My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh satu



Seratus tujuh puluh satu

0Masih di lorong berbahaya penuh ranjau.     

Sean menaikkan sebelah alisnya kala mengetahui kalau Erica habis di hubungi oleh D. Krack. "Kenapa tadi dia tidak menghubungi ku saja?" tanyanya dengan nada sedikit kesal.     

Erica memutar kedua bola matanya, ayolah ia sangat tidak ingin di komentari apapun mengenai hal ini. Melenceng jauh dari yang seharusnya malah membahas masalah tidak jelas. "Apa masalah mu? Bukankah itu wajar saja karena mana ada orang yang ingin menghubungi laki-laki aneh." ucapnya sambil mengulum sebuah senyuman mengejek yang sangat terlihat di permukaan wajahnya, membentuk ekspresi yang sangatlah menyebalkan.     

Sean berdehem kecil, astaga dirinya benar-benar terlihat seperti laki-laki yang sedang cemburu pada kekasihnya. Menyedihkan sekali, ketahuan sudah kalau dirinya terjerumus masuk ke dalam lubang percintaan. Sangat tidak keren. "Ah tidak, lupakan saja." ucapnya sambil menaikkan bahu dengan acuh. Ia berjalan lebih dulu daripada Erica, memasang wajah datarnya untuk menutupi rasa malu. Ia kini malah menjadi laki-laki dingin seperti tidak tersentuh.     

Erica yang mendapatkan perlakuan seperti itu pun hanya mengangkat bahunya, merasa tidak peduli. Toh mau bagaimana pun sikap Sean tidak akan pernah berhasil untuk menyentuh hati bekunya. Maaf saja, ia masih jadi gadis gila kerja yang mencintai tumpukan dokumen beserta laptop kerjanya. "Dasar aneh, baru saja di bilang aneh dan voila memang kenyataan." gumamnya dengan nada datar. Perlahan tapi pasti, ia mulai mengikuti langkah besar Sean yang tentu saja membuat dirinya jauh tertinggal di belakang.     

Pasti laki-laki itu bertingkah acak, iya random.     

"Tunggu aku, kenapa harus terburu-buru?"     

Erica mulai melangkahkan kakinya semakin cepat untuk menyusul Sean. Bahkan ia tidak melihat kalau ada sesuatu tanaman liar hidup yang mulai menjalar melilit kakinya.     

BRAK     

Tubuhnya jatuh tepat di lantai tua ini dengan posisi tengkurap, membuat dadanya seketika terasa sakit dan juga sesak menjadi satu. Ingin memanggil Sean pun ia tidak bisa, lalu meraba kacamata yang sudah terjatuh entah kemana.     

"Astaga, itu hanya satu-satunya alat komunikasi yang ku punya." gumamnya sambil menendang-nendang udara berharap tanaman liar yang melingkari kaki kanannya itu segera melemah, tapi sayang tidak lah semudah itu.     

Ia dengan bringas mulai mengoyak tanaman rambat tersebut tapi malah tangannya yang terjerat, untung saja hanya satu tangannya.     

Ingin teriak pun tidak bisa karena benar-benar dadanya kini terasa sesak yang sangat. Sungguh!     

"Se-Sean..."     

Nada bicaranya pun makin melemah. Dengan kekuatan yang tersisa karena benar-benar tanaman rambat itu mulai menariknya secara sadis menuju ke arah dinding yang kini sudah terbuka seukuran tubuh manusia.     

Erica memutar otaknya sebelum benar-benar di bawa masuk ke dalam saja. Bagaimana bisa ada tumbuhan menyebalkan seperti ini? Bisa-bisa ia rasanya ingin merubuhkan bangunan tua pada saat ini juga. Ia muak.     

Dengan merogoh saku celananya, lalu mendapatkan sebuah pisau lipat kecil disana. "Thanks God, you save me." ucapnya sambil memanjatkan puji pada Tuhan atas keberuntungan yang masih berpihak padanya.     

Ia dengan satu tangan langsung saja membuka pisau lipat tersebut, lalu mengarahkan sisi tajamnya ke tanaman rambat.     

SRAK     

SRAK     

SRAK     

Dan ya, tanaman hidup itu pun terkoyak dan melemah. Kembali masuk ke dalam celah dinding, menyembunyikan keberadaan mereka. Entah apa yang Hana telah lakukan, tapi kondisi ini memang semakin parah. Padahal dulu tidak seperti ini, eh tapi? dulu kan dirinya tidak sampai pada ujung lorong karena langsung terpelosok masuk karena lantai tua sebelumnya terbuka lebar membuat dirinya masuk ke ruang bawah tanah tanpa di ketahui siapapun.     

Ia berjanji rasanya ingin meninju Sean karena sudah berani meninggalkan dirinya tanpa alasan.     

Erica beranjak dari jatuhnya di lantai, lalu menepuk-nepuk pakaiannya yang kini menjadi sedikit kotor karena debu lantai. Berani-beraninya ada sesuatu yang menyeret dirinya tanpa rasa sopan sedikitpun, sakit tahu!     

Dengan mengambil napas sebanyak-banyaknya, tentu saja Erica masih merasakan sesak di hati. Sial, kini ia tidak bisa bernapas dengan benar. Jatuh dengan posisi seperti itu apalagi sampai terdengar suara jatuh yang keras, memangnya siapa yang berani berbohong tidak sakit? Tidak deh, ia tidak munafik kalau sakit di tubuh seperti ini.     

"Sean!" serunya setelah cukup lama mengambil napas. Ia kembali melangkahkan kakinya yang terlihat memar karena cekalan tumbuhan rambat tadi benar-benar sangat kencang. Ia pun sudah memasukkan kembali pisau yang sudah terlipat ke dalam saku celananya.     

Ia berdecih kecil, lalu melanjutkan jalannya dengan panggilan untuk laki-laki tersebut yang tak kunjung menghampiri dirinya. Kalau sampai mereka terpisah atau dirinya kehilangan jejak, semua ini akan ia salahkan pada Sean. Titik!     

"Bisa-bisanya dia meninggalkan aku." gumamnya dengan kesal, namun tak ayal ia kembali melanjutkan langkahnya untuk menyusul Sean yang sudah jauh di depannya. Ia berjalan dengan hati-hati, takut nanti ada ranjau di lantai yang tiba-tiba saja memanah anggota tubuhnya.     

Sedangkan Sean...     

"Kamu tahu gak sih kalau aku itu tidak suka kalau ada seorang laki-laki kecuali aku mendekati dirimu."     

"Entah itu laki-laki yang aku tidak kenal, ataupun kenal ya sama saja bagi ku."     

"Lagipula, kalau nanti D. Krack suka padamu, bagaimana?"     

"Ya tidak masalah sih sebenarnya. Tapi aku kan yang bertanggung jawab atas diri mu."     

Sean menampilkan sebuah senyuman lebar kala tidak mendengar ucapan bantahan ataupun decakan kesal apapun yang keluar dari mulut Erica. Ia berasa seperti seorang Daddy yang sedang menasihati sang anak karena kepergok berbicara dengan laki-laki lain. Ayolah, ia memang sosok yang posesif. Saking posesifnya pun ia tidak tahu porsi kalau dirinya dan Erica bukanlah siapa-siapa karena tidak memiliki status hubungan.     

Dengan langkah kaki yang besar namun pasti, tentu saja membuat dirinya terhindar dari mara bahaya yang di buat Hana. Sungguh, ia benar-benar merasa bangga, dapat menjaga seorang gadis besar kepala.     

Entah sudah berapa menit sampai Erica tidak mengeluarkan suara apapun tentu saja membuat dirinya berdecak kagum. Akhirnya Seorang Hana Xavon bisa meluluhkan hati Erica.     

"Sudah mengerti kan? Apa saja yang harus aku katakan lagi untuk kalimat motivasi mu?"     

"Kalau tidak ada, kemari lah jalan di sampingku. Rasanya aku malah seperti pemandu jalan yang di sewa saat melakukan tour."     

Tidak ada balasan apapun, bahkan yang biasanya Erica berdecak kecil dengan berdiam diri pun sudah tidak ada lagi. "Kenapa diam saja? Tidak, aku tidak marah. Ya... aku mengaku oke, aku cemburu. Jangan mentertawakan ku!" ucapnya dengan nada pelan. Mengakui perasaan adalah hal yang tersulit bagi dirinya.     

Berharap jika Erica kini akan balik mentertawakan dirinya karena hal ini tentu saja membuat Sean langsung menaikkan sebelah alisnya. Dan ya, dengan rasa penasaran yang cukup tebal ia mulai menolehkan kepalanya ke belakang.     

Dan, voila!     

Tidak ada siapapun yang mengikuti setiap langkahnya seperti apa yang ia kira sejak tadi.     

"Erica?" panggilannya menghentikan langkah, berpijak pada lantai tua, menatap ke arah lorong yang lama-kelamaan tak terjangkau oleh matanya.     

Tidak ada jawaban.     

"ERICA!" teriaknya sekali lagi.     

Sial, ini pasti karena ulahnya yang merasa malu dan berakhir meninggalkan gadis itu sendirian. Dengan langkah cepat, ia pun kembali ke lorong sebelumnya. Bagaimana bisa dirinya mengajak ngobrol angin yang tidak mungkin bisa menjawab segala ucapannya sedaritadi?     

"Erica!" pekiknya sekali lagi.     

Astaga, ia pikir gadis itu mengikuti dirinya. Ya benar sih 'pikir' annya dia doang. Memang kan Sean bodoh, melakukan tindakan sesuka hati. Lagipula tidak berbobot sekali cemburu pada D. Krack yang tidak pernah menomorkan percintaan di setiap sudut hidupnya.     

"Ada apa mencari ku, laki-laki aneh!"     

Dengan perlahan, tubuh Erica terlihat sambil melangkahkan kakinya dengan gontai. Karena tidak ingin bergerak lebih jauh lagi takut dirinya salah pijak, tentu saja Sean langsung menghentikan langkahnya dan menunggu Erica.     

"Maaf..." ucapnya dengan nada sangat tulus.     

Terlihat Erica yang memutar kedua bola matanya. Sean sangat tahu jika gadis ini tengah menaruh perasaan kesal terhadap dirinya. Tidak masalah, lagipula memang itu keseharian Erica. Marah-marah terus, kesal terus.     

"Minta maaf saja pada angin!" seru Erica dengan tatapan mata yang setajam pisau. Benar kan, ia sangat kesal pada Sean! Memangnya siapa yang mau karena di tinggal menjadikan dirinya terseret dengan kasar oleh tanaman rambat hidup. Lihat saja kini tubuhnya terdapat noda kotor yang tidak bisa hilang, untung saja tidak ada bagian yang robek.     

Jangankan minta maaf pada angin, Sean saja sudah dengan hebatnya dapat mengobrol dengan angin. Jangan di bayangkan, hal itu sangatlah konyol. Apalagi kalau ingat percakapannya yang sangat memalukan, ingin tenggelam saja dari muka bumi yang justru kini ia merasa berpuluh-puluh kali lipat merasakan malu pada dirinya sendiri.     

Setelah Erica sampai di hadapannya, Sean langsung mengamati wajah gadis tersebut. "Tunggu sebentar," ucapnya menggantung.     

Erica menaikkan sebelah alisnya, ia pun tak menjawab hanya menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan Sean.     

Sean berdehem kecil, "Kemana kacamata mu?" tanyanya begitu melihat perbedaan.     

Tadi, saat Erica memakai kacamata, gadis itu terlihat persis sekali ahli sains. Dan kalau tidak pakai kacamata ya kembali lagi menjadi Erica-nya.     

"Ini semua gara-gara kamu, tidak jelas meninggalkan ku secara tiba-tiba."     

"Ya ki pikir kamu mengikuti ku,"     

"Iya memang pikiran kamu itu aneh, Tuan pembunuh bayaran yang bodoh."     

Oke, Sean tidak memasukkan ke dalam hati saat Erica memanggil dirinya dengan sebutan bodoh. Ya karena hal itu memanglah kenyataan.     

Mungkin menurut Erica, berada satu lorong bersama dengan Sean adalah suatu kesalahan yang besar. Kalau tahu dirinya akan lebih banyak mengobrol tidak penting seperti ini, lebih baik tadi ia berdua saja dengan D. Krack.     

"Iya, aku kan sudah minta maaf..."     

"Minta maaf apanya? Gara-gara kamu aku di seret sama tanaman rambat yang hidup, menyebalkan!"     

Sean membulatkan kedua bola matanya, lalu memperhatikan Erica dari atas sampai bawah dan begitu seterusnya. "Ada yang sakit? Astaga kaki mu memar, sini biar ku gendong."     

"Jangan modus, urusi saja pola pikir mu."     

Setelah berkata seperti itu, Erica langsung saja menyingkirkan tubuh Sean dari hadapannya lalu langsung berjalan lurus. Sepertinya di ujung sana sudah tampak pintu keluar.     

Sean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Gadis itu sangat sulit di mengerti."     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.