My Coldest CEO

Seratus delapan puluh dua



Seratus delapan puluh dua

0"Tuan, mau kemana?"     

"Menyusul kekasih ku, ia pasti masih dalam bahaya."     

"Tunggu, Tuan. Pasti Xena tidak apa-apa, percayalah padaku."     

"Bisa menjamin perkataan mu, iya?"     

Orlin bergeming kala Vrans melemparkan pertanyaan seperti itu pada dirinya. Ia hanya bisa memunculkan kalimat penenang tanpa bisa memberikan bukti, ya memang itu adalah hal tepat yang harus di lakukan, benar?     

Dengan kasar, Vrans mengacak rambutnya. Ia benar-benar ingin menyusul Xena, tidak pernah ingin gadis itu kenapa-napa. Tapi di sisi lain, benar apa yang di katakan oleh Orlin. Lagipula Farrell kini sudah berangkat sejak tadi ke tempat lokasi, kali ini ia memperbolehkan banyak orang turun tangan atas masalah yang menimpa sang kekasih.     

Media massa mulai menanyakan bagaimana kondisi Xena dan apa yang akan di lakukan Vrans.     

Tapi kini, laki-laki itu menjatuhkan diri di atas kursi tunggu yang berada tepat di luar ruang UGD VIP yang di pesan dirinya untuk Allea. Ia tertunduk lesu dengan arah pandang lurus ke kakinya, satu bulir air mata pun akhirnya meluruh.     

Seorang Vrans kehilangan pertahanannya, hanya untuk seseorang yang sangat berarti di dalam hidupnya, Xena Carleta Anderson. Ia mengambil napas panjang untuk menghilangkan segala sesak yang berada di hatinya, lalu menghembuskan secara perlahan. Tidak, hal ini sama sekali tidak berhasil. Malah mengundang bulir mata selanjutnya untuk jatuh menyapa permukaan wajahnya. Sungguh, ia tidak bisa membayangkan kalau kemungkinan kehilangan akan terasa sesakit ini. Iya, dia mengaku kalau sudah terlalu jatuh ke dalam pesona Xena, si gadis pluto.     

Orlin yang melihat sang bos langsung saja duduk di samping laki-laki itu, ia tersenyum kecil. Pasti rasa sayang seorang laki-laki saat sudah menangis gadisnya itu adalah perasaan yang sangat besar. "Tuan, tidak perlu cemas. Kita semua tau kalau Xena itu gadis yang sangat hebat, ya walaupun cengeng sedikit." ucapnya dengan nada yang lembut. Tidak ada lagi sifat menyebalkan, ataupun tingkah konyol yang mampu membuat siapapun rasanya ingin berbalik haluan supaya tidak akan pernah bertemu dengan dirinya.     

Isak tangis Vrans memang sama sekali tidak terdengar, tapi jika diliat lebih seksama, bahu laki-laki itu tampak bergetar. Ia sama sekali tidak menjawab apapun yang di katakan oleh Orlin. Baginya, deretan kalimat penenang dari gadis itu hanyalah omong kosong.     

"Bagaimana dengan Allea?"     

Tidak, itu bukan suara Orlin yang bertanya mengenai keadaan Allea. Indra pendengaran Vrans mendengar sebuah nada bariton khas laki-laki, ia mendongakkan kepalanya, dan mendapati D. Krack yang sedang berdiri tepat di hadapan Orlin.     

"Tentu membaik, ku harap." balas Orlin dengan sebuah senyuman yang tidak tahu ingin menggambarkan ekspresi seperti apa. Ia pun bingung dengan kondisi Allea, sejak gadis itu mendapati waktu operasi sekitar lima menit lagi, membuat dirinya tidak bisa menerka apakah gadis itu baik-baik saja.     

Iya, lima menit lagi. Semua itu atas perintah Allea, ia tidak ingin di operasi jika belum mendapatkan kabar Xena yang baik-baik saja. Dan ya, melihat kondisi gadis ini, tentu saja dokter hanya memberikan waktu kurang lebih sepuluh menit saja untuk menunggu kabar dari seorang gadis yang dimaksud itu dan membiarkan Allea beristirahat sebentar di ruangannya. Iya, gadis keras kepala.     

"Dimana Xena?" tanya Vrans to the point. Karena setahunya, D. Krack pergi menyelamatkan Xena-nya bersama dengan Sean dan juga Erica. Namun kenapa laki-laki itu ada di sini?     

D. Krack yang baru saja ingin menjawab ucapan Orlin mengenai keadaan Allea yang tidak pasti itu pun langsung saja mengalihkan pandangannya pada Vrans. "Aku ke sini karena sebelumnya menghubungi Orlin tentang keberadaan kalian, dan ternyata Allea menjadi korban." ucapnya.     

Orlin yang memang hanya memberitahukan lokasi pun juga menaikkan sebelah alisnya, tadi ia ingin bertanya lebih tapi D. Krack telah mematikan sambungan telepon secara sepihak. "Tunggu, dimana Sean? Dan sabahat ku, Erica juga Xena, dimana dia?" tanyanya setelah menyadari beberapa saat tidal ada yang menyusul setelah kedatangan laki-laki tersebut.     

D. Krack menghembuskan napasnya, entah ini adalah hal berat yang sangat membingungkan harus di ceritakan dari sudut pandang mana. "Sean masih berada di sana bersama Hana dan juga Xena, sedangkan Erica..." ucapnya memberikan penjelasan, namun menggantung pada akhirannya.     

Vrans beranjak dari duduknya, lalu dengan mata memerah karena suasana hatinya sedang kalut, langsung saja meraih kerah baju D. Krack dan mendorong laki-laki itu sampai menyentuh dinding di belakangnya. "Apa kamu bilang? Bisa-bisanya meninggalkan Xena di sana, dan kamu enak-enaknya berada di sini?" tanyanya sambil mendengus panas. Sungguh, ia rasanya tidak akan memaafkan siapapun kalau terjadi sesuatu pada kekasihnya.     

D. Krack yang paham dengan situasi saat ini hanya melepaskan cekalan Vrans pada kerah bajunya dengan santai, ia sama sekali tidak memasukkan hati dengan perlakuan laki-laki itu pada dirinya. "Santai, Tuan. Aku yakin Sean bisa mengambil alih suasana dan menyelamatkan gadis lugu itu." ucapnya yang masih sempat mengulas sebuah senyuman penuh keyakinan.     

Vrans yang mendengar hal itu hanya mampu mengacak kasar rambutnya kembali, iya berjalan menjauh dari D. Krack, lalu memukul tembok lain untuk menyalurkan emosinya. "Sialan,"     

Orlin menaikkan sebelah alisnya kala mendengar ucapan D. Krack yang menggantung saat berbicara tentang Erica. "Dan ya, apa kalimat mu selanjutnya? Erica? Kenapa dengan Erica?" tanyanya sambil beranjak dari duduk. Ia kini yang bergantian dengan Vrans, melangkahkan kaki ke arah D. Krack yang kini sibuk merapihkan bajunya yang lecek akibat ulah si penyandang gelar marga Luis itu.     

D. Krack menatap ke arah Orlin, lalu membuat senyuman simpul di permukaan wajahnya. "Tadi aku menghubungi dirimu untuk memberitahu kabar Erica, dan kebetulan kalian sedang di rumah sakit, aku langsung menghampiri kalian karena Erica butuh perawatan khusus." ucapnya. Walaupun nada bicara tenang keluar dari mulutnya saat ini, tapi tak ayal perasaan cemas karena bisa saja Sean mengamuk lagi karena hal ini.     

Orlin membulatkan kedua bola matanya, ingin teriak pun ia sadar jika saat ini sedang berada di rumah sakit. "Ada apa dengan Erica, kenapa tidak berkata sedari tadi?!" serunya dengan kesal. Kini, kedua mola matanya kembali mendung. Ia, pertanda jika sebentar lagi bulir air mata yang bening itu menyapa permukaan wajahnya.     

D. Krack menghembuskan napasnya, "Erica berpesan pada ku supaya siapapun yang mengetahui kondisinya tidak di landa kepanikan." ucapnya yang memberitahu pesan singkat sebelum Erica sepenuhnya masuk ke dalam ruang operasi. Bahkan gadis itu dengan sangat tenangnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, masih dingin dan tetap seperti tidak akan tersentuh walau terkadang meringis sakit karena lukanya.     

"Bagaimana aku tidak panik?!" ucap Orlin dengan nada penuh tekanan. Jika berteriak kesal tidal bisa, maka dirinya akan berbicara dengan nada suara yang di tekankan setiap kalimatnya.     

D. Krack berusaha sabar menghadapi berbagai macam gadis yang berada di muka bumi ini. Satu yang tidak terlalu merepotkan, ia adalah Erica. "Dan jangan terbawa suasana, Erica sedang menjalankan operasi." sambungnya yang ternyata belum menyampaikan pesan terakhir Erica. Sungguh, gadis itu pasti sudah tahu jika para sahabatnya akan heboh karena kondisi ini.     

"Maksud mu? Apa terluka parah?" tanya Orlin dengan raut wajah yang seperti, entahlah... campur aduk sampai D. Krack tidak bisa memastikan ekspresi apa yang terdapat di permukaan wajah gadis tersebut.     

D. Krack yang tidak tega dengan raut wajah Orlin ini pun langsung saja mengusap permukaan wajahnya dengan lembut. "Iya, peluru pistol tepat mengenai dadanya." ucapnya menjawab pertanyaan gadis itu dengan anggukan di kepalanya. Ingin berbohong pun untuk apa? Lebih baik mendengar sebuah pernyataan pahit dan langsung menerima konsekuensinya daripada di tahan yang akan berkali-kali lipat rasa sakitnya kalau tahu dari orang lain.     

Orlin menggelengkan kepala, di dalam lubuk hatinya ia berpikir kenapa Erica tidak...     

"Bagaimana mungkin sahabat ku masih hidup?" tanyanya dengan keheranan. Ia tidak menyangka saja jika seseorang sudah terkena tembakan apalagi di area paling rentan seperti itu, apa iya tidak menimbulkan ketewasan?     

"Kau ingin aku berdongeng pada detik ini juga, heh?" tanya D. Krack yang memang enggan menjelaskan dari awal sampai akhir secara perinci. Lagipula, ia tidak ahli dalam bercerita. Jadi, nanti saja saat Erica sadar, biar gadis itu yang menjelaskan pada mereka semua.     

Orlin memukul dada bidang D. Krack, ia sebal karena laki-laki itu selalu saja berbicara tidak perinci. "Menyebalkan!" serunya.     

Sedangkan Vrans, laki-laki itu sudah kembali terduduk diam. Pandangan matanya benar-benar lurus seolah-olah sedang menatap kehidupan selanjutnya, dengan atau tanpa Xena.     

'Perkenalkan nama aku Xena Carleta Anderson. Di panggil sayang juga boleh.'     

'Kamu tampan, aku seperti bertemu dengan sosok malaikat.'     

'Sayang, kamu jangan marah-marah terus dong, aku kan jadi makin sayang.'     

'Aku semakin menyayangimu, Vrans.'     

Mengingat segala perkataan gadis tersebut saat awal bertemu dengan dirinya, memang sangat aneh sekali, pantas saja dari dulu hingga sekarang --walaupun sudah jarang-- ia gemar memanggil Xena dengan sebutan gadis pluto. Ia menundukkan kepalanya kembali dengan sangat lesu.     

"Tuan,"     

Vrans bergeming saat Orlin memanggil dirinya, ia dengar namun enggan mengangkat kepalanya untuk bertemu pandang dengan gadis tersebut.     

"Tuan."     

Tidak berkeinginan untuk membalas panggilan itu.     

"Sayang, kamu kenapa?"     

Tunggu, tunggu. Kenapa suara selanjutnya sama seperti suara Xena sang kekasih? Ia mengacak rambutnya dengan frustasi, pasti suara di kepalanya sudah masuk ke dalam realita.     

"Oh jadi kamu gak mau nengok, yaudah nanti aku minta sepuluh taco!"     

Dengan kedua bola mata yang membelalak lebar, tentu saja dirinya langsung menegakkan tubuh sambil mengarahkan suaranya ke sumber suara.     

Dan ya, tepat berada di samping tubuhnya ada Xena...     

Dengan tatapan tidak percaya, namun sedikit percaya karena penampilan gadis tersebut yang acak-acakan, ia langsung saja menghambur memeluk tubuh Xena. Dengan erat, sangat erat, tidak ingin kehilangan. Air mata tersebut kembali hadir, anggap saja menjijikkan, tapi ia sangat tulus mencintai gadis aneh ini.     

"Bosayang, kenapa? Jangan nangis lagi, aku gak kenapa-napa, Sean menyelamatkan ku."     

"Jangan pergi, jangan."     

"Tenang, Tuan Tampan. Aku akan selalu terlindungi berkat dirimu dan segala perjuangan mu."     

"Berjanjilah,"     

"Aku berjanji untuk rasa sayang aku pada diri mu, maaf telah membuat kamu cemas."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.