My Coldest CEO

Seratus delapan puluh satu



Seratus delapan puluh satu

Sial. Adalah pengekspresian kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi saat ini. Iya, Hana sangatlah licik membiarkan dirinya kembali bertarung dengan robot menyebalkan dengan laser yang ditembakkan ke arahnya tanpa aba-aba dan juga jeda sedikitpun.     

Sean tengah kewalahan, dengan berdiri di sudut ruangan dekat lift yang tadi di pakai Hana untuk menyeret tubuh Xena, ia mengarahkan kedua tangannya ke robot tersebut meminta untuk berhenti mengeluarkan laser itu. "Wait, wait, can you stop and talk to me?" ucapnya yang sudah tidak ingin melawan kekerasan dengan menghindari terus menerus.     

(*Tunggu, tunggu, bisakah kamu berhenti dan berbicara denganku?)     

Mendengar Sean yang berbicara seperti itu, tentu saja laser yang sedaritadi menyambar dari kecanggihan teknologi mesin itu pun akhirnya berhenti. Dengan suara khas robot, tentu saja suara-suara mesin yang aktif itu terdengar ke sudut ruangan saat ini. "Yes, Sir. I can speak, and what do you want to say?" suara robot itu menjawab dengan tenang, bahkan sistem mengintai dan penyerangan pun berhenti.     

(*Ya, Tuan. Aku dapat berbicara, dan apa yang ingin kamu katakan?)     

Sean menghembuskan napas lega, entah bagaimana caranya keluar dari situasi seperti ini. Ia langsung saja melirik lift yang berada tak jauh dari tempatnya berpijak, namun melihat tidak ada cahaya dari tombol lift membuat dirinya yakin seratus persen jika Hana sudah merusak tombolnya dari bawah sana. "Can we make peace? I didn't destroy you, and you didn't kill me. How?" tanyanya yang sebenarnya takut jika cahaya laser itu mengenai dirinya. Bukan hanya langsung tewas dalam sekejap, tapi bisa saja membuat tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Membayangkannya saja sangat mengerikan, benar?     

(Bisakah kita berdamai? Aku tidak menghancurkanmu, dan kamu tidak membunuhku. Bagaimana?)     

Mengajukan sebuah perdamaian adalah hal yang paling bodoh, apalagi dilakukan dengan robot. Ayolah, ini memang 40% berhasil 60% nya? entahlah bisa saja menghantarkan sebuah malapetaka yang memuakkan.     

Suara decitan dari mesin-mesin rangkaian robot tersebut sangatlah berisik, mungkin memang sengaja supaya titik fokus Sean teralihkan.     

"What's in it for me? Better, let me know." balas robot tersebut yang terbang di udara. Iya, robot berbentuk bulat dengan sistem penghancur yang sangat gila. Tidak habis pikir darimana otak Hana untuk membuat semua ini. Mengajukan pertanyaan tentang keuntungan yang di dapatkan adalah hal utama saat membuat sebuah kesepakatan. Walaupun robot, ia tentu saja tidak ingin kehilangan banyak kesempatan untuk membunuh laki-laki yang kini memperlihatkan wajah tenang, berbeda dengan sebelumnya yang mengeluarkan amarah.     

(*Apa untungnya bagi ku? Lebih baik, beri tahu aku.)     

Sean menyunggingkan sebuah senyuman yang terlihat miring itu, ya senyum kebanggaan khas dirinya. Ia sudah mempunyai sebuah pertimbangan yang sangat menguntungkan bagi dirinya, dan ya mungkin juga sedikit menguntungkan bagi robot tersebut. Tapi tak apa, asal semua ini cepat selesai pasti dirinya bisa menyelamatkannya Xena yang entah di bawa kemana oleh Hana, sialan sekali memang gadis yang satu itu.     

"You can work with me, take part in my assassination mission and I think it's profitable for you, is that enough?" ucap Sean dengan wajah yang sangat meyakinkan. Iya lah! Memiliki robot seperti ini dan jika membawanya ke dalam misi tentu saja sangat keren dan memudahkan aksi pembunuhannya.     

(*Kamu dapat bekerja dengan ku, ambil bagian dalam misi pembunuhan ku dan aku pikir itu menguntungkan bagi kamu, apakah itu cukup?)     

Cukup lama robot di udara itu melayang tanpa berniat untuk menjawab ucapannya, seperti sedang menimang-nimang penawaran tersebut. Toh selama ini Sean bekerja sendiri untuk dirinya sendiri, tidak ada yang membantu kecuali akhir-akhir ini saat adanya D. Krack, menjalankan misi bersama atas permintaan laki-laki itu.     

"How?" tanya Sean mengulang, ia penasaran dengan keputusan robot tersebut. Bahkan, ia pikir ini sangat membuang-buang waktu.     

(*Bagaimana?)     

"If I choose to work with Hana anyway, what's the problem?" jawab robot tersebut yang sudah berhenti tepat di hadapan Sean. Kalau laser miliknya kembali bekerja, sudah dapat di pastikan laki-laki ini tidak bisa menghindar untuk yang kesekian kalinya. Karena jarak mereka yang cukup dekat menyulitkan Sean untuk bergerak, celah untuk melarikan diri pun sepertinya tidak ada     

(*Jika aku tetap memilih bekerja dengan Hana, apa masalahnya?)     

Sean berdehem kecil, lalu sedikit memundurkan kepalanya. "You know? Hana wants to be killed, and where will you go after that? Better be with me and I will take care of you, how? Have you changed your mind?" ucapnya. Ia pintar sekali mencuci jalan pikiran seseorang, ah iya bahkan robot ini bukan seseorang, tapi yang jelas ia selalu berhasil dengan deretan kalimat membujuk yang sangat meyakinkan.     

(*Kamu tahu? Hana ingin dibunuh, dan kemana kamu akan pergi setelah itu? Lebih baik bersamaku dan aku akan menjagamu, bagaimana caranya? Apakah kamu berubah pikiran?)     

Robot tersebut kembali bergeming. Ada sebuah lampu kecil berwarna merah di samping body robotnya, ia tahu warna merah artinya sistem pembunuh berbahaya. Dan ya, tiba-tiba saja sudah berubah menjadi warna biru. "OK, I agree. And now, what shall I do, Sir?" tanyanya. Mode ramah dan pemegang kendali sudah berada di Sean, jadi robot ini sudah membuang jauh memorinya tentang Hana Xavon. Sekali lagi, Sean tidak pernah kalah kalau bukan mengalah.     

(*Baiklah saya setuju. Dan sekarang, apa yang harus saya lakukan, Tuan?)     

Sean bersorak dalam hati, akhirnya ia bisa mengendalikan Hana yang bodohnya selalu membuat robot yang bisa berbicara, sama seperti dulu saat membuat robot anjing yang berniat untuk hewan peliharaan menjadi robot hewan yang dapat berbicara. Walaupun perancangannya tidak sempurna namun di usia hampir ingin tamat sekolah dasar adalah sebuah pencapaian yang sangat sangat sangat keren.     

"Can you help me get into the lift? What a fool of your goddamn creator." ucap Sean dengan nada sedikit sebal sambil menjauhkan tubuhnya dari lift tersebut takut apa yang akan di lakukan robot tersebut setelah ini akan melukai dirinya. Ya tidak apa sih terluka, tapi kali saja nanti Erica membutuhkan sosoknya.     

(*Bisakah kamu membantu aku masuk ke lift? Betapa bodohnya pencipta sialanmu itu.)     

Robot tersebut hanya diam, lalu menatap ke arah lift tersebut. Dengan sinar laser yang kembali menyala, ia melaser dinding lift tersebut.     

BRAK     

Dinding yang di ukir dengan bentuk kotak itu jatuh mulus ke lantai. Sean setelah itu langsung saja melihat kinerja lift yang benar-benar tidak berfungsi. Dengan tekad yang kuat, ia melihat lift berada di bawah sana kebetulan langsung berhadapan dengan pintu bawah tanah. Bagus, sebentar lagi ia akan memusnahkan gadis itu.     

Dengan keberanian yang sangat tinggi, Sean meraih seperti tali penahan lift dan turun ke bawah sana menggunakan tali tersebut, heroik sekali. Dan tentunya, robot Hana mengikuti dirinya.     

BRAK     

Sean mendarat tepat di atas lift, ia menatap pintu yang tertutup itu, tidak mungkin bisa di buka olehnya hanya dengan tangan kosong.     

"And yeah, I need your help, again." ucapnya sambil menatap ke arah robot yang berada di atasnya itu, ia memundurkan langkahnya.     

(*Dan yeah, aku membutuhkan pertolongan mu, lagi.)     

"That's easy, sir." ucap robot tersebut yang memang menyanggupi apa yang di perintahkan karena dirinya adalah robot yang sudah pasti bisa melakukan segala hal tanpa merasa kesulitan sedikitpun.     

(*Itu mudah, Tuan)     

Robot tersebut langsung saja kembali mengeluarkan sinar lasernya, menghancurkan dinding seperti sebelumnya tadi.     

BRAK!     

"AAAAA JANGAN PUKUL AKU, SANA GAK! ATAU AKU AKAN LEMPAR NIH YA GUCI INI KE WAJAH KAMU!" teriakan yang sangat memekikkan telinga.     

Bersamaan dengan dinding yang terjatuh itu, pemandangan Xena yang sedang mengangkat tinggi-tinggi guci yang berukuran sedang itu dengan di hadapannya Hana yang juga melakukan hal yang serupa namun dengan vas bunga. Tentu saja ukurannya jauh lebih kecil. Berhubung kini Xena yang berada di dekatnya, Sean langsung saja memijakkan kakinya di ruang bawah tanah itu. Menarik tubuh Xena ke sudut ruangan lalu menaruh kembali guci di tangan gadis itu ke lantai.     

"Jangan aneh-aneh, nanti terluka." ucapnya yang seolah-olah mengatakan 'terap di sana' namun dalam konteks yang berbeda.     

Setelah bermata seperti itu, Sean langsung saja mengeluarkan pistol dari balik tubuhnya. Pistol milik Hana yang tadi ia simpan kembali.     

Hana melihat Sean, napasnya naik turun karena sedaritadi Xena sulit sekali untuk di kenai, gadis tersebut benar-benar sangatlah lincah.     

Tanpa ingin berbasa-basi lagi, Sean mengarahkan tangannya pada Hana.     

DOR     

"Fuck you," gumam Hana.     

BRAK     

Tubuh Hana terkulai tidak berdaya di lantai sana, setelah itu Sean menaruh kembali pistol ke belakang tubuhnya sehabis peluru tersebut mengenai tepat di jantung gadis tersebut. Dengan melangkahkan kakinya ke tubuh Hana yang terkulai di lantai, ia mengarahkan pada Xena untuk tetap di sana saja.     

Memeriksa denyut nadi, dan ternyata sudah tidak berdenyut lagi. Syukurlah, sudah berakhir.     

"Xena, apa kamu baik-baik saja?"     

"Kenapa masih bertanya? Sudah tahu aku tidak baik-baik saja!"     

"Baiklah salah ku,"     

"Iya memang, dasar kalian berdua sama saja."     

"Heh?"     

Sean melihat Xena yang sudah berjalan ke arah sebuah pintu lebar tanjakan yang ia yakini adalah pintu keluar. Untung saja sistem keamanan sudah mati, jadi mereka dengan mudahnya bisa keluar tanpa harus repot-repot melakukan peretasan.     

"Sir, is that girl your lover?"     

(*Tuan, apakah gadis itu kekasihmu?)     

Sean menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin mempunyai kekasih layaknya Xena, benar-benar merepotkan. Bilang terimakasih saja tidak, padahal kedua matanya jelas-jelas sangat sembab. Ia tidak mengerti kenapa gadis itu bisa mengalahkan seorang Hana sampai kewalahan. Ah iya, pasti segala tingkah konyolnya.     

"No, follow me." ucapnya yang mulai melangkahkan kaki sambil mengarahkan tangannya ke udara supaya robot tersebut paham jika dirinya memberikan aba-aba untuk segera di ikuti setiap langkahnya. Perjanjian yang membuahkan kesepakatan adalah hal yang harus di tepati, kalau tidak pasti robot tersebut mengamuk.     

(*Tidak, ikuti aku.)     

Sean menghembuskan napasnya. "HEI, GADIS ANEH! SETIDAKNYA TUNGGU LAH AKU!"     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.