My Coldest CEO

Seratus tujuh puluh sembilan



Seratus tujuh puluh sembilan

0"Sialan!" umpat Sean sambil melangkahkan kakinya menuju ke Hana. Sungguh, ia rasanya ingin menewaskan gadis yang bernotabene kakaknya itu pada saat ini juga. Ia berhenti tepat di hadapan Hana, lalu segera menendang tangan gadis tersebut sampai pistol yang berada di tangannya terjatuh dengan mulus di permukaan pantai.     

Hana meringis, lalu mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa perih. "Apa-apaan, sih?!" serunya dengan kesal. Ia menatap Sean yang memang sudah berubah haluan menjadi berada di pihak mereka, baiklah toh ia bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan siapapun.     

Mendengar nada bicara tanpa rasa bersalah itu tentu saja membuat Sean melangkah kakinya untuk lebih mendekat ke arah Hana. "Sialan, di diamkan semakin menjadi!" ucapnya di sambil berdecih tepat di wajah gadis yang kini ia sudah cekal rahang tirusnya dengan sangat kencang, tidak peduli hal itu akan menyakiti Hana.     

Dengan tatapan mata yang sangat marah seperti siap menghabisi Hana, ia menyempatkan waktu untuk melirik sekilas ke arah Erica. Gadis yang merupakan seseorang terpenting di dalam hidupnya itu jatuh lemas di lantai.     

"Tuhan, nerve repair."     

Hana yang mendengar hal itu pun langsung saja menolehkan wajahnya ke arah D. Krack. Ia membulatkan kedua bola matanya kala di tangan Xena ada alat buatannya yang sangat berarti itu. "Hei, kemba--likan." ucapnya yang tersedak napasnya sendiri. Bagaimana pun juga, cengkraman tangan Sean pada rahangnya saat ini sangatlah kencang mampu membuat dirinya benar-benar meringis.     

"Apalagi yang ingin kamu katakan? sebaiknya jangan bertindak atau aku patahkan tulang leher mu." ucap Sean sambil mencekal Hana lebih kuat lagi, ia sudah menyaksikan jika gadis ini dengan sangat sengaja menembakkan peluru ke arah Erica. Maka dari itu, apapun yang terjadi selanjutnya ia akan tetap menuntut Hana.     

"Patahkan saja, lagi pula aku memang tidak pernah takut dengan tang namanya kematian," ucap Hana dengan nada bicara yang sangat pelan. Ya jelas saja toh dirinya sulit berbicara, jangan kan berbicara, membuka sedikit mulutnya saja di perlukan tenaga ekstra.     

Sean menatap marah ke arah Hana, lalu menghempaskan tubuh itu secara kasar sampai bokongnya menyentuh lantai dengan sangat tidak mulus. "Sebaiknya kamu pergi dari dunia ini, Hana." ucapnya sambil melangkahkan kakinya untuk menuju ke sebuah pistol yang sudah tergeletak di atas lantai, pistol milik Hana yang memang masih mulus karena jarang di pakai.     

Hana meringis, bokongnya benar-benar terasa sangat sakit karena Sean benar-benar menghempaskan tubuhnya dengan kencang. "Hei, setidaknya belajar sopan pada kakak mu sendiri!" ucapnya mengeluarkan kalimat protes. Ia beranjak dari duduknya dan melihat Sean yang sudah mengambil pistol kepunyaannya, sialan bagaimana bisa ia melawan laki-laki itu?     

Dengan cepat, ia beranjak dari jatuhnya dan melangkahkan kaki ke kursi yang tadi ia duduki saat bercakap dengan Xena dan langsung di lempar kursi tersebut ke tubuh Sean selagi laki-laki itu membungkukkan badannya untuk mengambil pistol.     

"SEAN, AWAS!"     

Bersamaan dengan kursi yang melayang ke arah Sean, pekikan dengan nada suara melengking memenuhi setiap sudut ruangan. Itu adalah suara Xena yang entah bagaimana tanpa Hana sadari ternyata gadis itu berada di sana.     

BRAK     

Sayang seribu sayang ternyata kursi yang dirinya lempar meleset, jatuh mulus berguling-guling di lantai sampai berhenti sendiri. Ya, Sean berhasil menghindar. Semua ini karena Xena.     

Karena Hana sudah kesal dengan apa yang Xena perbuat, ya padahal ia pun tidak tahu kenapa bisa sangat membenci gadis ini. Ia langsung saja berlari menuju gadis tersebut selagi Sean memungut kembali pistol yang terjatuh dari tangannya karena tersentak kaget.     

"SEBAIKNYA KAMU SAJA YANG TEWAS, XENA!" teriak Hana sambil mencengkram erat, melingkari leher Xena dengan kedua tangannya. Mencekik gadis yang memang tidak pernah berdosa pada seseorang yang telah menyuruh dirinya melakukan pekerjaan keji ini.     

Napas Xena tersengal-sengal, ia tidak bisa berteriak minta tolong bahkan untuk mengambil oksigen pun tidak sanggup.     

Dengan raut wajah memerah, Xena menepuk-nepuk tangan Hana berharap gadis ini tidak melakukan hal yang sangat menyeramkan seperti ini.     

"Memang seharusnya kamu mati saja, hanya beban! Kalau kamu menyerahkan diri, sudah dapat di pastikan tidak ada korban, dasar gadis tidak tahu di untung!" pekik Hana yang semakin gencar mencekik Xena yang wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.     

Sean yang melihat itu langsung saja mengarahkan pistol di tangannya ke Hana.     

DOR!     

"Awsh," refleks Hana langsung melepaskan tangannya pada leher Xena.     

Tembakan Sean kali ini hanya bisa di luncurkan tepat pada kaki bagian kanan Hana karena nanti kalau di anggota tubuh lainnya takut menembus mengenai Xena juga, bisa-bisa Erica mengamuk pada dirinya selayaknya seekor singa.     

Sedangkan Xena, kini gadis itu sudah jatuh terduduk lemas dengan air mata yang membanjir wajahnya untuk yang kesekian kali. Tadi, kalau Sean tidak menyelamatkan dirinya bisa-bisa kalau telat beberapa detik lagi bisa membuat dirinya menyapa mentari dengan sinar yang sangatlah terang, pertanda jika dirinya akan masuk ke lain dunia dengan yang sekarang.     

Hana pun kembali tersungkur di lantai tak jauh dari Xena, ia menatap Sean dengan sorot mata seperti 'ayo kalau ingin menghabiskan diri ku, silahkan saja', tanpa rasa bersalah sedikitpun. Ya setidaknya, memohon untuk tetap hidup atau apapun, tapi seorang Hana Xavon tidak akan pernah mengibarkan bendera putih pertanda menyerah pada siapapun, camkan!     

"Is this all you can do? What else do you have to kill me? Just do it!" ucapnya yang merasakan perih di kaki mulai menjalar ke sekujur tubuhnya. Sial, ia menunggu waktu yang tepat untuk membalaskan segala perlakuan Sean terhadap dirinya. Tidak ada yang bisa mengalahkan Hana, dan hal itu tentu saja berlaku bagi Sean.     

(*Apakah hanya ini yang bisa kamu lakukan? Apa lagi yang kamu miliki untuk membunuhku? Lakukan saja!)     

Sean menganggukkan kepalanya, ia mengerti dengan apa yang di ucapkan oleh Hana. "Baiklah kalau itu mau mu, aku akan turuti." ucapnya sambil menyunggingkan sebuah senyuman miring yang menyeramkan.     

Sedangkan Hana? Dengan kedua lengan tangan yang bertumpu di lantai, menahan bobot tubuhnya. Tentu saja ia langsung menekan tombol tersembunyi yang berada di telapak tangannya. Iya, ia sedaritadi memakai sarung tangan.     

Pip     

Setelah itu, ia menatap ke arah Sean. Tidak, bukan ke arah wajahnya tapi ke belakang tubuh laki-laki itu yang terdapat sebuah robot kecil penyetruman. Dengan wajah tenang, tentu saja ia bisa menyulut amarah seorang Sean dengan begitu mudahnya. Namun, ia memakai peran drama, memperlihatkan raut wajah kesedihan seperti benar-benar riwayatnya ingin habis.     

Xena sibuk menangis dan menenggelamkan kepalanya di lipatan kaki, jadi tidak melihat apa yang telah di lakukan oleh Hana.     

Sean mengarahkan kembali pistol di genggamannya ke arah Hana. Rasa ingin menghabiskan nyawa gadis itu sangatlah besar, apalagi saat mengetahui dengan gampangnya kakak yang ia tidak anggap kakak itu menembak Erica. Yang tadinya hanya ingin membunuh, menjadi sangat ingin membunuh.     

"Sebaiknya kamu berhitung," ucap Hana memberikan sebuah saran. Ia awalnya hanya iseng saja karena tidak mungkin Sean menyetujui ucapannya yang satu ini.     

"Ah iya, ide yang bagus."     

Namun keberuntungan sekali laki-laki itu menurutinya. Dan ya, ini sebagai sebuah aba-aba saja untuk meluncurkan sengatan listrik yang hanya mampu membuat pingsan dalam beberapa menit saja.     

Bukannya cepat-cepat menembak Hana, justru Sean malah termakan ucapan gadis tersebut untuk menghitung waktunya terlebih dahulu.     

"Satu,     

Dua,     

Ti--"     

Bersamaan dengan itu, sinar dari robot yang entah keluar dari mana langsung saja keluar membuat Sean mengurungkan niatnya untuk menembak Hana. Berganti menjadi memutar tubuhnya, dan ya robot kecil tang masih bisa dilihat jelas oleh mata kepala itu pun ada tepat di belakangnya.     

WUSH     

Dengan cepat Sean menghindari tubuhnya. Bersamaan dengan sinar biru penyengat yang terus menerus menyalurkan listrik ke arahnya tanpa ampun. Tidak kena, di incar lagi dan begitu seterusnya.     

Hana menyunggingkan senyuman, lalu dengan cepat merogoh tas pinggangnya dan mengambil sebuah alat lain yang menjadi rancangannya. Benda yang lagi-lagi kecil bisa membuat dinding pertahanan, tidak bisa di tembus apapun. Ia melempar alat bernama Sturdy Shield itu ke lantai, dan muncul alat penghalang biru supaya dirinya dan Xena tidak terkena pancaran listrik tersebut.     

Selagi Sean sibuk menghindari robot buatannya, ia beranjak dari jatuhnya. Lalu dengan menahan rasa sakit akibat peluru yang menembus kakinya ini, ia berjalan ke arah Xena untuk menyeret gadis itu.     

"SEAN TOLONG AKU!" pekik Xena yang meronta-ronta minta di lepaskan Hana karena cekalan gadis itu memang sangat kuat.     

Sean yang memang sedang tidak bisa mengalihkan pandangannya ke arah lain pun tidak bisa berbuat banyak ia terus menerus menghindari listrik tersebut, untuk mencari celah supaya bisa menembaki rancangan yang sialnya sangatlah berfungsi dengan baik itu.     

Hana dengan langsung tersaruk-saruk pun menuju lift, jalan paling aman satu-satunya yang ada di bangunan tua ini. Karena sang empunya sudah berpindah tempat, tentu saja alat Sturdy Shield itu mengikuti setiap pergerakan Hana. Ia bisa mendeteksi keberadaan sang penciptanya.     

"Jangan berani menyentuh Xena!" tegas Sean sambil menghindar ke kanan sampai berguling-guling di lantai, lalu beranjak kembali dengan gerakan yang sangat gesit. Kedip sebentar saja sudah dapat di pastikan jika nyawanya ikut melayang.     

Hana tidak mendengar ucapan Sean, lalu menekan tombol lift tersebut sampai terbuka. "Sebaiknya kamu urusi saja robot itu sampai selesai." ucapnya sambil masuk ke dalam lift bersama dengan Xena yang masih ia seret. Bahkan tidak peduli gadis itu sudah meronta-ronta hebat dengan jeritan yang memekakkan telinga.     

Ting     

Hana sampai di ruang bawah tanah, lalu dengan cepat kembali keluar dari lift tersebut. Ia menghempaskan tubuh Xena dengan sangat kasar ke sembarang arah lalu mencari benda yang sekiranya bisa ia jadikan alat perusak.     

Menemukan linggis yang berada tidak jauh darinya, ia langsung saja merusak tombol lift supaya tidak dapat berfungsi seperti seharusnya.     

BRAK     

BRAK     

BRAK     

Hana menatap puas dengan apa yang dilakukannya saat ini, membuang linggis ke sembarang arah, lalu memutar tubuhnya sampai kembali menatap seorang Xena yang sudah beranjak dan bersandar takut di dinding dan menatap dirinya dengan sorot ketakutan.     

"Only you and me, gadis cerewet."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.