My Coldest CEO

Seratus enam puluh lima



Seratus enam puluh lima

Masalah dengan Victor sudah selesai, bahkan wanita robot tersebut sudah tidak aktif lagi tanpa pergerakan sama sekali. Ia benar-benar merasa bangga bisa menghancurkan sistem robot yang di rancang oleh Hana. Bagaimana pun, ia mengakui jika gadis satu itu sangatlah luar biasa.     

Dengan langkah kaki besar layaknya seorang laki-laki, tentu saja D. Krack mengikuti jalannya cahaya lampu yang menuntunnya. Percaya atau tidak, tapi kini ia mengikuti kemana arah lampu tersebut membawa dirinya. Ia sudah cukup muak dengan labirin kaca ini, sudah tahu ia tidak pernah menginjakkan kaki di taman hiburan untuk menyelesaikan labirin bersama para teman.     

Jangankan pergi ke tempat hiburan, memiliki teman saja tidak. Hidupnya terlalu datar untuk sekedar bermain dan menghabiskan masa kecilnya dengan ceria. Hidup di keluarga yang tentu saja bukan keluarga kandungnya membuat tekad kuat untuk melatih segala kemampuan supaya bisa berguna untuk orang lain. Iya, sefokus itu memang. Sampai-sampai ia lupa arti hidup yang sebenarnya, ia lupa bagaimana arti yang benar untuk menikmati kehidupan di dunia ini.     

Gagal dalam segala hal di hidupnya membuat D. Krack tidak merasa sesal sama sekali. Baginya, apapun yang sudah berlalu biarkan tetap seperti itu. Jangan di sesali, apalagi bertekad untuk mengubah takdir yang bernotabene permanen.     

"Thank you for beating Victor."     

(*Terima kasih telah mengalahkan Victor.)     

Suara sistem yang awal tadi menyapa D. Krack kembali terdengar memenuhi sudut ruangan. Entah hanya perasaannya saja atau bagaimana, tapi yang jelas nada suara itu bukanlah sebuah nada kesenangan seperti pemberian selamat atas kemenangan. Namun terdengar seperti nada datar yang menunjukkan pada dirinya kalau ini tidak ada apa-apanya.     

Jangan lagi, dirinya sudah cukup lelah karena menghadapi robot wanita seperti layaknya Victor. Cantik sih, asal tidak di program menjadi sistem pembunuh, pasti ia sudah jadikan maid di rumahnya. Apa? Kekasih? Tidak, terimakasih.     

Lebih baik memperbanyak maid di rumahnya yang jarang ia singgahi supaya terurus dan tetap bersih daripada memiliki seorang kekasih yang bisa saja menyita seluruh perhatiannya.     

D. Krack menampilkan sebuah senyuman miring di permukaan wajahnya. "Kalau begitu, tentu saja aku harus mendapatkan imbalan, iya kan?" ucapnya dengan perlahan. Ia berjalan dengan santai, namun masih dalam mode serius.     

Ia berjalan melewati labirin ini, ia pikir akan disuguhkan dengan lorong kecil. Tapi dirinya sangat salah kalau ruangan ini cukup besar dan membingungkan. Kalau saja jalan pikir Hana bisa berguna untuk hal yang positif, pasti keahliannya ini sudah di lirik oleh dunia. Sayang saja sifat dan hasrat membunuhnya sangat dominan di bandingkan segala-galanya.     

Perjanjian dengan Victor hangus sudah karena robot wanita tersebut sudah terbelah menjadi dua bagian. Sayang sekali ia tidak bisa berlama-lama main dengannya, kalau tidak pasti ia rasanya ingin membongkar seluruh rangkaian tubuh mesin itu dengan peralatan perkakas untuk mempelajari rangkaian yang kuat itu. Bahkan sistem kerjanya memang benar-benar mirip layaknya manusia.     

"But don't be happy just yet, there's still a next level."     

(*Tapi jangan senang dulu, masih ada level berikutnya.)     

D. Krack menaikkan sebelah alisnya lagi kala suara tersebut kembali menggema. Ia langsung saja menatap pantulan wajahnya yang berada di cermin, memeriksa apakah tubuhnya masih sanggup untuk menjalankan yang berikutnya. Tentu saja masih!     

Ia menghentikan langkahnya, membuat lampu yang menuntun jalannya juga ikut berhenti. Memilih untuk mengobrol sebenarnya dengan sistem, supaya dapat mengerti dengan apa yang terjadi dan sudah di siapkan oleh Hana.     

"And what is it?" tanyanya sambil menatap langit-langit yang bahkan terdapat sarang laba-laba di setiap sudutnya. Padahal, ia cukup terkesan kalau bangunan tua ini di jadikan objek wisata. Tapi jangan sampai peralatan tajam juga ikut berfungsi, harus di singkirkan.     

(*Dan apa itu?)     

Tak ayal, tertantang andrenalin-nya hanya karena menjadi pion permainan milik Hana. Yang tadinya ia pikir tidak akan pernah berkaitan apapun dengan gadis itu, eh tau-taunya malah menjadi peserta di aksi kejahatannya.     

"Okay, the next level there are five doors with different levels of danger. One of them is what you are looking for, enjoy the game." ucap sistem tersebut yang kini menjelaskan dengan kekehan kecil kedengarannya sangat jahat.     

(*Oke, level selanjutnya ada lima pintu dengan level bahaya berbeda. Salah satunya adalah apa yang Anda cari, selamat menikmati permainan.)     

D. Krack menganggukkan kepalanya, ia mengerti dengan penjelasan sistem tersebut walau nada bicaranya sangatlah menjengkelkan seperti tidak ingin dirinya meraih kemenangan. Astaga ia lupa, segala yang berada disini kan memang di tanamkan mode iblis.     

"Only that?" Tidak, D. Krack tidak bermaksud untuk meremehkan hal ini, tapi ayolah... ia kan belum tahu dengan tingkat berbahaya yang dimaksud.     

(*Hanya itu?)     

"Yes, just do it if you can."     

(*Ya, lakukan saja jika kamu bisa.)     

Nah kan, belum pernah ya lihat D. Krack membunuh banyak orang sekaligus? Atau bahkan mengalahkan orang-orang hanya dengan tangan kosong? Dan apa tadi sistem tersebut tidak melihat jika ia bisa membelah mesin robot menjadi dua dengan laser keren rancangannya?     

"Don't blame me if I win."     

...     

Sudah melewati lantai dengan tangga nada, tentu saja membuat Sean bernapas lega karena tidak melewati lantai malapetaka itu. Sial, bisa-bisanya warna lantai berubah begitu saja saat di pijak olehnya. Ilusi yang hebat dengan percampuran daya pikir, pasti mampu membuat sesuatu yang hebat. Lagi dan lagi, ia mengaku kalah dari sang kakak. Bahkan, ia tidak pernah berpikiran untuk membuat sistem pembunuh yang seperti ini.     

"Jangan berjalan terlalu cepat, nanti terjadi suatu hal yang tidak diinginkan." ucapnya sambil menahan pergelangan tangan Erica supaya langkahnya di perlambat, gadis itu terlalu buru-buru yang terkadang menjadi lalai dalam melakukan apapun. Seperti contohnya tadi kumpulan anak panah karena tidak hati-hati.     

Erica memperlambat langkah kakinya, lalu menolehkan kepalanya ke arah Sean yang kini sudah menampilkan sebuah raut wajah dengan senyuman yang hangat. "Bagaimana bisa aku jalan perlahan seperti diri mu kalau mungkin saja terjadi sesuatu pada Xena?" tanyanya dengan mata yang mulai berkabut.     

Jika seseorang yang cuek mampu menangisi seseorang, maka sudah dapat di pastikan jika seseorang itu sangatlah berarti di hidupnya. Entah apa yang kini ia harus lakukan untuk mempercepat segalanya tanpa adanya kesulitan ini. Rasa ingin memberikan pelajaran pada Hana karena telah menghidupkan kembali suasana seperti ini membuat dirinya merasa marah yang sangat.     

Sean menghembuskan napasnya, ia cukup tahu dengan apa yang gadisnya ini rasakan. Tidak, ia tidak ingin bertindak gegabah dengan terus menerus menggoda Erica. "Kamu tahu? Perasaan terbaik yang harus di terapkan kini adalah merasa tenang dan selalu berpikir positif." ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arah puncak kepala gadis yang kini sudah kembali berada di sampingnya, mereka berjalan beriringan karena untung saja ini bukanlah lorong sempit dan sudah pasti cukup untuk dua orang berjalan bersama.     

Erica mengerjapkan kedua matanya kala indra pendengarannya di sapa sederetan kalimat penuh kebijaksanaan itu. "Kamu sakit? Kok jadi bijak? Seram ah, lebih baik jadi Sean yang biasa saja." ucapnya sambil menyingkirkan tangan laki-laki tersebut dari atas kepalanya.     

"Aku konyol salah, aku serius salah. Jadi, aku harus bagaimana?" tanya Sean sambil mengacak rambutnya dengan gerakan tidak beraturan, keren sekali saat dirinya berpose seperti itu.     

Menjadi laki-laki memang serba salah...     

Erica mengangkat bahunya, berkat Sean kristal bening yang tadinya ingin tumpah dari kelopak mata ini pun langsung saja kembali ke dalam mata, tidak diizinkan untuk keluar menyapa permukaan wajah yang halus itu. "Lebih baik, tidak perlu berbicara." ucapnya sambil mendengus kecil. Setiap Sean berada di dekatnya pasti rasa kesal pun hadir, namun jika laki-laki itu tidak ada ya rasanya memang sangat sepi.     

Sean merangkul bahu Erica yang memang tubuh gadis ini lebih pendek daripada dirinya, ia mendekatkan tubuh tersebut ke dekatnya. "Jangan main-main atau kamu akan selamanya ku dekap."     

Erica yang diperlakukan seperti itu jelas saja langsung mendorong tubuh Sean supaya segera menjauh dari dirinya. Sudah dibilang ini bukanlah kondisi yang tepat untuk bermain-main, tapi tetap saja laki-laki tersebut sangatlah keras kepala.     

Mereka bejalan dengan perlahan untuk mengantisipasi jebakan yang tidak terduga lagi. Tentu, hal itu membuat waktu mereka bisa saja terbuang begitu saja. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau nanti salah pijak dan menghadirkan alat pembunuh yang mematikan... tidak jangan sampai.     

Di sepanjang lorong, kini mulai terdapat banyak lukisan abstrak yang di dominasi warna hitam putih serta merah, di jadikan dalam satu bingkai yang memiliki nilai artistik tersendiri.     

"Apa kalian berdua penyuka ketiga warna ini?" tanya Erica yang sedari tadi meneliti apa yang tersuguh di sekelilingnya. Bahkan jika di samakan dengan Sean, mereka benar-benar memiliki satu selera yang mirip.     

Sean yang mengerti apa maksud Erica pun langsung saja menganggukkan kepalanya, ia benar-benar enggan mengatakan klo ia dan Hana memiliki selera yang sama, tapi mau bagaimana lagi? Berbohong juga tidak membuktikan apapun. "Iya, dianya saja yang mengikuti diriku." ucapnya yang mulai menyalahkan Hana. Toh siapa yang suruh waktu mereka kecil Sean yang memang suka dengan warna hitam putih menjadi teracuni warna merah yang merupakan kegemaran Hana.     

Dan bodohnya karena dulu ia adalah orang yang cuek, ia membiarkan gadis tersebut untuk mengambil warna kesukaannya menjadikan bagian utuh jadi satu warna kegemaran.     

"Kalau begitu, kalian adalah adik kakak yang keren." ucap Erica yang terkekeh kecil.     

Sean yang mendengar hal itu pun ingin segera mengelak karena tidak merasa menjadi seorang 'adik' Hana Xavon. "Lebih baik Tuhan menewaskan diri ku supaya tidak memiliki status itu lagi."     

Erica tertawa, rasa benci itu tercetak jelas antara Sean dan juga Hana. Ia memilih untuk berjalan mendahului Sean, namun tiba-tiba...     

"Awhs.."     

Ia berpikir jika tubuhnya akan segera terjatuh karena ternyata ada benang transparan yang menyandung kakinya. Dan beruntung, sebuah tangan berotot menahan tubuhnya.     

"Sudah ku bilang, jangan keras kepala untuk mendahului aku."     

Sean segera menarik tubuh Erica, dan bertepatan dengan itu sebuah besi yang mungkin saja memiliki berat berton-ton langsung jatuh dari langit-langit.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.