My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh tujuh



Seratus tujuh puluh tujuh

0Xena mengerjapkan kedua bola matanya bersamaan dengan kepala yang terasa pening, belum lagi pandangan matanya yang juga terasa seperti berkunang-kunang.     

"Astaga, apa aku kebanyakan minum soda ya?" tanyanya sambil mengubah posisi tubuhnya yang tadi sedang tiduran menjadi duduk di tepi kasur. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat lalu mengingat-ingat kembali kenapa dirinya bisa menjadi seperti ini.     

Dan ya, pikirannya kembali pada Hana yang dengan sangat tidak sopan membius dirinya.     

"Ternyata aku habis di bius, bukan kebanyakan minum soda." ucapnya terkekeh kecil mentertawakan pemikiran konyol yang bisa-bisanya menyimpulkan kebanyakan minum soda bisa membuat pening kepala. Memang tuh dirinya ada-ada saja.     

Ia mengambil napas panjang, entah kenapa matanya ini masih enggan terbuka dengan sempurna. Mungkin obat bius yang seharusnya menidurkan dirinya selama satu jam, malah bereaksi padanya setengah jam saja.     

"Mana aku lapar lagi, tapi sedang di sekap sama Hana. Kenapa sih dia gak nyediain aku makanan?" ucapnya lagi dengan sebal.     

Lihat, betapa bawelnya seorang Xena Carleta Anderson? Padahal ia hanya sendiri loh di ruangan ini namun tidak ayal membuat dirinya masih sibuk berbicara banyak hal walaupun di dengar olehnya sendiri. Ya daripada ketakutan, ia lebih baik menghibur diri selagi bisa.     

Ting     

Arah pandang Xena langsung saja terarah pada lift dekat sudut ruangan yang entahlah ia juga tidak ingin tahu itu pintu apa. Bahkan di satu ruangan yang ia tempati ini ada banyak sekali pintu, tapi ia hanya berani untuk masuk ke pintu berisikan toilet saja. Ya kalau dirinya asal-asalan, bisa saja di dalam pintu itu berbahaya, iya kan?     

Sosok Hana dengan raut wajah yang sudah kusut tertampil di hadapannya, berjalan dengan sangat anggun namun mengeluarkan sebuah perasaan yang mampu membuat Xena merinding.     

"Kenapa sudah terbangun? Harusnya aku akan membunuh mu langsung, Xena." ucap Hana dengan decakan sebal yang keluar dari dalam mulutnya. Ia menatap gadis lugu yang duduk di tepi kasur itu dengan sorot mata tajam menghujam.     

Xena mengangkat bahunya, ia pun tidak tahu kenapa reaksi obat bius terhadap dirinya begitu cepat. "Tidak tahu, kamu kali yang tidak bisa membius orang, pakai segala sok sok an." ucapnya dengan nada santai. Sejujurnya, ini memanglah tingkah dirinya. Murni dari dalam tubuh Xena yang memang sudah kurang ajar dari awal cerita.     

"Berani sekali mengatai diriku seperti itu," ucap Hana dengan sebelah alis yang terangkat. Raut wajahnya kini terlihat berkali-kali lipat menjadi sangat sangar seperti tidak bisa di lawan setiap apapun yang dikatakannya.     

"Iya maafin Xena ya." ucap Xena sambil menggelengkan kepalanya, ia masih berusaha mengusir rasa pening yang bersarang di setiap inci ruang di dalam otaknya.     

Hana memutar kedua bola matanya, lalu mengambil sebuah pistol dari belakang tubuhnya. Memang para penjahat gemar sekali menaruh sebuah pistol di belakang tubuhnya, apa tidak takut ya? Kalau Xena sih takut. Lebih baik gadis itu memilih tidak menaruh apapun di balik punggungnya. "Aku menyesal telah memberikan banyak waktu bagi diri mu untuk menghirup udara segar." ucapnya sambil berdecih.     

Xena menatap pistol tersebut, sudah berkali-kali kepala pistol itu hampir menembakkan peluru dari dalamnya ke arahnya. Dengan meneguk salivanya secara kasar, tentu saja ia langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak Hana, jangan bunuh aku. Sungguh aku belum sempat menikah dengan Vrans," ucapnya dengan nada bergetar. Dengan perlahan, ia mulai memundurkan duduknya. Yang tadinya ia duduk di tepi kasur, kini sudah menjadi ke atas pas sekali bersandar di kepala kasur.     

Hana menyunggingkan senyum miring, "Ingin menikah atau tidak aku pun tidak peduli. Yang terpenting, kamu kini harus segera tewas." ucapnya sambil memajukan langkah, sedikit demi sedikit. Tak lupa dengan tangan yang sudah ia julurkan ke arah Xena, tepat langsung ke kepala gadis itu.     

"Mengertilah, kamu tidak paham apa itu rasa cinta, Hana. Lepaskan aku, ku mohon."     

Baiklah, Xena mungkin memang gadis tengil yang tidak memiliki sopan santun --hanya berlaku pada Vrans--, tapi ia masih gadis biasa yang merasa takut jila ditodongkan sebuah pistol berisi ke arah kepalanya. Mengingat dirinya yang mungkin akan tewas di sapa takdir buruk.     

Hana memutar kedua bola matanya, "Tentu saja aku sangat tidak peduli." ucapnya dengan nada datar. Mengetahui Allea berhasil meretas sistem keamanan miliknya, membuat ia kalang kabut. Dan setelah kepergian Chris yang menawarkan diri untuk menghampiri kediamannya yang merupakan sumber permasalahan itu, ia langsung saja bergegas untuk membunuh Xena. Namun sayang seribu sayang, gadis bawel yang selalu melontarkan kata-kata mutiara itu sudah terbangun dari obat bius yang diberikan olehnya.     

Kini, terasa kedua bola mata Xena yang berkabut. Astaga gadis ini benar-benar ingin menangis. Jangankan melawan, bergerak sedikit saja pasti akan tertembak mati. "Tolong, Hana... Sudah berapa kali kamu menempatkan aku pada posisi ini? Lagipula Orlin sudah tiada, nanti kamu di datangi arwahnya, sumpah deh." ucapnya dengan nada yang bergetar namun masih sempat-sempatnya menyelipkan perkataan yang sangat menggelikan seperti itu.     

"Tewas atau tidak, aku tidak akan pernah membiarkan target ku lolos." ucap Hana yang memang tidak akan pernah peduli dengan apapun. Baginya, ya kerjaan itu memang sudah kodratnya harus di tuntaskan, iya kan?!     

"Ku pikir kamu benar-benar best assassin, tapi kamu hanya hama yang berkembang menjadi psikopat." ucap Xena sambil menghapus jejak air mata yang membasahi permukaan wajahnya. Ia menatap Hana tanpa rasa takut sedikitpun toh yang jahat sudah pasti akan tersapu karma.     

"Kamu tidak mengerti apapun," ucap Hana. Ia hampir menekan gagang pistol untuk melepaskan peluru supaya mengenai kepala Xena dengan sangat mulus. Tapi, indra pendengarannya mendengar sesuatu dari luar ruangan.     

"Ah, rupanya pion pemanis sudah datang."     

Xena yang ternyata sudah melepaskan bulir kristal bening dari kelopak matanya itu pun langsung saja menghembuskan napasnya kala melihat Hana yang sudah menurunkan incaran pistol ke arah dirinya. "Terimakasih, Tuhan." ucapnya sambil meremas ujung pakaian yang ia kenakan     

Hana memposisikan tubuhnya tepat di tengah ruangan, ia menunggu saat yang tepat. Dapat di yakini jika dirinya sudah mengarahkan pistol di tangannya tepat ke arah pintu.     

Xena yang melihat jika Hana tidak akan menolehkan kepala ke arahnya lagi, dengan perlahan beranjak dari atas kasur, lalu mulai melangkahkan kakinya dengan perlahan ke arah gadis tersebut. Entah Hana sadar atau tidak, tapi ada sebuah benda kecil yang hampir ingin jatuh dari celah leher baju gadis itu. Ia mengarahkan kakinya ke Hana, lalu mengambil alat tersebut dengan sangat hati-hati.     

"Hei!" pekik Hana sambil menolehkan kepalanya ke arah Xena yang ternyata sudah berada di belakangnya.     

Untung saja berkat kecepatan Xena, gadis ini sudah berhasil menyembunyikan alat kecil tersebut ke dalam bajunya dengan asal. "Maaf ada laba-laba," ucapnya sambil memundurkan langkahnya. Berjalan ke arah dinding, dan menghentikan pijakannya di sana.     

"Dasar gadis konyol," ucap Hana sambil memutar kedua bola matanya. Ia belum tertarik untuk menembak Xena karena mungkin apa yang tersuguh selanjutnya jauh lebih menarik.     

Dengan hembusan napas lega, Xena langsung saja mengambil kembali alat kecil tersebut untuk di genggam pada tangan kanannya. Dan bodohnya, Hana sama sekali tidak sadar. Ia mengulum sebuah senyuman, entah alat apa yang berada di tangannya ini pasti sangat berarti. Ya kalau tidak memiliki manfaat apapun, kenapa sampai Hana bawa-bawa dan di letakkan pada lipatan lehernya? Sudah pasti ia menutupi itu dari banyak orang dengan rambut yang tidak terlalu panjang namun jatuh cantik lurus menjuntai.     

"Jangan banyak tingkah, atau kamu yang akan ku tembak pada saat ini juga." ucap Hana dengan tatapan menajam yang dilayangkan pada Xena.     

Merasa di peringati, Xena pun menatap Hana dengan wajah heran. "Tidak lihat kah aku sedang bersandar di dinding?" tanyanya.     

Hana tidak mengindahkan ucapan Xena. Ia sibuk dengan keadaan yang mungkin akan terjadi di menit selanjutnya.     

Ceklek     

Tepat pada saat itu juga, tubuh Erica terlihat di depan pintu yang sama mengarahkan pistolnya ke depan.     

Hana menyempatkan untuk menampilkan smirk pada permukaan wajahnya. "Good bye, gadis perusak pikiran adikku."     

DOR     

"ERICA!"     

Xena membelalakkan kedua matanya melihat tubuh Erica yang langsung saja tergeletak di lantai, ia segera berlari ke arah gadis tersebut yang masih bernapas dengan deru tersengal-sengal.     

Hana tertawa terbahak-bahak, lalu bertepatan dengan itu Sean dan D. Krack langsung muncul dengan tatapan marah.     

"Sialan!" umpat Sean sambil melangkahkan kakinya menuju ke Hana. Sungguh, ia rasanya ingin menewaskan gadis yang bernotabene kakaknya itu pada saat ini juga.     

Xena menepuk-nepuk pipi Erica, tubuhnya sudah tersimpuh lemah di lantai tepat di samping tubuh sahabatnya. "Bertahanlah," lirihnya yang sudah mengeluarkan banyak air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Ia benar-benar tidak kepikiran untuk kehilangan Erica, si gadis beku.     

"Ma--maaf, X--xena. Ak--aku gagal," ucap Erica tersengal-sengal. Ia mengulas sebuah senyuman singkat nan manis.     

Sedangkan D. Krack ia refleks melihat sebuah alat kecil di tangan Xena. Lalu dengan gerakan secepat kilat untuk mengambil alat tersebut.     

"Tuhan, nerve repair."     

D. Krack langsung menancapkan jarum alat nerve repair milik Hana ke leher Erica, sebelum gadis itu memejamkan matanya mengapa cahaya langit yang membawa dirinya ke dunia selanjutnya.     

"Hahh..." Erica menarik napas dalam-dalam lalu langsung menghembuskannya begitu saja saat jarum rancing tersebut masuk ke dalam sel syarafnya. Alat tersebut mulai mencari titik rusak syaraf akibat dari tembakan tepat di dadanya.     

Xena menatap Erica dengan air mata yang banjir, ia langsung saja memeluk tubuh sahabatnya. "Ku kira kamu akan meninggalkan aku,"     

"Jangan bodoh, aku masih ingin menikah."     

D. Krack berdecak kagum karena alat nerve repair buatan Hana itu memang benar-benar berfungsi secara ajaib. "Hana memang gila,"     

Benar kan? Hanya dalam waktu beberapa detik saja alat nerve repair milik Hana dapat menyatukan kembali sel syaraf yang rusak. Namun tak ayal luka itu masih basah, hanya menyelamatkan nyawa saja namun tetap harus segera di bawa ke rumah sakit.     

"D. Krack, tolong bawa Erica ke rumah sakit. Lewat lift itu saja, semua keamanan sudah mati. Ku rasa di sana ada mobil Chris, gunakan saja." ucap Xena memberikan beberapa aba-aba. Ia tidak ingin ikut dengan D. Krack karena ia adalah alasan Hana masih berdiri di sini.     

D. Krack menganggukkan kepalanya, lalu menggendong Erica ala bridal style. "Kamu? Bagaimana dengan mu?" tanyanya.     

"Mengurusi adik kakak yang akan melakukan aksi membunuh satu sama lain,"     

Erica menatap Xena dengan sorot mata yang mulai melemah, nyawanya memang terselamatkan, namun tak ayal rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. "Hati-hati, Xe--" belum sempat menyelesaikan kalimatnya pun ia sudah tak sadarkan diri.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.