My Coldest CEO

Seratus enam puluh enam



Seratus enam puluh enam

0"Perlahan Tuan, goresan luka ku sangat lah perih." ucap Allea sebelum kapas yang sudah diletakkan alkohol itu menyapa permukaan lengannya. Ia adalah gadis yang memang takut pada obat, apalagi jarum ah tidak ia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana saat benda runcing itu mulai masuk ke dalam tubuhnya.     

Vrans memutar kedua bola matanya, lalu berdehem kecil. "Berisik," ucapnya. Ini hanya sebagai bentuk rasa terimakasih karena gadis ini sudah mengesampingkan rasa sakitnya untuk membantu dirinya menyelamatkan Xena. Ya awalnya memang ia tidak berminat untuk dekat dengan Allea yang dari awal sudah ia curigai sebagai Hana yang melakukan operasi plastik untuk mengubah bentuk wajahnya. Dari pemikiran tersebut membuat dirinya menjadi sedikit merasakan sesal.     

Tadi tidak ingin diobati, tapi giliran dirinya ingin mengobati pun di komentari juga. Astaga.. para gadis memang banyak mau, pantas saja banyak laki-laki yang tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan olehnya.     

"Maaf." gumam Vrans saat kedua tangannya sudah berhasil menuangkan alkohol ke kapas untuk membersihkan luka tersebut. Melihat Allea yang seperti sudah mengerjapkan mata pertanda tidak terbiasa dengan alkohol pun membuat dirinya menghela napas.     

'Bekerja dengan pembunuh bayaran kok takut jika memiliki luka dan memilih untuk tidak di obati?"     

Allea menghentikan kegiatan peretasan yang di lakukan dirinya untuk sementara karena harus menahan perih yang sedari kecil membuat dirinya geleng-geleng kepala merasa takut. "Sudah, setelah ini langsung plester saja, Tuan." ucapnya yang memilih dengan cara cepat. Ia sudah tidak ingin di berikan obat merah yang pasti cairan tersebut akan masuk ke dalam tubuhnya.     

Kalau mau sembuh, ya harus sakit dulu. Kalau tidak mau sakit, ya waspadalah.     

Vrans yang mendengarkan permintaan Allea tentu saja langsung menaikkan sebelah alisnya, ia tidak habis pikir dengan gadis ini yang memilih untuk segera di plaster padahal masih ada langkah penyembuhan. "Mau di plester pun tidak bisa--"     

"Ya plaster saja, Tuan." ucap Allea memotong ucapan Vrans yang bahkan belum sepenuhnya berhasil keluar dari mulut dan menyelesaikan kalimatnya apa yang ingin di ucapkan.     

"Apa kamu tidak sadar luka mu cukup lebar dan bukan hanya goresan kecil saja? Mana bisa sebuah plester menutupinya." ucap Vrans meneruskan kembali kalimatnya yang terpotong dengan wajah dingjn dan nada yang datar. Ia tidak suka jika apa yang ingin ia katakan di potong begitu saja.     

Ya memangnya siapa yang ingin saat berbicara sudah di selak? Pasti tidak ada yang mau. Untung saja dirinya pribadi dingin yang tidak akan meluapkan rasa kesalnya.     

Allea menaikkan sebelah alisnya, lalu menoleh ke arah lengan yang terluka. Dan benar saja apa yang dikatakan Vrans, kini dirinya merasa bodoh. "Eh? Iya maaf, Tuan. Aku bahkan tidak melihatnya," ucapnya sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal dengan tangan satu lagi yang sama sekali tidak melakukan aktivitas apapun.     

Vrans hanya menganggukkan kepalanya, lalu menatap Allea dengan aneh. "Ini ingin di beri obat merah atau--"     

"Tidak perlu!" seru Allea yang langsung menolak ucapan Vrans. Katakan jika dirinya payah karena sudah beranjak dewasa tapi takut dengan peralatan seperti ini, tapi namanya juga ketakutan... mau seperti apa juga atau pun di paksa tetap takut yang berkepanjangan.     

Sudah, Vrans tidak ingin memaksa Allea lebih jauh lagi. Ia sudah bersikap sabar dengan karyawannya yang satu ini. Demi Xena apapun ia lakukan, demi keselamatan gadis itu. "Baiklah, cepat retas sistem keamanannya." ucapnya sambil meraih sebuah perban lalu di lingkari berkali-kali di lengan gadis tersebut. Padahal, kalau di kasih obat merah bisa saja membantu penyembuhan. Ah tapi sudahlah, ia tidak ingin tambah membuang waktu untuk berdebat hanya karena perihal ini saja.     

Allea menahan rasa perih yang terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia menganggukkan kepalanya, lalu dengan menatap ke arah lengannya yang diambil alih oleh Vrans untuk di kelilingi perban supaya menahan darah keluar. "Apa Tuan tidak berkeinginan untuk membunuh ku saja?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutnya.     

Dari awal, ia sudah tahu kalau Vrans selalu menatapnya dengan tatapan tidak beres. Entah apa yang laki-laki itu rasakan, jika ketemu dengan dirinya pasti melayangkan tatapan sangat tajam. Dan ya, sekarang ia tahu apa alasannya. Dari kejadian ini ia bisa me-reka ulang kejadian dan di sambungkan dengan yang lalu-lalu.     

Vrans yang mendengar pertanyaan yang tidak tepat pada situasi ini pun langsung saja mengerutkan dahinya. "Tidak, untuk apa?". Ya seperti itulah dirinya, sangat cuek dan tidak ingin membahas apapun lebih lanjut. Lagipula untuk apa membunuh seseorang? Sangat tidak berbobot. Lebih baik ia menghabiskan waktu di depan layar laptop dengan segala tumpukan dokumen yang berada di atas mejanya.     

"Ya tidak, aku sudah tahu akar permasalahannya. Pasti kamu mengira dari awal kalau aku ini bekerja untuk Hana." ucapnya sambil menatap lekat wajah Vrans yang terlihat masih saja sempurna walau sudah di hadapi kondisi yang seperti ini.     

Vrans hanya menyunggingkan sebuah senyuman miring, "Tadinya." ucapnya dengan kekehan yang terdengar menyeramkan. Tidak, ia tidak bersungguh-sungguh mengatakan hal ini. Allea pun sudah dapat di pastikan tidak bersalah dan tidak tahu menahu akan hal ini. Dan ya, gadis tersebut sudah melakukan segala cara yang membantu dirinya untuk menyelamatkan Xena. Demi apapun, yang ingin ia habisi itu Hana, bukan Allea si gadis yang berada satu ruangan dengan dirinya.     

Allea menatap Vrans dengan tatapan memohon. Tadinya ia ingin memihak Hana karena di satu sisi gadis tersebut sudah dengan sangat terbuka memberikan segala hal pada dirinya. Tapi, lihat? Sekarang ia tahu kalau Hana, tidak lebih dari sosok iblis yang bersembunyi di balik topeng lainnya. "Maaf Tuan, apa sebesar itu kesalahan ku sampai kamu ingin membunuh ku?" tanyanya dengan sangat heran.     

"Tidak, aku hanya bercanda." ucap Vrans dengan nada yang sangat datar. Dengan tangan yang mulai meraih kotak P3K dan memasukkan kembali segala peralatan kedalamnya, tentu saja ia langsung menutup kotaknya. "Teruskan pekerjaan mu, aku berharap semoga berhasil." sambungnya sambil meraih kotak tersebut lalu di bawa dalam genggaman tangannya.     

Tanpa memperdulikan Allea yang sudah mengucapkan banyak terimakasih pada dirinya, ia langsung saja melangkahkan kaki kembali pada sebuah rak tempat kotak P3K ini berasal. Beruntung sekali Allea yang tidak menyukai peralatan pengobatan ini tapi masih kepikiran untuk menyediakan. Berarti, gadis itu cukup mempunyai pikiran untuk berjaga-jaga.     

Ia melihat beberapa deretan pajangan unik yang terpajang satu rak dengan kotak P3K. Kalau ruang kerja di atur seapik ini, berarti Allea mempunyai selera desain yang tinggi. Ia pun kini sudah tidak tahu lagi ingin melakukan apa. Ya karena tugasnya hanya untuk melindungi Allea, tapi sayang mereka terpisah. Dan ya, mungkin gadis itu tanpa dirinya pun sebenarnya mampu. Hanya saja keadaan yang Hana ciptakan memang sangat berbahaya.     

Entah apa yang Allea rasakan saat ini, tapi yang jelas gadis tersebut tengah berjuang meretas sistem keamanan yang mungkin saja memiliki tingkat kesulitan tinggi. Ia ingin membantu, tapi dalam bidang apa?     

"Ku pikir Tuan bisa meretas sistem keamanan, ternyata tidak." ucapan Allea membuat pandangan Vrans teralihkan. Laki-laki ini langsung saja terkekeh kecil.     

"Sejak kapan aku bisa meretas sistem keamanan? Aku hanya remaja biasa asal London, dan mempunyai potensi di bidang perkantoran." ucap Vrans, ia menjelaskan apa yang sudah melekat pada tubuhnya.     

Allea menggembungkan pipinya. "Kalau begitu, tidak perlu tadi ku menyuruhmu untuk repot-repot mencari sandi komputer ku." ucapnya.     

"Iya, memang kamu selalu merepotkan." Vrans menganggukkan kepalanya, membenarkan ucapan Allea yang memang tepat sasaran. Ia tidak pernah ingin direpotkan oleh seorang gadis, terkecuali Klarisa, Paula, dan juga Xena. Mereka adalah pengecualian yang paling menetap lama di dalam hati. Ya walaupun keadaannya sudah tidak seperti dulu, ia pun juga malas menghubungi Klarisa jika ada Damian sang pawang.     

"Dan ya, sudah pasti percakapan kita di dengar dari CCTV yang bisa merekam suara, berada di sudut kiri ruangan ini." Kali ini, Allea berbicara dengan mengecilkan volumenya supaya tidak terdeteksi oleh sistem yang berada di kamera pengintai.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, ia berjalan mendekati Allea kembali. "Lalu? Pasti seseorang di sana sudah tahi kalau kita ingin meretas sistem keamanan mereka?" tanyanya yang kembali berkata dengan nada suara berbisik.     

Jadilah kini mereka saling berbisik satu sama lain.     

Allea mengetuk keningnya dengan jari telunjuk tangan kanannya, ia berpose seperti tengah berfikir keras. Beberapa menit sampai menit kelima, akhirnya ia menjentikkan jemarinya mendapatkan sebuah ide yang cemerlang. Ia mengibaskan tangannya, seolah-olah menyuruh Vrans agar lebih dekat ke arahnya.     

Vrans memutar kedua bola matanya, lalu mendekatkan diri pada Allea, tapi tidak terlalu dekat. "Apa?" tanyanya dengan rasa penasaran. Bagaimana pun juga, kalau ada seseorang yang mengintai dan mengetahui rencana mereka, bisa saja Hana mengubah kembali sistem keamanannya. Atau mungkin menggunakan sistem satelit yang memperketat.     

Allea berdehem kecil karena kurang yakin jika rencana ini akan berhasil, atau sebaliknya.     

Kini, sebaiknya berdoa saja pada Tuhan kalau tidal ada hal yang perlu di tunda lebih lama lagi karena rencana konyol hasil pemikiran dirinya.     

"Tuan tolong dengan perlahan mendekati CCTV, lalu menyergapnya dengan kain atau langsung saja di rusak." bisiknya dengan nada sangat kecil.     

Vrans menaikkan sebelah alis, refleks dengan kepalanya yang langsung mundur. "Tidak," ucapnya menolak saran konyol itu. Memangnya siapa yang ingin melakukan hal seperti itu? Tentu saja tidak ada.     

Allea menghembuskan napasnya, "Memangnya ada rencana yang lebih bagus?" tanyanya yang membuat Vrans langsung saja bergeming.     

Baiklah, selain laki-laki yang selalu salah, pasti laki-laki harus menuruti segala ucapan gadis. Oke, hukum alam yang bisa di tentang, namun itu memanglah sebuah kenyataan.     

"Baiklah kalau ini adalah satu-satunya cara yang tidak tahu akan berhasil atau tidak. Berdoa saja," ucap Vrans dengan hembusan napasnya.     

Kini, selain memanjatkan doa pada Tuhan, tentu saka Vrans menyerahkan semuanya pada takdir.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.