My Coldest CEO

Seratus delapan puluh empat



Seratus delapan puluh empat

0PART FARRELL DICTA     

Mengumpulkan segala barang yang bersangkutan, melakukan pembersihan di lokasi, berakhir membawa jasad Hana ke rumah sakit terlebih dahulu. Dan kini, pekerjaan Farrell dan Dicta sudah selesai, bahkan mereka juga sudah menghubungi Niel untuk bagian perkejaan mereka.     

Di bayar dengan nominal tinggi apalagi Vrans ikut membayar mereka, tentu saja setimpal dengan semua ini.     

"Bagaimana, mau berkencan dengan ku?" tanya Farrell sambil menatap Dicta yang kini sedang membuka masker yang menutupi setengah wajahnya, dan langsung di letakkan pada atas dashboard mobil milik dirinya.     

Dicta menolehkan kepala, menatap ke arah laki-laki di sampingnya yang menduduki kursi pengemudi. "Memangnya pekerjaan kita sudah selesai?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya. Bekerja dari siang hari sampai kini matahari sudah terbenam berganti menjadi suasana menjelang malam hari yang sangat menenangkan suasana.     

Farrell menganggukkan kepalanya, lalu terkekeh kecil. Kalau belum selesai, untuk apa dirinya menawarkan makan malam yang tentu saja sangat di nanti-nantikan oleh para gadis di luar sana? Tapi tidak dengan Dicta, gadis itu biasa saja menanggapi ajakannya. Sungguh, menggemaskan sekali, ah tapi ia tidak berniat untuk memiliki kekasih apalagi yang satu profesi dengan dirinya. Sudah satu profesi, bekerja bersama-sama pula.     

"Tentu saja sudah selesai, Dicta. Kalau belum, ya aku malas juga mengajak mu." ucapnya sambil menaruh sarung tangan yang melekat di kedua tangannya tadi, di masukkan ke dalam dashboard. "Mana sarung tangan mu?" sambungnya sambil menengadahkan tangannya.     

Dicta menggelengkan kepala, ia menolak. "Tidak, Tuan. Biar aku saja yang menyimpannya, nanti di buang ke kantung sampah di rumah ku." ucapnya sambil tersenyum kecil.     

"Yasudah,"     

Setelah keduanya sudah berhasil memasang seatbelt menyamping ke masing-masing tubuh mereka, tentu saja Farrell langsung menaruh kedua tangannya di kemudi stir.     

Memang peraturannya seperti itu, sarung tangan transparan yang di pakai hanya sekali saat sedang melakukan misi, setelah itu harus di buang --jangan sembarang tempat--. Kata Farrell sih supaya jejak tangan tidak tertinggal saat melepas benda tersebut lalu keesokan harinya di pakai kembali. Kan sama saja nanti terdeteksi sidik jarinya.     

"Aku antar ke rumah mu, dan aku juga meminjam kamar mandi mu untuk membersihkan tubuh dan berganti baju di sana. Apa tidak masalah? Daripada nanti aku kembali ke mansion dan memakan waktu lebih lama lagi." ucap Farrell yang menjelaskan secara sangat-sangat perinci mengenai apa yang berada di otaknya saat ini.     

Dicta yang mendengar hal itu hanya menganggukkan kepalanya, lagipula Farrell ada benarnya juga jika laki-laki itu pulang terlebih dahulu pasti akan memakan waktu. "Tentu saja, Tuan. Nanti ku tunjukkan kamar kamu ku, di dalamnya sudah ada kamar mandi." ucapnya menyetujui apa yang diucapkan oleh Farrell.     

Ya seperti mengambil berlian yang di suguhkan pada seseorang pendekar, Dicta tidak akan menyia-nyiakan hal itu, sama seperti sekarang. Ia lapar dan kebetulan Farrell mengajak dirinya untuk makan malam, ya daripada di tolak lebih baik menerimanya, iya kan?     

"Kalau begitu, nanti siapkan air hangat untuk ku." ucap Farrell sambil menganggukkan kepalanya, pandangan matanya menatap lurus ke arah jalan raya, bergabung bersama para mobil lainnya yang sedang melewati jalan serupa dengan dirinya.     

Mendengar nada perintah seperti itu yang terdengar konyol, tentu saja langsung membuat Dicta menaikkan sebelah alisnya. "Loh? Kenapa aku, Tuan?" tanyanya dengan nada suara yang benar-benar terdengar sangat lugu.     

Farrell mengangguk, lalu menatap ke arah jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Tepat pukul jam setengah enam sore, dan kemungkinan makan malam ideal sekitar jam delapan malam. Berarti, mereka memiliki waktu dua setengah jam untuk bersiap atau sekedar melakukan hal yang ingin di lakukan. "Karena tamu adalah raja, dan kamu adalah sang pemilik rumah." ucapnya dengan sebuah senyuman miring. Toh apa yang ia ucapkan ini benar adanya kan?     

"Dengan maid saja, kenapa harus aku?" balas Dicta yang tidak ingin mengganggu waktu Farrell, lagipula dirinya juga membutuhkan waktu istirahat tapi malah laki-laki yang memiliki jabatan di atasnya itu seolah-olah tidak membiarkan ia jauh dari dirinya. Entahlah, hal ini membuatnya berpikir dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi.     

Farrell melirik ke arah Dicta yang ternyata sedang menatap dirinya dengan sorot mata lekat serta kebingungan. "Nanti kalau mereka mengintip, aku tidak sudi." ucapnya sambil mengembalikan titik fokus ke arah jalanan. Mengobrol saat berkendara boleh saja, tapi harus memperhatikan sekitar juga.     

"Dan kamu malah membiarkan aku mengintip diri mu, Tuan?" tanya Dicta dengan sangat lugunya, ia benar-benar tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh Farrell yang secara tersirat itu berkata lain jika dirinya boleh mengintip laki-laki itu. Ah ia terlalu tidak mengerti dengan bahasa para lelaki.     

"Oh ternyata kamu memiliki pemikiran seperti itu?" tanya Farrell dengan senyuman jahil, ia bahkan sempat mengalihkan pandangannya pada Dicta dengan kedua manik mata yang berkilat.     

Blush     

Sungguh, gadis macam apa yang tidak malu saat ternyata topik pembicaraan saat ini membawa dirinya ke jurang kesalahpahaman? Ia tidak berniat ingin melakukan hal itu, sungguh. Ia hanya mengatakan pesan tersirat yang Farrell katakan pada dirinya barusan.     

"Eh? Tentu saja tidak! Untuk apa aku melakukan hal itu, sangat tidak penting sekali." ucapnya dengan nada tercekat, antara gugup dan malu bercampur menjadi satu bagian yang kuat.     

Farrell terkekeh kecil, terdengar ringan namun sangat mampu membuat Dicta tersenyum malu. "Kalau iya juga tidak masalah," ucapnya.     

"Dasar Agen mesum!" seru Dicta yang langsung saja mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Sebenarnya ia tahu kalau Farrell hanya bercanda, ya namun memang ke konteks dewasa. Jadi ia pun menanggapinya juga tidak serius. Lagipula kenapa harus terbawa suasana jika seseorang bercanda mengenai hal seksual. Kecuali kalau sudah mencela sampai melakukan hal yang tak wajar, itu baru sangat tercela.     

"Iya maaf," ucap Farrel seadanya saja. Kalau dia ingin melakukan hal yang tidak menyenangkan juga sudah ia lakukan sejak awal kedatangan Dicta di dalam hidupnya. Tapi ini kan tidak, bukan karena birahinya yang tidak bermain, ya tapi karena dia adalah laki-laki yang tidak ingin merusak kalau belum berani berumah tangga.     

Iya, seorang Agen FBI ini belum bisa berumah tangga. Selain pekerjaannya yang menyita banyak waktu sehingga tidak memiliki peluang banyak untuk mengurusi seorang gadis, ia tentu saja belum siap di panggil Daddy oleh darah dagingnya. Lagipula, pekerjaan masih menjadi segala-galanya. Baru deh nanti saat dirinya bosan, akan di persiapkan kembali pemikiran yang matang.     

Selama perjalanan, mereka diam saja. Farrell yang memang enggan untuk membangkitkan suasana, dan Dicta yang masih tidak habis pikir seperti sedang disudutkan dengan kondisi yang entahlah sangat vulgar. Bisa-bisanya laki-laki itu membuat ia menjadi berpikir seperti layaknya tadi! Huh, sungguh ia jadi malu pada dirinya sendiri!     

Mobil Farrell mulai memasuki pekarangan rumah Dicta. Halaman yang cukup luas dengan perawatan tanaman pun sangat lah subur. Tanpa harus berlama-lama menunggu sang keamanan rumah yang biasa di sebut security, gerbang tersebut sudah terbuka dengan seorang laki-laki yang hampir menginjak usia paruh baya sedang menyunggingkan sebuah senyuman.     

"Tuan, berhenti dulu." perintah Dicta pada Farrell karena laki-laki itu lah yang memegang kendali mobil. Tanpa perlu bertanya 'kenapa?' pada gadis yang berada di sampingnya ini, tentu saja ia langsung menghentikan laju mobil tepat di samping tubuh laki-laki yang bekerja untuk Dicta.     

Sedangkan gadis itu? Ia sudah melepas seatbelt dari tubuhnya, lalu membuka pintu mobil tanpa pamit sedikitpun pada Farrell. Ia melangkahkan kakinya menuju ke arah laki-laki berseragam yang di berikan olehnya.     

"Pak, maaf aku pulang malam terus. Makasih ya udah jagain rumah aku, ini uang tambahannya untuk cari makan. Tinggal dulu gak masalah, tapi jangan lama-lama." ucapnya sambil memberikan uang pada security tersebut sebanyak $50, astaga.     

"Gak perlu, Nona. Kalau setiap hari Nona memberikan aku uang makan sebanyak ini, bisa-bisa nanti uang Nona habis." ucapnya.     

"Aku tidak menerima penolakan, Pak. Ambil ya, atau nanti ku pecat." balas Dicta.     

Ancaman yang konyol. Masa hanya karena tidak menerima uang makan bisa di pecat. Tapi ya, hal itu berhasil membuat sang security merasa cemas. Kalau sampai di pecat, mencari pekerjaan yang sesuai dengan umurnya di kota New York sangatlah sulit.     

"Ah terimakasih banyak Nona, jangan pecat diri ku."     

"Tidak akan, nanti aku mau keluar lagi. Dan aku harap di saat itu kamu sudah kembali membeli sesuatu."     

Dengan sangat ramah, Dicta menampilkan sebuah senyuman hangat. Ia langsung sama menganggukkan kepalanya kala security tersebut lagi-lagi mengucapkan terimakasih kepadanya, melangkahkan kaki ke arah mobil Farrell lalu duduk tepat di samping tubuh laki-laki tersebut.     

"Hai, maaf lama." ucapnya, ia tidak menggunakan kembali seatbelt ke tubuhnya, toh sudah dekat.     

Farrell menganggukkan kepalanya, ya hal yang wajar sih Dicta melakukan hal itu. Sudah kali ke lima menginjakkan kakinya di kediaman Dicta.     

Menjalankan kembali mobilnya, lalu menghentikannya tepat di depan halaman rumah Dicta yang mengarah langsung ke pintu utama.     

Dengan sangat tidak romantisnya, Farrell keluar terlebih dahulu dari mobil tanpa membukakan pintu untuk Dicta, ya lagipula gadis ini juga tidak berharap sama sekali kok.     

Mereka mulai melangkahkan kakinya bersama kedalam rumah, dan tersuguh desain rumah dengan interior klasik namun modern.     

"Kamu ke kamar tamu, ada di seberang kamar ku. Jadi, ikuti aku ya, Tuan." ucapnya sambil melangkahkan kakinya lebih dulu daripada Farrell, ia yang menuntun jalan.     

Setibanya mereka di lantai dua, tentu saja sudah berdiri di masing-masing pintu berbeda namun bersebrangan.     

"Jangan lupa siapkan air hangat untuk ku."     

"Ah iya, aku baru tahu kalau Agen FBI itu manja."     

"Tamu adalah--"     

"Raja, kamu sudah mengatakannya tadi." ucap Dicta memotong ucapan Farrell. Ia memutar knop pintu kamar tamu, dan masuk ke dalam sana.     

Melihat Dicta yang sudah melangkahkan kaki ke dalam kamar untuknya yang di maksud oleh gados itu beberapa menit yang lalu, tentu saja membiat dirinya menyunggingkan sebuah senyuman yang seperti penuh kemenangan. "Mau bagaimana pun juga kamu tetap saja menuruti kemauan ku, gadis lugu." gumamnya sambil terkekeh ringan.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.