My Coldest CEO

Seratus enam puluh delapan



Seratus enam puluh delapan

0Pepohonan rindang di sepanjang jalan menuju rumah Hana membuat suasana kian mencekam. Entah kenapa seorang pembunuh bayaran lebih menyukai tempat sepi yang tidak dapat di jangkau orang lain daripada suasana perkotaan.     

Ya memang sih tentu saja kalau bukan untuk menjauhkan dirinya sendiri dari kejaran para pihak kepolisian dan juga FBI ataupun CIA yang memiliki peranan serupa.     

Tapi, kalaupun para pihak keamanan tahu keberadaan Hana mereka pun tidak cukup kuat untuk menyeret gadis itu sampai masuk ke dalam jeruji besi. Karena job yang dimiliki Hana berlimpah yang sudah pasti memiliki banyak uang untuk menyewa pengacara terkenal supaya menolak Hana supaya masuk ke penjara. Tentu saja hal itu membuat penolakan. Apalagi kalau semisalnya gadis tersebut berhasil di masukkan ke dalam penjara, dia mampu membayar tebusan sangat mahal untuk kembali keluar.     

Memang penjahat yang memiliki banyak uang pun tidak bisa seenaknya di tangkap, Hana juga gesit sehingga kalau ada seorang dengan jabatan tinggi yang tewas pun tidak terdapat jejaknya. Hal ini juga membuat para pihak keamanan tidak bisa sembarangan menuduh.     

Orlin menatap Dicta yang sibuk dengan i-pad di tangannya. Dengan lirikan mata penasaran, ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan gadis tersebut. Setahunya, bekerja dengan seorang Agen FBI pasti sangatlah keren. Eh tapi tidak, ia akan tetap merasa keren jika bersama Niel. Tapi oh ayolah, memang keren kan apalagi bisa bekerja bersama dan menyelesaikan kasus.     

Berkat Dicta, ia sudah menjadi lebih tenang daripada sebelumnya. Jadi, ia sudah kembali menjadi gadis yang memang mudah bergaul pada orang baru ditemui.     

"Kamu sedang apa?" tanyanya sambil mendekatkan tubuhnya ke Dicta supaya mudah jangkauan arah pandangannya, lebih terlihat jelas tiap rangkaian digital yang terpampang jelas di layar kaca i-pad. Entah apa yang sedang di lakukan gadis di sampingnya ini, sepertinya sangat menarik.     

Dicta sedikit tersentak karena Orlin yang bertanya tiba-tiba saat dirinya sedang memutar otak supaya dapat menyelesaikan tugasnya yang satu ini. Kalau tidak tepat waktu, sudah dapat di tebak jika Farrell akan dengan menyebalkan menasehati dirinya dengan berbagai kalimat seperti ;     

"Lebih baik kamu melakukan hal yang mudah terlebih dahulu."     

"Tidak ku sangka asisten ku ternyata payah."     

"Astaga kenapa aku mempercayai mu untuk melakukan hal ini, ya?"     

Dan berbagai kalimat lagi yang membuat Dicta memutar kedua bola matanya, ataupun sambil mendelik sebal ke arah laki-laki yang kini sedang fokus mengendarai mobilnya.     

Dicta menolehkan kepalanya ke arah Orlin yang tengah mengerjakan kedua matanya dengan sangatlah lucu. "Biasa, melakukan pekerjaan ku seperti biasa." ucapnya sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang sangat manis. Bagaimana pun juga, ia harus bertindak ramah pada siapapun.     

Orlin menaikkan sebelah alisnya, lalu menolehkan kepala ke arah Dicta sampai kedua manik bola mata mereka bertubrukan satu sama lain. "Dan itu diagram apa?" tanyanya dengan penasaran karena sungguh ia sangatlah tidak mengerti dengan apa yang tertampil di layar i-pad Dicta.     

Iya tahu, dirinya memang ahli komputer dan laptop tapi tidak mengerti dengan sistem apa yang kini telah di jalankan oleh Dicta.     

Mendengar pertanyaan dengan nada penasaran sangat tinggi itu pun membuat Dicta tidak berhenti untuk tetap menurunkan senyumannya. "Aku sedang meretas sistem keamanan Hana, sesuai dengan desain rumah yang telah ku pantau, sistem keamanan ini sangatlah tinggi." ucapnya sambil mengalihkan pandangannya kembali ke arah i-pad karena tidak ingin membuang-buang waktu. Kalau gagal, mereka gagal untuk masuk karena tidak memiliki celah sama sekali.     

"Tuan, apa seharusnya salah sati dari kita ada yang menyamar?" tanya Dicta sambil mengalihkan pandangannya pada Farrell yang dengan tampannya sesekali mengobrol ringan dengan Niel mengenai beberapa kasus yang sudah di ambil alih olehnya.     

Farrell melirik Dicta dari kaca tengah mobil, walaupun tidak terlalu kelihatan wajah manis itu tetap saja yang terpenting ia sudah menoleh saat di panggil. Lalu detik selanjutnya ia kembali fokus pada jalan yang terpampang jelas di hadapannya, sepi dan damai pantas saja jika Hana memilih lokasi seperti ini. "Untuk apa?" tanyanya. Ia selalu membiarkan Dicta untuk bersuara dan menyalurkan pendapat tentang pemikirannya yang mungkin saja tidak dipikirkan sebelumnya di kinerja otak.     

Dicta berdehem kecil, lalu dengan jemari lentiknya mulai menyentuh layar i-pad untuk memperbesar dan meneliti kembali beberapa sudut sistem keamanan yang sangatlah berbahaya. Bayangkan saja hanya untuk pendeteksi identitas di gerbang utama di pasangkan beberapa buah rudal. Kalau meledak, ada lapisan pengaman anti ledakan yang langsung melindungi rumah kelewat lega itu. "Menurut ku, ini terlalu berbahaya tanpa rencana, Tuan. Sebaiknya melakukan penyamaran sebagai seorang teknis mesin karena rumah Hana memang selalu melibatkan kecanggihan alat." ucapnya menyalurkan apa yang kini berada di otak.     

Niel menganggukkan kepalanya, ia merasa setuju dengan apa yang dikatakan oleh Dicta. "Kalau begitu, sebaiknya aku yang turun tangan. Karena secara logika pasti mengenali Agen Farrell dan tentunya juga Dicta, apalagi Orlin yang masih dalam ruang lingkup mereka. Dan hanya kemungkinan aku yang tidak di kenali," ucapnya.     

Orlin yang mendengar itu langsung saja menurunkan senyumannya. Baiklah, ia tidak akan pernah rela kalau kekasihnya ini kenapa-napa. Tapi, ia diam saja. Karena ia tahu tidak ada rencana yang lebih bagus daripada itu, lagipula semua ini memang untuk menyelamatkan sahabatnya jadi pengorbanan sangat di butuhkan untuk saat seperti ini.     

Sedangkan Farrell, laki-laki itu langsung saja menolehkan kepalanya ke arah Niel dengan sekilas. "Kalau begitu, baiklah." Ia pun menyetujui apa yang dikatakan Dicta lalu langsung saja menepikan mobilnya, berhenti di pinggir jalan yang mengarahkan ke hutan belukar penuh misteri.     

Dicta pun tahu apa yang selanjutnya terjadi, ia membuka pintu mobil. "Sebaiknya kita keluar dulu," ucapnya yang langsung saja membawa tubuhnya keluar dari mobil.     

Mereka pun mengikuti perintah Dicta, kecuali Farrell. Kini, laki-laki itu tengah sibuk meraih sesuatu yang ada di bawah dekat pijakan rem mobil. Setelah menemukan sebuah tombol yang memang di khususkan untuk mengubah body mobil ini, ia segera melepaskan seat belt dari tubuhnya lalu keluar mobil.     

Dalam hitungan detik seperti layaknya robot, mobil tersebut langsung saja berganti menjadi sebuah truk kontainer berukuran kecil.     

"Kalian masuk di bagian belakang saja kecuali Niel. Tenang, mobil ini tidak akan bisa di deteksi oleh apapun." ucap Farrell sambil menolehkan kepalanya ke arah ketiga orang yang sudah berdiri satu pijakan.     

Mendengar aba-aba Farrell tentu saja langsung menganggukkan mengerti, begitu juga dengan Dicta. Setelah para gadis masuk di bagian belakang mobil, ia menghampiri Niel yang masih terpaku dengan kecanggihan ini.     

"Bagaimana bisa mobil biasa berubah menjadi layaknya truk kontainer kecil?" tanya Niel sambil memperhatikan body mobil yang sudah berubah itu, tidak menyangka seorang Agen FBI juga memiliki peralatan canggih yang tidak kalah dengan para kriminalitas tingkat dewa seperti yang ia kenal, Hana Xavon dan Sean Xavon.     

Farrell menaikkan sebelah alisnya, memberikan kesan misterius. "Rahasia, hanya kemampuan tangan yang di bantu dengan kecanggihan saja." ucapnya sambil menepuk bahu Niel dengan perlahan. "Jangan lupa, perkakas dan kemeja kerjamu serta identitas sudah terdapat di atas dashboard." Setelah itu, ia melangkahkan kakinya untuk segera menyusul dua gadis tadi. Ia menutup dengan sangat rapat kotak besar yang biasa di pakai untuk menyimpan barang ini, lalu menguncinya.     

Niel menghembuskan napasnya, mau bagaimana pun pasti semua ini melibatkan nyawa jadi ia harus berhati-hati. Dengan hembusan napas kecil, ia langsung saja melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam mobil.     

Ia meraih kemeja yang dimaksud oleh Farrel lalu tanpa pikir panjang, ia langsung melepaskan kemeja yang berada di tubuhnya tan menggantinya dengan yang baru. Kemeja miliknya di letakkan asal ke bawah kursi mobil, biarlah ia bisa membelinya yang baru. Tidak lupa juga dengan kartu identitas untuk dikalungkan pada lehernya.     

Melirik nama identitas yang memang palsu ini, ia rasanya ingin tertawa terbahak-bahak. "Zidart Effrone? Semakin sulit saja penyebutan nama ku." ucapnya sambil menggelengkan kepala. Sentuhan terakhir, ia memakai topi layaknya seorang teknisi.     

Merasa jika seluruh penyamarannya sudah matang, ia memakai kembali seatbelt ke tubuhnya, lalu mencengkeram dengan erat stir mobil. "Kalau begitu, let's go." gumamnya sambil menyalakan mesin mobil dan mulai melanjutkan perjalanan. Untung saja sesuai dengan arahan yang terdapat di ponselnya, menunjukkan sebuah maps yang mengarahkan ke kediaman Hana.     

Masa bodo lah ia menyetir mobil truk dengan alasan menjadi seorang teknisi mesin, tidak memikirkan derajatnya yang turun juga.     

Ia melirik ke kanan dan ke kiri bahwa kini semakin lebatnya pepohonan pasti sudah dekat dengan kediaman Hana. Ia mengambil napas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Gugup? Tentu saja. Untuk kedua kalinya, eh? Entahlah keberapa kalinya ia berada di posisi seperti ini.     

Tanpa di sadari, hari sudah beranjak semakin sore. Padahal, ia pikir ini masih siang hari mengingat kabar terakhir Orlin yang bilang padanya saat jam makan siang.     

Dan entahlah, mereka semua berharap apa yang kini di perjuangkan masih bernafas. Karena setahunya, seorang pembunuh bayaran pasti tidak pernah main-main dan menunda waktunya lebih lama lagi.     

Sedangkan di dalam sana dengan dua orang gadis dan seorang laki-laki tentu saja membuat Farrell langsung mengikis jarak. Untung saja aspal sangat mulus dan tidak berbatu karena di dalam sini tidak ada kursi atau apapun.     

"Bagaimana kalau ada yang memeriksa ke dalam sini?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Orlin. Gadis itu memang selalu mengeluarkan apa yang berada di dalam pikirannya, namun dalam sudut panjang keterbalikan. Bagus, karena mereka jadi memiliki rencana lainnya.     

Dicta masih menggenggam i-pad dengan erat lalu sesuai dengan pertanyaan Orlin tadi ia langsung saja mengintai rumah Hana dari luar dengan robot berbentuk lalat kecil yang mengambil keadaan.     

"Woah, keren." ucap Orlin dengan decakan kagum.     

Dicta menganggukan kepalanya, ia membenarkan ucapan Orlin tentang seseorang itu. "Iya benar, di sana ada sistem keamanan manual. Laki-laki yang sepertinya berprofesi sebagai doorman." ucapnya.     

Farrell yang mendengar itu pun langsung saja menjentikkan jemarinya. "Tenang saja, aku memiliki sejuta ide di kepala ku." balasnya.     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.