My Coldest CEO

Seratus enam puluh empat



Seratus enam puluh empat

0Apapun yang berada di seberang sana bersama dengan Allea, ia akan memusnahkannya supaya gadis itu bisa melakukan kemampuan dalam bidang meretas sistem keamanan Hana. Itupun kalau dirinya tidak terlambat, karena semakin di dengar pun kegaduhan yang terdengar dari seberang ruangannya ini mulai meredam.     

"Win or lose, it's all in my hands and Allea." gumamnya dengan penuh keyakinan, kedua tangannya pun memegang gagang kapak dengan sangat erat. Ia mendengus kasar berusaha untuk mengumpulkan seluruh tenaga yang berada di dalam tubuhnya supaya mudah untuk menghancurkan dinding ini.     

(*Menang atau kalah, itu semua ada di tangan ku dan Allea)     

Jangan katakan seberapa rasa khawatir dirinya terhadap seorang Xena kali ini. Membayangkan jika dirinya hidup tanpa gadisnya itu pasti mengembalikan memori pahitnya lagi seperti layaknya cinta bertepuk sebelah tangan pada Klarisa. Pahit, namun tidak bisa berbuat apapun selain diam dan menerima sebuah kenyataan dengan susulan takdir yang tidak mendukung.     

Mungkin saja, sosok CEO terdingin akan kembali menjulukinya kalau sampai sisi negatif yang berada di sistem kinerjanya ini mulai menyerang dan bergumpal sebagai sebuah pemikiran yang mengikis hati.     

Hidup tanpa seorang pujaan hatinya? Tidak. Lebih baik kehilangan harta daripada kehilangan seseorang yang bisa merubah hidupnya dari masa abu-abu dan sedingin es sampai bertemu dengan pelangi seperti Xena. Harta dapat di cari, bahkan pun mudah dengan gelar marga Luis yang mengikut di belakang namanya. Tapi gadis pluto yang aneh dan konyol seperti Xena, hanya ada satu dan sangat langka karena memiliki hati yang tulus serta selalu menebarkan kasih sayang pada banyak orang. Tidak ada yang gadis lain yang selembut Xena, tidak ada sanggahan.     

Jadi kesimpulannya,     

SEMUA INI HARUS SEGERA TERSELESAIKAN.     

Satu kesimpulan yang membangkitkan semangat namun bisa saja menurunkan semangat karena jika diingat-ingat hanya sebuah kalimat penenang.     

Ia melayangkan kapak yang berada di tangannya, perawalan masih belum terbiasa. Untuk yang kedua sampai seterusnya, ia mulai bersemangat dan menaikkan senyuman sampai tercetak jelas di wajahnya. Terkaan yang benar, sudah pasti dinding ini terbuat dari kayu.     

Semakin mempercepat ayunannya dan membuat kapak tajam tersebut menyentuh dinding kayu sampai dengan perlahan membentuk sebuah lubang dari kecil hingga cukup untuk Vrans supaya melihat apa yang sedang terjadi di seberang sana.     

"Allea!" serunya memanggil seorang gadis yang sedari tadi pisah dengan dirinya. Entah kenapa yang tadinya di sana terdengar suara gaduh pun kini sudah senyap.     

Apa yang telah ia lewatkan?     

Dengan lebih semangat lagi, Vrans semakin memperkuat dan mempercepat ayunan tangannya yang langsung memperlebar lubang besar di dinding. Dan ya, tidak ada siapapun.     

"Ayolah Allea, jangan main-main!"     

Setelah berhasil dengan usahanya yang membuat sebuah lubang pemersatu dua ruangan ini, yang terpenting cukup bagi dirinya untuk bergerak masuk ke dalam ruangan yang ditempati oleh Allea. Ia memaksakan dirinya masuk ke dalam sana. Bahkan sudah tidak peduli jika kini pakaiannya terkena serat kayu menghasilkan goresan yang cukup terlihat tapi tidak sampai menyobek bahan pakaian yang melekat di tubuhnya.     

Dengan satu alis yang terangkat karena kini pandangannya terhalau sebuah sofa panjang, ia langsung saja membereskan penampilan terlebih dahulu lalu setelah merasa cukup, barulah segera melangkahkan kakinya untuk mencari letak keberadaan Allea.     

Namun tiba-tiba langkahnya melambat kala melihat Allea yang sudah terjatuh di lantai. Darah sudah mengotori lantai kayu yang ada di ruangan ini, tidak jauh dari tubuh Allea pun ada sebuah gadis yang dapat di tebak rancangan robot milik Hana sudah tergeletak tanpa adanya energi lagi.     

Dengan langkah yang di percepat, tentu saja membuat Vrans kalang kabut. Apalagi melihat bagaimana posisi tubuh Allea terjatuh yang langsung saja memperlihatkan bercak merah di seluruh darahnya. Ia berjongkok tepat di samping gadis itu yang sebelumnya sudah memeriksa apakah robot tersebut masih aktif atau tidak.     

"Allea, apa kamu masih sadar?"     

Vrans bertanya seperti itu sambil memeriksa denyut nadi Allea beserta dengan hembusan napas gadis tersebut, tak lupa lupa ia menepuk-nepuk pelan pipi Allea dengan wajah yang sudah tidak sesegar awal tadi mereka berangkat.     

Uhuk     

Uhuk     

Suara batuk tersebut berasal dari Allea yang langsung saja mengambil napas sebanyak-banyaknya, ia kehilangan darah dan kalau di biarkan lebih lama lagi pun akan mengakibatkan kematian yang tidak pernah di prediksi sebelumnya.     

"Ak--aku butuh ke rumah sakit," gumam Allea sambil menunjuk ke arah pintu keluar yang juga pintu masuk yang tadi ia lewati dengan sistem keamanan miliknya.     

Vrans mengangguk kepalanya, lalu mulai membantu Allea berdiri dan langsung saja ia meraih pinggang gadis tersebut supaya tidak jatuh kembali. Ia memegang erat pergelangan tangan Allea yang di sampirkan ke bahunya, menahan bobot tubuh ringan gadis ini. "Bertahan lah, kita akan segera keluar." ucapnya sambil melangkahkan kaki menuju pintu yang di maksud oleh Allea.     

Retta adalah alasan yang paling utama untuk di hindari karena pasti wanita robot itu memberitahu kepada Alard melalui speaker aktif yang berada di garasi tepat mereka memarkirkan mobil. Sebenarnya ada saja cara lain, tapi nanti bagaimana membawa Allea ke rumah sakit tanpa kendaraan? Tentu saja tidak bisa.     

"Biarkan aku berdiri tegak," ucap Allea ketika Vrans sudah berhasil membawa mereka mendekat ke arah pintu yang sudah tersuguh sebuah sistem keamanan sama persis seperti awal masuk tadi.     

Vrans hanya menganggukkan kepalanya, tapi ia tidak melepaskan tangannya untuk berada di pinggang Allea. Tidak, ia sama sekali tidak berniat mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi ayolah, seseorang yang berada di posisinya saat ini pasti tidak ada pilihan lain.     

Mengingat pilihan...     

"Tunggu, kita belum berhasil meretas sistem keamanan Hana, Allea."     

Ucapannya barusan membuat tangan kanan Allea yang terjulur untuk mendeteksi sidik jari pun langsung saja terambil kembali. Ia menolehkan kepalanya pada laki-laki yang masih setia berada di sampingnya, ia yakin jika bos-nya ini memang seseorang yang paling tepat untuk selalu berada di sisi Xena Carleta Anderson. "Ah iya, Tuan pasti tidak tahu caranya." ucapnya yang memang sudah melupakan rencana mereka kesini.     

Ia terlalu egois mementingkan luka di tubuhnya, dengan mengalungkan kedua tangannya di leher Vrans ia meminta kepada laki-laki itu untuk menggendong dirinya sebentar.     

Vrans pun hanya diam saja dan menurut, dada atas yang terluka tepat di atas dada Allea pasti membuat gadis itu sesak dan kesulitan bernapas. "Jangan banyak gerak," ucapnya sambil menggendong Allea ala bridal style. Kalaupun ada seseorang di ruangan ini, sudah pasti mereka tidak akan salah paham lah. Karena sudah jelas kalau Allea terluka dan hanya ada Vrans yang berada di sana, sudah menjadi kewajiban bagi laki-laki itu untuk menjaga Allea.     

Dengan pahatan wajah yang masih menunjukkan ekspresi dingin, ia mulai melangkahkan kakinya untuk kembali mendekati dinding yang sudah terkoyak akibat ulahnya.     

"Tuan kenapa merusak dindingnya? Kan sayang, pasti harganya mahal."     

Disaat seperti ini, Allea masih sempat-sempatnya berkomentar tentang furniture mahal yang ada di ruangan ini.     

"Lebih mahal nyawa mu, diam saja." balas Vrans dengan nada datar. Begitu sampai di lubang yang dapat menjadi akses masuk keluar manusia itu pun, ia langsung saja menurunkan Allea dari gendongannya.     

Allea yang melihat dinding bolong tersebut hanya menghela napasnya, untung saja dirinya ramping yang masih berada di tingkat bawah body goals. Kalau tidak, pasti tidak akan muat.     

"Kecil sekali,"     

"Dan kamu masih muat, cepat lah."     

Allea menghembuskan napasnya, dengan ringisan yang menahan tangis pada setiap luka yang di berikan oleh Herra pada bagian tubuhnya. Lebih tepatnya pada lengan dan di atas dadanya yang paling terasa sangat perih.     

"Awsh.."     

Vrans sebenarnya kasihan dengan Allea yang seperti ini, tapi mau bagaimana lagi?     

Setelah merasa jika Allea sudah berhasil masuk ke ruangan yang tadi di tempatkan oleh Vrans, laki-laki ini segera menyusul langkah Allea yang berjalan dengan sangat pelan menuju ke komputer dan kursi putarnya.     

"Setidaknya, kalau butuh bantuan itu bilang." ucap Vrans dengan nada datar kala melihat Allea yang sudah berhasil mendaratkan bokongnya di atas kursi putar, tentu saja tanpa bantuan dirinya dengan ringisan yang terdengan memilukan.     

Allea menggelengkan kepalanya, ia merasa tidak enak berdekatan dengan laki-laki yang memiliki ikatan dengan gadis lain. Terlebih lagi jika gadis itu adalah temannya, ia tidak akan berani melakukan apapun untuk merebut seseorang dari siapapun. "Tidak Tuan, ku pikir aku bisa."     

Vrans memutar kedua bola matanya. Ia memberikan perhatian karena Allea adalah kunci utama yang bisa menghentikan ini selain Hana sang pemegang kendali permainan, bukan karena ia mulai peduli dan menaruh hati. Membayangkannya saja, big no!     

Ia dengan rasa inisiatif pun langsung saja melangkahkan kakinya ke sebuah kotak P3K supaya meredakan rasa sakit yang ada.     

"Aku obati," ucapnya sambil melangkahkan kakinya ke arah Allea yang kini sudah berkutik dengan layar monitor.     

Allea menggelengkan kepalanya lagi, toh dirinya masih kuat hanya... rasa perih saja. "Tidak perlu, Tuan. Sudah ku bilang, tidak perlu, harus berapa kali?" ucapnya dengan sangat tenang.     

"Terserah," ucap Vrans sambil membuka kotak P3K yang sudah terletak di atas satu meja dengan komputer.     

"Tuan--"     

Vrans memotong ucapan Allea yang bahkan belum selesai keluar dari dalam mulutnya. "Tidak, aku tidak mengambilnya kesempatan. Lagipula, aku obati yang bagian lengan saja." ucapnya mengatakan kejujuran yang memang     

Menolak pun kenyataannya lengan Allea terasa perih, akhirnya ia memilih untuk menganggukkan kepala dengan perlahan. Namun titik fokusnya masih berada di layar monitor yang mulai mengutak-atik berbagai sistem. Jujur saja, meretas sistem keamanan Hana adalah hal yang paling mustahil. Tapi, jangan pesimis!     

"Perlahan Tuan, goresan luka ku sangat lah perih." ucap Allea sebelum kapas yang sudah diletakkan alkohol itu menyapa permukaan lengannya.     

Vrans memutar kedua bola matanya, lalu berdehem kecil. "Berisik,"     

Tadi tidak ingin diobati, tapi giliran dirinya ingin mengobati pun di komentari juga. Astaga.. para gadis memang banyak mau, pantas saja banyak laki-laki yang tidak mengerti.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.