My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh



Seratus tujuh puluh

0New York, Hana's Mansion     

Dengan gaya berusaha tenang dan tetap cool, Niel menghentikan truk kontainer yang di kendarainya ini tepat di depan gerbang rumah Hana. Ia menurunkan kaca mobilnya begitu sebuah layar canggih berwarna biru muncul dan menampilkan papan tembus sentuh dengan grafik identitas yang tercetak jelas di sana, sambil menyentil topi penyamarannya tentu saja ia berasa menjadi seorang teknisi mesin yang sesungguhnya.     

Tenang adalah kunci utama di dalam segala hal. Ia menatap layar kecil tersebut yang langsung saja memindai dirinya, kini Niel merutuki kebodohan Farrell. Karena ayolah, tapi sekarang sudah pasti sistem keamanan ini bisa mengenali identitasnya kalau seperti ini.     

"Hi, Mr. Ziddart Effrone. Can you show your ID card?" ucap sistem tersebut dengan nada ramah. Tadinya terdapat pancaran sinar laser merah yang mengarah pada truk ini, sudah nonaktif dan kembali masuk pada tempatnya.     

(*Hai, Tn. Ziddart Effrone. Bisakah Anda menunjukkan kartu ID Anda?)     

Merasa takjub dengan apa yang Farrell lakukan padanya, tapi kini sepertinya ia harus menarik umpatan sebal tadi pada agen FBI itu. Maaf, ia memang terlalu tidak mempercayai hal ini. Karena baginya, apa yang telah di lakukan Farrell dan juga orang lainnya adalah ilmu sihir. Bagaimana bisa ia berganti identitas secara mulus?     

Berusaha tenang, Niel menganggukkan kepalanya. "Yes, sure. Why not?" Dengan cepat, ia langsung saja mengeluarkan kartu identitas yang tadi sudah di berikan oleh Farrell. Tidak dapat di sangka, laki-laki itu memiliki banyak persiapan yang sangat matang dan juga sudah di pastikan berhasil.     

(*Ya, tentu. Kenapa tidak?)     

Sistem langsung saja mendeteksi kebenaran kartu identitas tersebut, memang alat yang canggih. "Very well, Mr. Ziddart Effrone. Are you a mechanical technician? Then, please come in." ucap sistem tersebut sambil membukakan pintu gerbang besar yang menyimpan berbagai rudal aktif serta laser mengintimidasi di dalamnya. Memang benar, jangan pernah menilai buku dari covernya. Walaupun rumah ini sangat luas dan mewah, ternyata segala sesuatu yang melekat di dalamnya sangatlah berbahaya.     

(*Baiklah, Tn. Ziddart Effrone. Apakah Anda seorang teknisi mekanik? Kalau begitu, silakan masuk.)     

Niel menganggukkan kepalanya, ia pun diam-diam menghembuskan napas lega karena berhasil mendapatkan akses masuk ke dalam halaman mansion Hana Xavon yang bernotabene 'greatest assassin' ini. "Thank you very much, Ladies system." ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata. Padahal, bukan orang ataupun sesuatu yang berwujud melainkan hanya layar biru proyeksi pemindai yang di lengkapi dengan fitur keamanan tingkat dewa. Tapi tak ayal seorang Niel memang selalu tebar pesona di mana pun dan kapan pun.     

(*Terima kasih banyak, Ladies system.)     

Setelah gerbang terbuka sempurna, tentu saja Niel langsung membenarkan letak topinya yang tadi di sentil olehnya. Ia menutup kaca truk, lalu kembali melajukan perjalanannya yang tertunda.     

Niel semakin menyipitkan matanya kala melihat seorang laki-laki berbadan atletis yang dengan setianya berdiri di depan pintu besar utama. Pasti itu adalah laki-laki yang tadi di katakan oleh Dicta.     

Agen FBI di padukan dengan seorang asisten yang memiliki kinerja otak sangat cerdas adalah hal paling fantastis sedunia.     

Ia langsung saja menghentikan mobilnya tepat di arah depan pintu utama rumah tersebut.     

Tanpa ingin membuang banyak waktu, ia langsung saja melepas seat belt yang menyilang di tubuhnya lalu langsung saja keluar dari truk yang ia kendarai ini. Dengan saling menepuk kedua telapak tangannya secara bersamaan, tentu saja ia berdiri di samping truk ini. Menatap laki-laki yang kini sudah berjalan mendekat ke arahnya sambil membawa sesuatu seperti tongkat? entahlah Niel sendiri pun tak paham apa itu.     

"Hai," sapa Niel sok kenal. Ia melayangkan tangannya ke udara, lalu menyentuh pelan bahu kanan laki-laki tersebut.     

"Siapa?"     

"Ziddart Effrone, teknisi mesin."     

"Alard."     

Niel menganggukkan kepalanya, lalu menatap laki-laki yang mengenalkan dirinya dengan nama Alard itu. Nama yang cocok untuk seorang doorman, terdengar gagah saja gitu.     

"Tunggu sebentar."     

Alard langsung saja melihat ke arah jam tangannya, lalu mengaktifkan sebuah tombol yang terdapat di sana. Menghubungkan dirinya dengan Hana yang berada di seberang sana, sedang melakukan permainan kotor.     

Panggilan jarak jauh pun tersambung, dan Niel mau tidak mau memang harus mendengarkan percakapan mereka. Lagipula Alard pun tidak bergerak menjauh untuk bertukar ucapan dengan Nona Muda sang pemilik rumah.     

"Halo, Nona. Apa anda mengirimkan seorang teknisi mesin ke rumah?" tanya Alard sambil memperhatikan Niel dari atas sampai bawah. Penampilan laki-laki berdebat yang memang persis sekali dengan profesi namun terlihat lebih sopan dam juga rapih, enak di pandang.     

Berharap dalam hati jika hal ini tidak akan mengacaukan segalanya. Karena kalau Hana bilang 'tidak', habis sudah riwayatnya itu mungkin akan di tembak mati pada detik ini juga. Dengan meneguk salivanya dengan kasar, tentu saja ia memanjatkan doa pada Tuhan kepercayaannya.     

Terdengar suara lembut di dari seberang nada, namun tidak menurunkan citra kriminalitas yang sudah terbentuk kuat di dalam tubuhnya. "Oh halo, Alard. Teknisi mesin?" tanyanya dengan ucapan yang cukup menggantung.     

Alard memperhatikan Niel lebih lekat lagi, namun laki-laki itu memang paling bisa menyembunyikan segala ekspresi di wajahnya. Bahkan hatinya yang sudah berdegup kencang serta pompa jantung yang kian cepat itu tak pernah luput, namun ya ekspresi wajahnya masih bisa menyunggingkan sebuah senyuman kecil. Berkata seolah-olah kalau dirinyalah berusaha menguatkan hati.     

"Ada apa?" tanya Niel dengan suara kecil, bahkan hampir tidak terdengar dan hanya di ketahui dari gerakan mulut saja.     

Alard menolehkan kembali titik fokusnya pada jam yang sudah melingkari tangannya. "Iya, apa Nona menyewa seseorang untuk memperbaiki sesuatu?" tanyanya untuk memastikan sekali lagi untuk benar-benar merasa aman.     

Terdengar dari seberang sana Hana mulai terkekeh kecil, "Oh astaga, iya. Aku lupa kalau beberapa hari lalu membuat janji dengan seorang teknisi mesin. Padahal, dia bilang tidak bisa. Ternyata bisa."     

Mendengar hal itu, tentu saja Niel bersorak dalam hati. Ia rasanya akan bangga pada diri sendiri karena untuk yang pertama kalinya terjun langsung menghadapi kasus ini. Ya biasanya yang pihak kepolisian yang turun tangan, tapi tidak untuk kali ini. Astaga dirinya benar-benar harus membanggakan dirinya sendiri.     

Alard menganggukkan kepalanya merasa sudah puas dengan konfirmasi yang dikatakan Hana. Baginya, itu sudah lebih dari cukup. "Kalau begitu, tepikan saja truk milik mu di halaman sebelah sana." ucapnya sambil menunjukkan belakang halaman yang memang masih natural dengan rerumputan, di pangkas rapih dengan hasil kerja tukang kebun yang di gaji tinggi.     

Niel menganggukkan kepalanya, "Terimakasih." ucapnya dengan mengulas sebuah senyuman. Ia membenarkan letak kemejanya, lalu membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk ke truk.     

"Tunggu sebentar,"     

Mendengar nada bariton yang menunda jalannya ini, Niel segera mengalihkan pandangannya lagi. "Aku ingin memeriksa box truk mu terlebih dahulu, setelah itu boleh pergi parkir." ucap Alard sambil bergerak melangkahkan kakinya ke arah belakang truk, tentu saja diikuti dengan Niel.     

'Sial, ada saja kecurigaannya.' umpat Niel dalam hati. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana supaya bisa terhindar dari sistem pemeriksaan Alard yang memang benar-benar manual dan sangat ketat.     

"Untuk apa? Itu hanya box kosong." ucap Niel sambil menghentikan kakinya tepat di samping Alard. Ia kini menunjukkan raut wajah sedikit cemas, namun tetap masih bisa mengendalikan suasana hatinya yang tengah di landa dilema. Parah, ada saja penghalang rencananya.     

Alard menaikkan sebelah alisnya, apapun yang sudah menjadi bagian pekerjaan ia akan selaku terapkan. Pemeriksaan keamanan adalah hal yang seharusnya sangat penting dan berguna. Kalau sampai ada seseorang asing yang berani masuk ke dalam perumahan ini sudah pasti peluru pistol yang selalu tersembunyi di balik jas kerjanya ini akan mengenai organ lemah orang itu.     

Jangan sampai ia membunuh orang karena nanti pasti akan menimbulkan rasa sesal. Ya sesalnya hanya sedikit sih, sesal kenapa hanya di tembak satu sampai tiga kali doang.     

"Tentu saja perlu, kenapa kamu begitu cemas?" tanyanya sambil mengerutkan dahi. Sejak awal, ia tidak menaruh curiga sih pada laki-laki bernama Ziddart ini. Tapi ia kan hanya penasaran dengan apa saja yang di bawa seorang teknisi saat bekerja. Siapa tahu ada alat berbahaya yang mengancam keselamatan banyak orang. Atau laki-laki itu tengah melakukan penyamaran untuk menerobos masuk ke rumah Hana.     

Kan bisa jadi, benar?     

Niel menggelengkan kepalanya, ia menentang pemikiran Alard yang sepertinya mulai menaruh curiga. "Tentu saja tidak, aku tidak melarang." ucapnya dengan nada yang masih tenang. Kalau ini adalah perawalan dari sebuah kehancuran, ia siap.     

"Kalau begitu, buka kuncinya." ucap Alard sambil menggeser tubuhnya, memberikan ruang bagi Niel untuk segera membuka kuncinya.     

Niel hanya menganggukkan kepalanya, lagipula memang melalui akses sidik jari saja supaya terbuka. "Tentu saja, kamu bisa langsung memeriksanya." ucapnya sambil melangkahkan kaki lebih mendekatkan ke box kontainer.     

Menempelkan telapak tangan kanannya, lalu melepaskan kembali. Terdapat tanda ceklis hijau pertanda pengenalan identitas.     

Pada detik itu juga, Niel melangkahkan mundur menyamping. Ia tidak ingin melihat kalau dirinya sudah tertangkap basah.     

"Silahkan di periksa." ucap Niel dengan tangan yang kini memegangi pintu box yang sudah terbuka lebar ke arah luar. Ia berharap dan memanjatkan segala doa untuk keselamatan dirinya.     

Alard tentu saja langsung menganggukkan kepalanya, lalu berjalan mendekati box tersebut. Menatap Niel yang masih dengan raut wajah tenang. Sungguh, laki-laki itu memang sangatlah terpercaya. "Terimakasih sudah memberikan izin akses keamanan karena ini sudah menjadi tugasku." ucapnya sambil menampilkan sebuah senyuman tipis, menunjukkan kesopanan yang sangatlah berwibawa.     

Niel meneguk salivanya sekali lagi dengan kasar, berharap sekali jika kini takdir berpihak dekat padanya. Ia tidak bisa membayangkan saat Alard melihat Farrell, Orlin, dan juga Dicta di dalam sana. Jangan ditanyakan betapa gugup pemikirannya saat ini. Melihat Alard yang terus melangkah membuat pertahanan dirinya semakin menipis, kalau dirinya ini hanyalah laki-laki tanpa pertahanan yang kuat pasti sudah menampilkan beberapa peluh di pelipisnya.     

"Dan Ziddart, apa semua ini?"     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.