Sean menghembuskan napasnya dan kembali berdiri dengan tegak. "Tenang sayang, aku tidak kenapa-napa." Dan masih sempat-sempatnya ia memanggil Erica dengan panggilan nama sayang yang mampu membuat gadis itu mendelik sebal.     

Sean meniup telapak tangannya dengan tenang, lalu segera melompat ke arah lantai hijau untuk langsung ke mode aman.     

Hap     

Fa     

Dan berhasil.     

Ia membalikkan tubuhnya untuk melihat ke arah Erica yang seperti sudah mengambil ancang-ancang tanpa rasa takut sedikitpun. "Sekarang giliran mu," peringatnya.     

Erica menganggukkan kepalanya, lalu mengambil ancang-ancang untuk melompat. Ia ingin mengambil setiap langkah yang Sean pijak tadi, berharap sudah tidak ada ranjau yang keluar untuk kedua kalinya.     

Hap     

So     

Hap     

La     

Hap     

Si     

Hap     

Do     

Berhasil dengan sangat mulus tanpa adanya 'keberuntungan' ataupun pijakan merah berbahaya yang mengeluarkan banyak sekali kejutan mematikan.     

"Lihat? Ini mudah." ucap Erica sambil menyunggingkan sebuah senyuman manis yang lebih ke arah mengejek.     

"Hei, iya lah. Kamu mengikuti setiap langkah ku, hampir saja aku terbunuh!"     

"Biarin, jadi kalau kamu kalah, aku tidak perlu repot-repot untuk menembak mu."     

"Nanti juga kangen terhadap ku,"     

"Jangan mimpi, sebaiknya segera lanjutkan menelusuri ruangan berbahaya ini."     

Dan ya, Sean kini berdecak kecil. Ia berjanji setelah ini semua selesai akan melumat dengan ganas bibir menggoda milik gadis yang kini lagi dan lagi memimpin jalan, lihat saja selanjutnya nanti.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.