My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh lima



Seratus tujuh puluh lima

0Masih berada di ruang tengah bangunan tua.     

D. Krack menatap dua orang yang baru saja keluar dari lorong yang mereka hadapi, yang satu lagi si gadis dengan raut wajah menahan sebal dan yang satu lagi si laki-laki yang menampilkan wajah bingung serta penyesalan.     

Apapun yang mereka hadapi dan dirinya tidak tahu, itu bukanlah suatu masalah besar baginya.     

"Bagaimana? Ada luka?" tanya D. Krack pada mereka berdua yang sepertinya enggan bertukar suara satu sama lain.     

Erica menatap D. Krack lalu menggelengkan kepalanya merasa jika pertanyaan laki-laki tersebut tidaklah benar. "Tidak ada, terimakasih sudah bertanya." ucapnya dengan nada bicara yang di tekan seperti sedang menyindir keras laki-laki lain yang masih belum mengerti dengan keadaan di atmosfer ini. Ayolah, Sean pun tidak paham dan dirinya saja berbicara pada angin.     

"Kamu kenapa sih? Kan sudah ku bilang, aku meminta maaf. Harus berapa kali lagi?" tanya Sean sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Ia suka sekali menjahili Erica, namun untuk yang satu ini dirinya memang tidak tahu apapun. Bahkan berniat meninggalkan saja tidak ada toh memang langkah kakinya besar-besar ya seperti layaknya laki-laki pada umumnya.     

Erica memutar kedua bola matanya, kalau tidak dalam situasi seperti ini pasti dirinya sudah menghajar Sean habis-habisan. "Memangnya aku berbicara dengan mu?" tanyanya sambil melirik Sean dengan sorot mata yang sinis, ia melangkahkan kakinya untuk lebih mendekatkan diri ke arah D. Krack daripada harus satu pijakan dengan laki-laki yang tidak menyadari kemana perginya ia yang tau-tau sudah di seret kasar oleh tanaman rambat liar.     

D. Krack yang merasakan ada kobaran api di sekitar mereka pun langsung saja menjadi si penengah. "Sebaiknya kita selesaikan level selanjutnya," ucapnya sambil menatap Erica dengan lekat berniat untuk mengatakan pada gadis itu untuk memilih pintu manakah yang harus di lewati mereka. "Eh? Kemana perginya kacamata mu?" tanyanya kembali saat tidak melihat kecamata yang bertengkar di hidung mancung gadis tersebut.     

Erica mengangkat bahunya dengan acuh, seolah-olah tidak ingin peduli dan juga tidak mau menjawab apapun yang di tanyakan D. Krack mengenai suatu hal berkaitan dengan kejadian tadi. "Entahlah, tidak penting untuk di bahas. Kalian para laki-laki memang bisanya membuat kesal saja." ucapnya sambil melangkahkan kakinya menjauhi D. Krack dan juga Sea. Ia langsung saja melangkahkan kakinya mendekat ke pintu tiga yang merupakan pintu tengah dari kelima pintu dengan kata kunci berbeda itu.     

D. Krack padahal tidak tahu apapun mengenai hal ini, tapi ia terkena imbasnya juga. Astaga demi Tuhan memang benar ya seorang gadis itu sangatlah merepotkan, huh. Ia melangkahkan kakinya ke arah Sean yang tampak memandang Erica dengan sorot mata sendu. Belum pernah dirinya menyaksikan laki-laki ini mengeluarkan ekspresi yang sebegitu dalamnya. "Kenapa sih Erica? Terus kalian kenapa?" tanyanya. Sebaiknya, masalah kecil ini harus segera di tuntaskan.     

Kalau mereka memiliki masalah, nanti saja deh acara marah-marahnya karena ini waktu untuk menunjukkan keseriusan.     

"Erica di jerat tanaman liar hidup, dan aku sama sekali tidak mendengar ia meneriakkan namaku." balas Sean dengan intonasi suara yang lemah. Ia pun tidak ingin Erica mendengar kalau dirinya ini kembali mengungkit masalah tadi, bisa-bisa gadis kecilnya yang sangat sangat itu marah.     

D. Krack yang mendengar penjelasan Sean, hanya sekilas itu pun langsung saja menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan laki-laki yang kini berada di sampingnya. "Kali ini, aku berpihak pada Erica. Lagipula itu memang kebodohanmu." ucapnya sambil menolehkan kembali kepadanya ke arah Erica yang tengah memeriksa satu per satu dari kelima pintu tersebut dengan cara yang sama seperti dirinya lakukan beberapa saat lalu.     

"Jadi, kamu menyalahkan ku? Baiklah sekarang memang tidak ada yang berpihak pada assassin yang tampan ini." ucap Sean sambil terkekeh kecil. Ia menyibakkan jambul badai miliknya ke belakang dengan gerakan pelan, memperlihatkan pose menawan. Mungkin kalau ada beberapa gadis di dekatnya saat ini akan memekik tertahan, namun adanya D. Krack dan Erica yang sudah dapat di tebak merasa mual dengan tingkahnya.     

"Pantas saja Erica tidak pernah menaruh hati padamu padahal sudah selama ini, ternyata sifat mu memang memuakkan." ucap D. Krack sambil terkekeh. Ia senang sekali mengejek Sean di situasi seperti ini.     

Lihat, Sean malah kini sudah menghilangkan rasa bersalahnya. Justru, ia rasanya ingin menjahili Erica dengan kata-kata 'jangan ngambek dong sayang, nanti aku beri sebuah lumatan sebagai pertanda maafnya' ah sangat manis sekali memang dirinya untuk gadis dingin seperti Erica.     

"Sebenarnya dia jatuh cinta pada ku, tapi segan untuk memberitahunya." ucapnya yang sudah mengembalikan tingkat kepercayaan diri yang sangat tinggi. Entah bagaimana ia bisa mengesampingkan rasa bersalahnya itu kembali menjadi tingkah anehnya.     

Lagipula Erica adalah gadis yang kuat, sudah pasti lah dia bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Ya mungkin karena ada Sean, pasti gadis tersebut berubah menjadi manja. Iya, pasti seperti itu.     

Kalau Erica mendengar kata hatinya saat ini, sudah dapat di pastikan gadis itu akan mengamuk layaknya singa kelaparan yang baru menemukan seekor mangsa.     

"Jangan bercanda dan memalsukan keadaan, aku mendengar mu pembunuh bayaran aneh."     

Sean dan D. Krack yang mendengar nada khas seorang gadis pun itu langsung saja menolehkan kepalanya ke arah Erica lalu D. Krack tertawa mendengar deretan kalimat yang keluar dari mulut gadis tersebut. Nada suaranya cukup ringan, namun ke dataran wajahnya itu yang seolah-olah membayangkan kalau dia masih sangat sebal dengan Sean.     

"Erica saja paham jika kamu aneh, makanya jangan terlalu percaya diri." ucap D. Krack. Ia sengaja mendukung Sean karena suka sekali saat laki-laki itu disuduti dari kedua pihak. Apalagi melihat wajahnya yang masam kecut membuat dirinya ingin tertawa terbahak-bahak namun ya sadar situasi saja lah kalau ini bukan waktu yang tepat.     

Erica pun sebenarnya dari tadi mendengarkan percakapan antara Sean dan juga D. Krack. Karena pengaruh ruangan dan kondisi sekitar yang memang sepi dan hening membuat dirinya tanpa di sadari ikut masuk ke dalam topik pembicaraan tersebut. Tidak, ini namanya bukan menguping pembicaraan orang lain kok!     

"Sebaiknya bantu aku, tapi usahakan jangan Sean." ucap Erica sambil memundurkan langkahnya setelah berhasil mendengarkan setiap suara yang berada di kelima ruangan tersebut.     

Sean menaikkan sebelah alisnya, merasa tidak terima dengan apa yang diucapkan oleh Erica. "Eh? Tentu saja aku ikut, aku kan juga bagian dari misi." ucapnya sambil melangkahkan kakinya ke arah Erica. Ia menatap dengan lekat gadis tersebut, mengikis jarak di antara mereka sampai Erica harus memundurkan tubuhnya, punggungnya menabrak pelan permukaan dinding.     

Erica mendengar deru napas Sean, baru kali ini ia sangat gugup di perlakukan seperti ini. "A-apasih? Ngapain kamu dekat-dekat sama aku?" tanyanya dengan nada bicara tersendat-sendat.     

"Masih ingin marah, huh? Kesal pada ku? Erica, aku sudah berkali meminta maaf. Dan kamu masih kesal pada ku?" ucap Sean dengan beberapa deret kalimat yang menghujami pertanyaan dengan berbagai segi bahasa namun memiliki artian yang sama.     

"Kalau iya, kenapa?" ucap Erica yang malah balik menantang seorang Sean. Ia sama sekali tidak mempedulikan D. Krack yang kini menatap mereka tanpa berniat untuk melakukan apapun supaya memisahkan mereka berdua. Ya masalah tetap masalah, mungkin memang harus di selesaikan dari sekarang.     

Sean mengangkat senyumannya, sebuah senyuman miring yang tercetak jelas di permukaan wajahnya. "Kalau begitu..." ucapnya sengaja menggantungkan kalimat.     

Cup     

Lumatan ganas mendarat tepat di bibir manis Erica, Sean dengan mata terbukanya masih menatap lekat manik mata gadis tersebut yang sialnya memang sangatlah indah. Dengan lidah yang masih sibuk mencari celah supaya bisa masuk ke dalam mulut Erica untuk mengabsen setiap deret gigi rapih putih dan bersih itu, ia akhirnya memutuskan untuk sedikit menggigit bibir bawah Erica dengan bergumam 'sorry'.     

Erica pun membuka mulutnya, dan langsung saja lidah laki-laki yang kini menahan tubuhnya dengan kedua lengan di samping tubuhnya itu mulai mengabsen seluruh rongga mulutnya. Astaga memang memabukkan, bahkan kini terasa jika kakinya mulai melemas.     

Tiba-tiba saja, bersamaan dengan nalar seorang laki-laki yang bersarang di tubuhnya, segala sistem di ruangan ini mati. Yang tadinya terdengar suara seperti benda tajam berayun nyaris bersentuhan ataupun suara lain yang mengerikan sudah lenyap seketika. Membuat Sean langsung sama melepaskan lumatan dirinya dengan Erica yang padahal sangat nikmat itu.     

D. Krack memperhatikan sekitarnya lalu bergegas mendekati kelima pintu tersebut. "Cepat cari pintu yang sekiranya tidak ada ranjau. Dan segera masuk ke dalamnya karena Allea dan Vrans mungkin sudah berhasil meretas sistem keamanan di sini!" serunya yang langsung saja berdiri dan memilih pintu kesatu dengan kata kunci SADTA.     

Sedangkan Erica, ia sesuai feeling dan juga hatinya kini mulai berlari ke arah pintu kelima dengan kata kunci FWBC. "Aku pilih yang ini," ucapnya sambil menganggukkan kepalanya ke arah D. Krack yang kini sudah mengubah raut wajahnya menjadi sangat serius, begitu juga dengan dirinya. Ini adalah waktu yang tepat untuk bergegas.     

Dan Sean? Tentu saja ia memilih pintu kedua dengan kata kunci DAMC yang berada tepat di samping D. Krack. "Aku siap dengan pintu yang ini." ucapnya sambil menatap sebuah pintu yang kini sudah berada di hadapannya, pintu pilihan.     

Mereka semua mengambil naps panjang, bahkan napas Sean dan Erica yang masih cukup tersenggal karena ciuman panas tadi pun sekalian mengatur deru napasnya.     

Erica, D. Krack, dan Sean secara bersamaan mengeluarkan pistol andalan yang sudah dipersiapkan dari tadi.     

"Dalam hitungan ke tiga,     

Satu,     

Dua,     

Tiga." Aba-aba ini di pimpin oleh D. Krack yang bisa mengendalikan suasana jauh lebih sempurna daripada Sean. Sebenarnya laki-laki pembunuh bayaran itu sanggup bekerja sendiri, asal tidal ada Erica saja yang membagi titik fokusnya.     

Mereka bertiga pun secara bersamaan mulai masuk kedalam pintu tersebut dengan tangan berisi pistol yang mengarah ke depan. Dan pada saat yang bersamaan,     

DOR     

Jangan ditanya, entah siapa yang kini menjadi korban selanjutnya, apakah sang pion pemanis? Ataukah sang pion utama.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.