My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh enam



Seratus tujuh puluh enam

0"Aku berada di rumah Hana, bersama Niel dan dua bantuan dari anggota FBI." ucap Orlin yang kini sudah berada tepat si dapur rumah Hana. Sungguh, dapur ini sangatlah besar. Mungkin satu ruang kelas saat dirinya berada di sekolah menengah pun sebanding dengan ini, untuk apa juga gadis pembunuh bayaran itu membuat rumah yang setiap sudutnya sangat besar? Benar-benar tidak kenal takut dan cara menghabiskan uang yang sangat bermanfaat.     

"Gotcha, bisakah kamu masuk ke dalam ruangan Allea? Terletak dekat pintu dapur. Di sana ada dua pintu yang mengarah ke garasi dan satu lagi ada pintu dengan sistem keamanan. Kamu masuk ke dalam sana, nanti pergilah langsung ke arah lubang di dinding. Aku berada di sana." ucap Vrans dari seberang sana menjelaskan titik lokasinya saat ini.     

Ia melihat ke arah Farrell yang tengah melihat-lihat di sekeliling dapur ini, ya memang sih memiliki desain modern yang sangat memukau dilihat dengan mata kepala telanjangnya.     

Orlin berdehem kecil di seberang sana, "Apa boleh minum dulu? Aku haus." ucapnya dengan sangat jujur. Toh sedari tadi setelah melewati masa panjang dengan degup jantung berdebar tidak karuan, ia belum minum sama sekali. Ya wajar saja kebetulan berada di dapur, ia kan bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan seperti ini. Pasti di kulkas Hana ada bermacam-macam minuman yang mampu menyapa dinding tenggorokannya dengan sapuan menyegarkan.     

Jangan di bayangkan, nanti tenggorokannya terasa semakin kering mengingatnya.     

"Tidak perlu membuang waktu, Orlin. Segera lakukan karena cepat atau lambat pasti Alard mengetahui keberadaan kalian." ucap Vrans di seberang sana dengan nada bicaranya yang kelewat dingin. Ya memang sih ucapannya ini sangat aneh, masih sempat-sempatnya ingin minum di kala situasi mendesak menyapa.     

Orlin membuka mulutnya untuk segera mengatakan kalimat selanjutnya, namun ...     

Pip     

Dengan gerakan refleks menjauhkan ponsel dari telinganya, ia langsung saja menatap layar ponsel yang sudah menggelap. "Tuh kan, punya bos itu memang sangat dingin. Untung saja kekasihnya Xena, kalau tidak ya tidak masalah sih." ucapnya dengan kekehan kecil merasa konyol dengan pembicaraan pada dirinya sendiri.     

Ia menolehkan kepalanya ke arah Dicta, lalu menarik tangan gadis tersebut menuju ke pintu yang di maksudkan oleh Vrans di telepon.     

Karena pergerakan Orlin yang tiba-tiba tentu saja membuat Niel dan juga Farrell langsung saja menatap satu sama lain. Mereka pun tidak tahu apa yang gadis itu bicarakan pada seseorang di telepon, dan tanpa ucapan apapun menarik tangan Dicta yang sedang meneliti sistem keamanan di rumah ini apakah Alard berbohong atau tidak telah menonaktifkannya.     

"Sebaiknya kita susul mereka," ucap Farrell sambil melangkahkan kakinya mendekat ke arah kedua gadis tersebut, diikuti dengan Niel yang berjalan di belakangnya --masih dengan pakaian penyamarannya--.     

Setelah mereka berkumpul di depan pintu, Orlin langsung saja memutar tubuhnya agar mereka bisa melihat dirinya di sudut menguntungkan. "Jadi, Vrans dan Allea berada di dalam ruangan ini. Tadi bos ku itu sendiri yang mengatakannya, dan sekarang tengah meretas sistem keamanan besar di tempat lain." ucapnya memberikan penjelasan yang sangatlah detail.     

Dicta menganggukan kepalanya dengan sangat paham, ia langsung saja menekan denah rumah Hana pada layar i-pad. Menekan layarnya untuk menelusuri dalam rumah ini, lalu menekan sebuah sistem keamanan yang ternyata hanya bisa di buka oleh seseorang bernama Allea dan juga Hana.     

Farrell memang sangat beruntung memiliki Dicta, mungkin nanti bulan depan akan merekrut gadis itu menjadi memiliki jabatan yang setara dengan dirinya. Bekerja bersama gadis tersebut membuat ia hanya diam-diam saja dan tidak melakukan apapun. Ya sesuai perjanjian sih. Dicta pernah mengatakan pada dirinya kalau Farrell hanya menjadi otak dan pengarah rencana, dan gadis itu yang mengambil alih sistem pekerjaan.     

Dan ya, ia sama sekali tidak menyesali perjanjian yang telah di buat dan di terapkan itu.     

Hanya dengan hitungan detik saja, sistem keamanan tersebut sudah di bobol oleh Dicta.     

Pintu terbuka, dan yang paling awal berjalan adalah Farrell, tentu saja. Dengan arahan Orlin di belakang sana yang memberitahu dirinya untuk berjalan ke arah dinding berlubang.     

"Astaga, siapa yang habis bertarung dengan wanita robot ini?" Pertanyaan itu berasal dari mulut Orlin yang kini sudah menghentikan dirinya tepat di dekat robot tersebut dengan telapak tangan kanan yang di letakkan pada depan mulut, ia merasa sangat terkejut dengan apa yang terlihat.     

Tentu saja ruangan ini bukan gudang melihat furniture antik yang pastinya memiliki harga fantastis yang menghiasi. Tapi di lihat dari ruangan yang berserakan dengan pecahan dan rusaknya banyak barang, pasti habis terjadi sesuatu yang besar.     

"Kalian duluan saja, aku ingin mengambil segala bukti sampel yang ada di sini." ucap Farrell, tangannya yang sudah dilapisi dengan sarung tangan transparan membuat sidik jarinya tidak akan tertinggal, ia juga menyuruh Dicta untuk melakukan hal yang serupa saat turun misi.     

Dicta hanya mengangguk kepalanya, mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Farrell. Ia segera memasukkan i-pad yang berada di tangannya ke dalam tas kecil punggung yang tadi sudah ia ubah posisinya ke arah depan.     

Niel melihat Orlin yang menunjukkan ekspresi cemas, dengan cepat ia langsung saja menggendong gadisnya ala bridal style. "Jangan membuang waktu, kita justru tengah di kejar waktu, sayang." ucapnya yang mengembalikan kesadaran gadis tersebut.     

Orlin mengerjapkan kedua bola matanya, tepat saat mereka sampai di lubang dinding yang di maksud, tentu saja ia langsung meminta turun dari gendongan kekasihnya karena celah untuk ke ruangan sebelah pun sangatlah sempit.     

"Kamu tunggu sini saja,"     

Setelah melihat Niel yang menganggukkan kepalanya, Orlin langsung saja menyembulkan kepalanya untuk melihat apakah ada Vrans dan Allea di dalam sana.     

"Vrans, Allea." ucapnya memanggil kedua orang yang kini tengah berdampingan itu.     

Sedangkan dari sudut Vrans dan Allea...     

Mendengar ada seseorang yang memanggil nama mereka berdua, langsung saja menolehkan kepalanya. Ia menatap sosok Orlin yang hanya menyembulkan kepalanya saja.     

Allea menatap kembali ke layar komputer, lalu dengan hembusan napas karena peretasannya berhasil, ia pun langsung saja menekan sebuah tombol 'OK' untuk pengakhiran.     

"Tuan, ayo cepat keluar dari sini." ucapnya.     

Vrans yang mendengar itu pun langsung saja menganggukkan kepalanya. Ia sedikit berlari kecil ke arah Orlin yang sudah memundurkan tubuhnya supaya akses jalannya tidak tertutup. Menoleh ke belakang karena tidak mendengar langkah kaki lain pun membuat dirinya menghentikan derap langkah kakinya.     

"Allea?" panggilnya.     

Allea yang menolehkan kepalanya, lalu menyunggingkan sebuah senyuman manis. "Duluan saja, Tuan. Aku harus melakukan suatu hal terlebih dahulu," ucapnya sambil mengalihkan pandangannya. Ia sedang mencari sesuatu yang berat, dan ya kembali lagi pada tongkat kasti besi. Memang benda itu adalah penyelamat di segala hal untuk menghempaskan situasi yang sulit.     

"Apa kamu bercanda? Pasti cepat atau lambat ada seseorang yang akan ke--"     

"Duluan aja Tuan,"     

Vrans memutar kedua bola matanya, lalu menganggukkan kepala. Ingin memaksa pun pasti tidak akan bisa. "Hati-hati, aku menunggu mu bersama yang lainnya." ucapnya sambil menatap Allea dengan lekat. "Oh ya, ponsel my berada di saku tuxedo ku." sambungnya memberitahukan keberadaan ponsel gadis tersebut takut nanti dicarikan oleh sang empunya.     

Allea menganggukkan kepalanya, "Siap Tuan Bos!" Lalu dengan tenaga ia pun langsung mengayunkan tongkat kasti besi tersebut ke arah komputer dan segala peralatan elektronik yang berada di atas meja kerjanya, sebelum itu ia menatap nanar seluruh peralatan yang dari dulu sudah menemani hari-harinya saat bekerja. "Good bye,"     

BRAK     

BRAK     

BRAK     

Setelah itu, Allea melangkahkan kakinya ke arah lemari besar yang biasa ia sebut dengan perpustakaan kecil.     

Dengan tatapan sayang karena ia adalah pecinta buku dengan segala peralatan yang menjadi tumpuannya, ia kembali menghela napas. "Menyebalkan sekali harus merusak fasilitas di ruang kerja sendiri,"     

Dalam hitungan detik ...     

BRAK     

BRAK     

BRAK     

Tongkat kasti tersebut langsung saja merusak laci dengan kata sandi yang sudah di pecahkan oleh Vrans tadi. Merasa sudah tidak ada lagi lokasi yang privasi bagi dirinya, ia langsung saja membuang tongkat kasti besi tersebut ke sembarang arah.     

Dengan cepat karena peretasan tadi melenceng dari waktu yang ia perkirakan, tentu saja dirinya takut jika ada penghalang lainnya untuk menunda kepulangan dirinya.     

Ia menuju ke arah dinding berlubang karya Vrans, dan ya sudah tidak ada siapapun di sana. "Ah, aku akan merindukan ruang kerja yang membuat aku betah berlama-lama di rumah Hana." ucapnya sambil melangkahkan kaki me arah luar ruangan.     

Ia menghentikan langkahnya, "Astaga aku melupakan teflon dari Alard." ucapnya sambil menepuk kening lalu memutar kembali tubuhnya untuk masuk ke dalam ruangan.     

Meraih dari teflon yang berada di atas nakas panjang, lalu keluar dari ruangan itu lagi.     

"Eits, mau kemana?"     

Gotcha!     

Mendengar suaranya bariton tersebut, membuat tubuh Allea bergeming dan tidak bergerak sama sekali. Ia melihat Alard dengan seorang laki-laki yang belum ia kenal.     

"Hai, Alard. Ada apa?"     

Sial, di keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya ia bertanya sedemikian rupa.     

Allea dengan senyum konyolnya memperlihatkan teflon yang berada di tangan bersamaan dengan laki-laki di samping Alard yang menjulurkan pistol tepat ke arahnya.     

Jangan sampai ia tertembak!     

Ia meringis kecil saat luka di lengannya bisa saja terbuka kembali karena pergerakannya. Dan ya, luka di dadanya pun berdenyut nyeri. Ia tidak bisa bergerak dengan larian sekuat tenaga karena akan menghadirkan rasa sesak yang sangat.     

"Oh ternyata ini tikus kecil si pengkhianat,"     

"Aku manusia, bukan tikus, dasar tidak sopan."     

"Perbaiki sistem keamanannya atau--"     

"Atau apa?"     

"Atau kamu akan ku tembak mati pada saat ini juga, apa itu sebuah gertakan yang menarik?"     

"Kurang, setidaknya bilang seperti 'aku akan menguliti diri mu sampai kulit di tubuh mu habis' baru aku akan merasa takut."     

"Sepertinya Hana harus menyesal karena pernah menjadikan diri mu asisten kepercayaan."     

"Silahkan, aku juga sudah menyesal menjadi hacker untuk assassin iblis itu."     

Pada detik itu juga ...     

DOR!     

Semuanya menggelap tanpa aba-aba sedikitpun.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.