My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh delapan



Seratus tujuh puluh delapan

0"Perbaiki sistem keamanannya atau--"     

"Atau apa?" tanya Allea memotong ucapan Chris yang bahkan belum selesai mengeluarkan sederet kalimat yang laki-laki itu ingin katakan. Ia dengan tatapan mata yang tentu saja tanpa kilatan ketakutan sedikit pun berani menentang Chris. Baginya, seorang gadis seperti dirinya tidak perlu merasa terintimidasi oleh laki-laki. Harus bisa melawan, kalau tidak ya pasti akan di injak-injak.     

"Atau kamu akan ku tembak mati pada saat ini juga, apa itu sebuah gertakan yang menarik?" sambung Chris sambil menatap Allea dengan tajam. Pistol sudah ditodongkan ke hadapan gadis yang merupakan mantan pekerja Hana itu. Entahlah kenapa ia menjadi ikut campur seperti ini, namun yang pasti Hana sudah membayar dirinya dengan biaya sangat besar.     

Ya anggap saja sebagai imbalan.     

Allea yang mendengar ucapan Chris itu pun langsung saja menaikkan sebelah alisnya. Selain ia menjadi seroang gadis yang memiliki rasa penasaran yang melonjak, tentu saja ia memang gadis penentang, sungguh keras kepala. "Kurang, setidaknya bilang seperti 'aku akan menguliti diri mu sampai kulit di tubuh mu habis' baru aku akan merasa takut." ucapnya yang malah memberikan sebuah saran mengerikan.     

"Sepertinya Hana harus menyesal karena pernah menjadikan diri mu asisten kepercayaan." ucap Chris sambil menatap Allea dengan tatapan meremehkan, ia hanya tidak habis pikir saja mengapa Hana bisa mempekerjakan gadis seperti ini. Ya mungkin memiliki keahlian khusus, membuat dia di berikan sebuah job untuk menjadi asisten dari gadis pembunuh bayaran tersebut.     

"Silahkan, aku juga sudah menyesal menjadi hacker untuk assassin iblis itu." balas Allea sambil menjulurkan lidahnya dengan sebal. Perihal Herra, ia masih tidak habis pikir!     

Kalau boleh berteriak dan dirinya sanggup, ia mungkin akan segera melakukan hal itu. Tapi sayangnya luka di dada sangat terasa menyesakkan.     

"Oke, kalau begitu, ucapkan selamat tinggal pada dunia mengenai pengakuan sesal itu." ucap Chris dengan sebuah seringai khas seorang penjahat dunia.     

Pada detik itu juga ...     

DOR!     

"AAAAAA JANGAN TEMBAK AKU!" pekik Allea sambil menutup telinganya dengan seksama. Ia benar-benar merasa takut jika peluru yang entah berasal dari mana itu tertembak ke seseorang. Bukannya menutup mata, ia malah menutup telinga, memang berbeda sekali.     

DOR!     

DOR!     

Allea mengerjapkan kedua bola matanya kala tidak ada satupun peluru pistol yang mengenai dirinya. Ia menarik tangannya yang masih menutupi telinganya, berpose seperti semula.     

"Lama sekali,"     

Tiba-tiba saja, seorang laki-laki menggendong tubuh Allea ala bridal style. Iya, laki-laki itu adalah Vrans yang dengan rahang kokohnya mulai melangkahkan kaki untuk pergi ke luar rumah. Masuk ke dalam box kontainer yang entah milik siapa, ia belum tahu detail dengan situasi yang terjadi saat ini.     

Sedangkan Farrell dan Niel pun masih beradu peluru di dalam sana.     

"Astaga Allea, kamu tidak apa?"     

Pertanyaan itu berasal dari Orlin yang juga berada satu pijakan dengan Allea. Ia dengan heboh memeriksa sekujur tubuh gadis tersebut dari atas sampai bawah. "ASTAGA KENAPA CEROBOH SEKALI SAMPAI TERLUKA PARAH SEPERTI INI?!"     

Vrans memutar kedua bola matanya, salah besar membawa Orlin masuk ke dalam misi ini. Selain berisik, tentu saja gadis ini tertular toa milik Xena.     

Dicta yang tidak paham apapun hanya berdiri di bagian dalam tepi box kontainer dengan tatapan cemas.     

"Hei, tidak masalah. Pasti laki-laki FBI itu akan selamat, bukan hal yang sulit bagi dirinya." ucap Vrans sambil duduk di lantai yang terbuat dari aluminium yang kuat ini. Ia pikir, bagian dirinya untuk bertindak sudah selesai.     

Allea menatap Orlin, lalu mengulas sebuah senyuman hangat. "Aku tidak apa," lirihnya sambil melakukan hal yang serupa dengan Vrans, ia duduk tepat di seberang laki-laki tersebut. Beristirahat sejenak, karena sudah cukup tenaga yang ia keluarkan.     

Tiba-tiba saja,     

BRAK     

DOR!     

BRAK     

"CEPAT TUTUP PINTUNYA DAN KUNCI! KITA AKAN SEGERA PERGI DARI SINI!" titah Niel.     

"DICTA, STAND BY DI I-PAD MU! RETAS KEMBALI SISTEM KEAMANAN MANSION HANA!" Kali ini yang berteriak adalah Farrell, si Agen FBI dengan pangkat tertinggi itu mulai berlari menyusul Niel yang sudah melangkah lebih dulu daripada dirinya.     

Dengan buru-buru, Dicta langsung saja menutup box truk kontainer yang berisikan banyak orang ini.     

Ia mengeluarkan i-pad yang tadi di masukkan ke dalam tas ranselnya. "Kalian semua tetap jaga keseimbangan, tentu saja ini akan menjadi perjalanan yang sedikit terguncang." ucapnya dengan sorot mata serius. Ia tidak ingin main-main dalam hal yang sudah menyangkut keselamatan semua orang terkait misi ini.     

Mereka semua menganggukkan kepalanya, paham dengan apa yang di ucapkan gadis yang merupakan asisten sang FBI itu. Orlin duduk tepat di samping Allea, ia menggiring kepala gadis tersebut supaya menyandar pada bahunya.     

"Allea, nanti kita langsung ke dokter." gumamnya. Mau banyak orang menganggap Allea ini jelek karena pernah beraksi dengan Hana dan menjadi asisten gadis pembunuh itu selama bertahun-tahun, tentu saja kini Allea sudah menunjukkan dengan luka serius di tubuhnya.     

Allea hanya mengulas sebuah senyuman tipis, ia akan selalu mendukung apa yang benar, membuang apa yang salah. "Tenang, aku hanya masih ingin berteman dengan kalian." ucapnya sambil menutup kedua bola mata, mungkin ia harus melepaskan penat terlebih dahulu.     

Seperti apa yang di katakan Dicta barusan, benar saja ternyata guncangan karena laju mobil dengan kecepatan yang di atas rata-rata ini terasa jelas.     

"Orlin, Allea, jangan sibuk mengobrol." tegur Vrans dengan raut wajah yang sangat datar, nada bicaranya juga begitu datar. Memang juga namanya CEO terdingin, sudah dapat di pastikan memiliki sifat hangat pada orang tertentu saja.     

Dicta menatap layar i-pad nya dengan sangat serius. Memperlebar setiap sudut halaman rumah Hana, lalu menekan gerbang yang memang menjadi sistem keamanan terkuat. Kalau tidak lolos uji pengidentifikasian, sudah dapat di pastikan peluncuran rudal akan dilepaskan pada saat itu juga.     

Dengan peluh yang sudah menyapa pelipisnya, ia dengan sangat cepat meretas sistem keamanan yang tentu saja sangat sulit untuk mencari jalan tengahnya.     

"Ingat, kucing hitam selalu menjadi kunci yang paling utama bagi Hana." ucap Vrans yang asal menebak saja apa yang menjadi permasalahan seorang Dicta saat ini. Ya yang ia tahu memang itu, kalau Hana suka sekali kucing hitam. Beda lagi dengan Sean yang memiliki berbagai macam simbol kematian.     

Dicta yang mendengar itu tanpa harus membuang-buang waktu untuk menoleh pun langsung saja menganggukkan kepalanya dengan paham. Banyak peretasan yang harus ia lakukan karena memang sistem keamanan satu dengan yang lainnya sangatlah berbeda.     

Sedangkan di depan kursi pengemudi sana, Niel yang kini mengendarai mobil truk ini.     

"Jangan ugal-ugalan," ucap Farrell. Selain Agen FBI yang sangat berwibawa, ia tentu saja juga sangat mematuhi peraturan berkendara.     

Niel memutar kedua bola matanya, "Ingin ku kendarai seperti siput? Tentu saja akan ke kejar. Di dalam situasi ini sangat membutuhkan kecepatan," ucapnya sambil menginjak pedal gas supaya melaju lebih cepat lagi.     

Farrell menghiraukan apa yang di ucapkan Niel, ya ia hanya tidak ingin penumpang di belakang sana merasa terguncang hebat. Ia memiringkan sedikit tubuhnya untuk melihat ke arah belakang, ada sebuah jendela kecil yang bisa di alih fungsikan untuk berkomunikasi.     

"Apa kalian baik-baik saja?" tanyanya. Walaupun tidak terlihat wajah siapapun kecuali Dicta yang berdiri dengan tubuh bersandar di dinding, ia tetap menanyakan kabar semuanya.     

"BAIK, TUAN FBI!"     

Iya, itu adalah pekikan seorang Orlin. Ya merupakan ciri khas saja dari suaranya.     

Ia menganggukkan kepalanya, merasa jika kondisi ini masih aman. Melihat Dicta yang masih serius menatap ke layar i-pad tanpa berniat untuk duduk supaya tubuhnya tak terguncang. "Hei, Dicta. Sebaiknya kamu duduk saja, jangan berdiri seperti itu. Nanti terjadi suatu hal padamu," ucapnya. Tanpa melihat ekspresi wajah Dicta yang ternyata menoleh ke arahnya, ia langsung saja mengubah posisinya kembali seperti semula.     

"Eh?" gumam Dicta yang merasakan sebuah perasaan hangat. Masih sempat-sempatnya suasana manis seperti ini tercipta dengan jelas. Ia melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Vrans, lalu sesuai yang di perintahkan oleh Farrel ia langsung saja duduk di samping laki-laki itu.     

"Permisi, Tuan." ucapnya sambil mengulas sebuah senyuman kecil yang tercetak jelas di perjalanan wajahnya. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada layar i-pad.     

Vrans mencuri pandang ke arah pekerjaan yang sedang di lakukan oleh Dicta, mungkin nanti ia harus menyewa seseorang yang mampu meretas sistem keamanan. Ia ingin belajar supaya suatu saat nanti di suguhkan dengan situasi seperti ini lagi. Tidak, bukannya ia mengharapkan ada kejadian seperti ini di kemudian hari, tapi ia hanya berpikir untuk berjaga-jaga saja supaya tidak terlalu meraba seperti layaknya orang bodoh.     

"Bisa kah suatu saat nanti kau datang ke kediaman Luis?" tanya Vrans dengan bisikan kecil.     

Dicta menganggukan kepalanya singkat, "Tentu kalau Tuan memiliki kasus seperti ini." ucapnya tanpa menolehkan pandangannya ke arah laki-laki yang mengajaknya berbicara ini.     

Setelah itu, ia menekan sebuah tanda seperti logo tempat sampah yang berada di sisi pojok bawah layar i-pad nya. Ia membuang segala berkas tidak penting yang menghalangi peretasan keamanannya.     

Sebuah tanda ceklis besar pun tertampil, menandakan dirinya selesai meretas sistem keamanan kediaman Hana dengan jangka waktu yang cukup singkat.     

"Tidak, maksud ku untuk mengajari bagaimana cara meretas sistem."     

"Ah kalau itu aku tidak bisa, Tuan. Mungkin Nona yang bersebelahan dengan Nona Orlin bisa mengajari diri mu." ucapnya sambil memasukkan kembali i-pad tersebut ke dalam tas ranselnya. Benda yang paling ia sayangi di bandingkan dengan benda lainnya.     

Vrans menolehkan kepalanya ke arah Allea yang sudah mengerjapkan kedua bola matanya, luka yang berada di tubuh gadis itu benar-benar parah.     

"Tuan FBI, apa setelah ini kita bisa langsung saja menuju ke rumah sakit?" tanyanya.     

Karena bagaimanapun, apa yang terjadi dengan Allea memang kesalahan dirinya. Ia seharusnya menjadi laki-laki yang menghadapi robot tersebut, bukan sebaliknya.     

Menyesal? Tentu saja. Karena dari awal, ia sudah menaruh curiga berlebihan pada gadis tersebut.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.