My Coldest CEO

Seratus enam puluh dua



Seratus enam puluh dua

0Xena yang entah sudah tidak tahu lagi ingin berbuat apa ini pun memutuskan untuk duduk di tepi kasur dengan pandangan yang menyorot ke arah kedua telapak kaki, tidak alas apapun untuk melapisi kakinya yang bertabrakan dengan lantai.     

Perasaan bimbang sudah kembali merasuki ke relung hatinya yang terdalam, ia merasa jika ini adalah hal yang sangat mustahil untuk mendapatkan sebuah kemenangan.     

Memang sih ia harus berharap apa pada keadaan yang sudah serusak ini? Tidak ada. Pasti yang ia lakukan hanya berdiam diri serta menunggu sebuah keajaiban yang mewujudkan segala harapan untuk lolos dari semua jeratan ini.     

Dengan sorot mata yang sendu, tentu saja Xena ingin tidur di rumah Vrans lagi supaya menghilangkan rasa penat yang bersarang pada otaknya. Rasa ingin mengajak chef Aldo untuk masak-masak bersama juga mencicipi segala hidangan chef kelas atas itu pun membuat dirinya rindu pulang ke rumah.     

Kenapa harus tiga kali ia berada di posisi tidak menguntungkan seperti ini? Belum lagi saat Hana yang kejam selalu mengejar dirinya, harus dapat, tidal boleh tidak. Ya memang sih ia yakin pada takdir jika ada hal yang lebih besar dan lebih sulit yang menimpa orang lain, namun dirinya sudah merasa lelah karena ini belum terselesaikan.     

Antara Hana yang harus tewas atau dirinya yang memang harus berpamitan pada dunia ini.     

Ia masih menunduk lesu, membayangkan setiap kalimat yang terucap dari mulut Vrans.     

Gadis aneh...     

Gadis pluto...     

Sayang...     

Nyonya Luis...     

Tidak, jangan menetes.     

Tapi terlambat, apa yang ia kuatkan dalam hati pasti akan menjadi cerminan yang berkebalikan dengan suasana hatinya. Kini, cairan kristal mulai keluar dari kelopak matanya, membasahi permukaan wajah manis yang langsung saja mengubah ekspresinya menjadi sangat sendu.     

Gagal. Ia memang selalu gagal menjadi seseorang yang berguna di dalam hidup ini, kesalahan adalah pendeskripsian paling tepat untuk dirinya.     

Setiap inci dari hidupnya memang sudah abu-abu, sampai Tuan Leo datang mengubah segalanya. Memberikan dirinya pangkat terbaik di Luis Company yang mengharuskan dirinya memiliki pola pikir maju, kreatif, dan pastinya aktif dalam memilih segala tindakan.     

Belum lagi ia memikirkan acara pernikahan yang tertunda, marah? Tentu saja ia sangat marah akan hal itu. Tapi mau bagaimana lagi? ingin keluar dari dari zona takdir pun tidak bisa.     

Dengan semakin menenggelamkan kepala, ia menutupinya wajahnya dengan sangat lesu. Bulir air mata mulai bermunculan dengan heboh, jalan pikirannya pun mulai kemana-mana.     

Ia takut hanya karena gadis lugu dan bodoh serta memalukan seperti dirinya ini malah membuat malapetaka untuk yang lain. Kalau ada orang terluka karena ikut mengambil andil untuk menyelamatkan dirinya saat ini, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.     

Mereka sudah berjuang banyak, dan apa yang ia berikan? Tidak ada. Ia bahkan hanya sempat menebar kebahagiaan tapi tidak sempat membalas jasa untuk banyak orang.     

Lama kelamaan, suara tangis yang memilukan itu mulai saja terdengar sampai setiap sudut ruangan penyekapan ini. Untung saja Chris baik membebaskan dirinya seperti ini, walaupun tidak bisa kabur tapi ia cukup puji syukur pada Tuhan karena masih bebas bergerak. Tidak seperti perawalan tadi saat kedua tangan dan kakinya di borgol pada kayu yang berada di sudut kursi.     

Menghembuskan napasnya secara perlahan, ia mulai mengusap bulir air mata yang menjadi jejak di pipinya. Baiklah, kalau mereka semua sedang berjuang, bukankah bukan waktu yang tepat untuk bersedih dan menyalahkan keadaan?     

"Hai Xena, bagaimana keadaan mu saat menyadari kalau ini adalah hari terakhir berada di dunia?"     

Mendengar ucapan dari seseorang yang suaranya sangat familiar itu pun membuat Xena langsung saja menaikkan pandangannya ke arah Hana yang tengah berjalan dan berdiri tepat di hadapannya. Ia mendengar kalimat yang sangat menyeramkan itu seolah-olah jika dirinya memang akan segera pergi dari dunia ini, semudah itu ya?     

"Hai, Hana." sapa balik Xena dengan mengulas sebuah senyuman tidak bersemangat. Ia kembali menundukkan kepalanya, ia sudah tidak melawan dan hanya bisa menerima segala kepahitan ini.     

Untuk merespon seorang Hana pun ia sudah tidak berniat. Baginya, gadis pembunuh bayaran itu adalah pemicu yang sangat mudah untuk disingkirkan. Di musnahkan saja bisa langsung bangkit dari kematiannya tanpa satu orang pun yang tahu akan 'kematian palsu' Hana. Cukup baik menyembunyikan segala status dan identitas juga merupakan kekuatan terbesar Hana.     

"Jangan bersedih, ini hari terakhir mu. Bergembiralah, oh atau kita harus bersulang red wine?" ucap Hana dengan sebuah senyuman lebar pertanda jika dirinya benar-benar bahagia melihat raut wajah pasrah yang di tunjukkan Xena. Siapapun juga tahu kalau keadaan ini patut di tindak lanjuti. Sayangnya, dulu ia sangat menaruh hati dan berbuah kasihan pada orang-orang yang pernah jahat padanya. Terlalu baik? Itu adalah sifat positif seorang Xena Carleta Anderson yang justru menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.     

Xena menggelengkan kepalanya, lalu mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Hana yang kini sudah menarik kursi yang beberapa menit lalu di tempati oleh Chris. Entah kapan gadis itu menyeret kursi tersebut toh titik fokusnya telah teralihkan. "Tidak. Masih sama seperti sebelumnya, yang aku mau hanya Vrans dan orang-orang yang aku sayangi, Hana. Aku tidak butuh kebahagiaan apapun lagi," ucapnya sambil menampilkan sebuah senyuman kecil kalau apa yang dirasakannya ini adalah sebuah ketulusan dari dalam lubuk hati.     

"Kalau ternyata ada salah satu dari mereka yang tewas, bagaimana?" tanya Hana.     

Ingin mempermainkan kinerja otak Xena? Sungguh, hal tersebut sudah tidak mempengaruhi apapun lagi. Kejadian sebelumnya sudah membuah Xena sadar jika apa yang terjadi di hidupnya tidak perlu di bawa sampai beban pikiran yang kacau.     

Xena menaikkan sebelah alisnya merasa tidak paham dengan apa yang ia rasakan. "Mungkin tidak akan memaafkan diri ku sendiri?" Ia pun berkata tanpa keyakinan di dalam tubuhnya. Bahkan, untuk kalimat barusan ia luncurkan dengan nada bicara seperti bertanya.     

"Menarik, kalau begitu aku ingin salah satu dari mereka tewas, bagaimana?" tanya Hana sambil memicingkan kedua bola matanya. Tatapannya sangat menyeramkan, lebih tepat seperti layaknya seorang psikopat.     

Xena terkekeh kecil, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang karena sehelai dua helai yang menutupi penglihatannya. "Bisa? Lakukan jika kamu mampu." ucapnya yang justru malah menantang Hana. Ia tidak takut jika terjadi sesuatu pada seseorang yang menyelamatkannya, ia sangat percaya tentang kemampuan dan juga keberuntungan setelah kesialan dari hidupnya.     

"Kenapa tidak takut?" tanya Hana yang kini sudah menaikkan sebelah alisnya. Namun tak ayal tatapan membunuh itu tetap terukir di permukaan wajahnya yang memang cocok sekali memiliki peran antagonis jika di kontrak dalam film.     

Lagi dan lagi, Xena hanya terkekeh kecil. "Untuk apa, Hana? Hanya karena kamu berhasil menghancurkan hidupku dari beberapa bulan yang lalu, bukan berarti kamu juga bisa melakukan hal serupa pada orang-orang kesayangan ku."     

"Kalau aku bisa? Aku menantang mu untuk di kuburkan bersama, bertepatan sebelahan dengan orang yang tewas itu." ucap Hana yang sudah membayangkan bagaimana suasana pemakaman yang sudah pasti akan membawa haru yang justru membuat dirinya senang.     

Xena bergeming. Sial, Hana sangat pandai bersilat lidah. Entah kenapa, ia merasa sangat pasrah dengan semua ini.     

"Kenapa tidak menjawab?"     

Mendengar pertanyaan yang kembali terucap keluar dari mulut Hana, Xena langsung saja menatap lekat kedua manik mata gadis yang berada tepat di hadapannya dengan sorot mata kemenangan. "Kamu tidak pernah di cintai, iya kan?" tanyanya memberikan balik pertanyaan yang membuat mulut hana bungkam.     

Benar kata Xena, seorang Hana Xavon tidak pernah merasa di sayangi dan juga enggan untuk di sayangi. "Tidak," balas Hana sambil meniup jemari tangannya dengan sangat tenang.     

Ia tidak pernah keberatan jika tidak ada yang mencintai dirinya. Toh ia hidup bukan untuk di cintai dan mencintai, melainkan sebagai alat nyata pembunuh manusia yang tentu saja mempunyai kesalahan besar dalam hidupnya.     

"Kalau begitu, pasti kamu tidak tahu rasanya kehilangan, iya kan?" tanya Xena dengan sebuah senyuman pahit.     

Hana menggelengkan kepalanya dengan santai. "Tentu saja tidak tahu." ucapnya dengan sebuah nada ringan yang memang tidak merasakan apa yang Xena tanyakan pada dirinya.     

"Lalu, bagaimana bisa kamu memisahkan banyak orang sampai lain dunia yang bahkan tidak tahu kamu bunuh untuk alasan apa?" Entah Xena sudah bertanya berapa kali seperti layaknya wartawan, tapi yang pasti Hana tidak akan pernah merasakan seluruh perasaan yang dimiliki manusia pada umumnya.     

"Tentu saja aku tahu, mereka tikus nakal yang tidak pernah memikirkan nasib rakyat kecil." ucap Hana memberikan penjelasan yang menolak semua pemikiran Xena yang mungkin saja pekerjaan kotornya ini membunuh para orang tidak berdosa. Padahal, ia pun membunuh orang dengan sebuah pemikiran matang yang tentu saja menguntungkan banyak pihak karena tidak ada dirinya.     

Xena menganggukkan kepalanya dengan paham, tapi ada satu hal yang Hana tidak mengerti. "Tapi mereka memiliki keluarga, apa tidak cukup menyingkirkan dirinya dari perusahaan saja?" tanyanya.     

Hana yang mendengar kalimat penuh nasehat itu pun memutar kedua bola matanya, apalagi melihat kedua bola mata Xena yang sudah memerah, pertanda sebentar lagi akan segera mengeluarkan buliran kristal bening dari kelopak matanya.     

Sebelum gadis tersebut mengeluarkan beberapa deret kalimat yang membuat dirinya mendelik sebal, dalam diam ia meraih sebuah suntikan bius yang terdapat di tali tas pinggang yang berada di belakang tubuhnya.     

"Lebih baik kamu diam, Xena."     

"Apa maksud mu?"     

"Ah tidak, bisakah aku meminta tolong dirimu untuk melihat jam dinding dan memberitahu diriku jam berapa sekarang? Sepertinya mata ku buram," ucapnya.     

Dan ya, dengan polosnya Xena menolehkan kepalanya untuk melaksanakan perintah Hana.     

Dan detik selanjutnya, Hana langsung saja mengarahkan tangannya untuk menancapkan sebuah suntikkan ke arah leher gadis tersebut.     

Saat di cabut, tubuh Xena pun tumbang jatuh ke belakang tepat di atas kasur.     

"Gadis cerewet," gumam Hana.     

Ia bangkit dari duduknya, lalu membenarkan tubuh Xena untuk berposisi tiduran di atas kasur. Sudah ia bilang, nikmati detik terakhir kehidupan. Dan gadis itu menolak, lebih baik ia langsung bius.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.