My Coldest CEO

Seratus delapan puluh lima



Seratus delapan puluh lima

0Setelah selesai operasi dan Erica sudah siuman...     

Sean yang sedaritadi bolak-balik tidak jelas karena menunggu kesadaran gadisnya, kini sudah duduk di samping brankar yang di tempati Erica. Tirai yang mengelilingi brankar tersebut sudah sepenuhnya mengelilingi mereka, dengan egois ia mengatakan pada semua orang kalau dirinya harus terlebih dahulu tahu kalau gadis ini siuman.     

Dan ya, dengan tangan yang sudah menggenggam erat tangan lentik lainnya, Sean sibuk mengecup punggung tangan tersebut. Tidak, tidak ada air mata sama sekali, tapi kini kedua matanya memerah. Seperti ingin menangis, namun di tahan. Tidak, ia tidak mau seperti ini, masa menangis di depan Erica? Bisa-bisa ia di tertawakan habis-habisan.     

"Kenapa kamu?" tanya Erica masih dengan tatapannya yang lemah. Tidak bisa berbicara terlalu keras karena luka di tubuhnya masih terasa walaupun obat bius sudah di berikan padanya.     

Sean yang mendapatkan pertanyaan seperti itu hanya menggelengkan kepala, lalu memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut perih. "Tidak kenapa-napa," jawabnya sambil menghembuskan sebuah napas yang kasar.     

"Jangan bilang mengkhawatirkan ku, iya kan?" tanya Erica, tatapannya memang lemah namun raut wajahnya terlihat sangat datar. Masih seperti Erica yang sebelumnya, bahkan rasa sakit pun ia tidak ekspresikan, apalagi ekspresi yang lain?     

Mendengar ucapan Erica yang terdengar... tentu saja Sean gengsi mengakui hal itu! Hei laki-laki yang memiliki ikatan perjanjian dengan seorang gadis seperti Erica bukanlah suatu hal yang mudah. Kalah berarti dirinya bisa tertembak mati, ah tidak masalah si kalau yang menembak adalah gadis tersebut. "Tidak, aku tidak mengkhawatirkan dirimu, jangan terlalu percaya diri. Bilang saja ingin cemaskan laki-laki tampan seperti diri ku, iya kan?" ucapnya yang justru dialah yang memiliki tingkat kepercayaan diri sangat tinggi. Memang menyebalkan sekali.     

Erica masih menatap Sean dengan datar, namun kini kedua matanya berputar, jengah. "Gak jelas, mau khawatir atau tidak juga bukan urusan ku." ucapnya sambil menarik tangannya yang di genggam erat oleh laki-laki yang menurut pengakuan D. Krack sedaritadi berada di sini menunggu dirinya. Lihat, bahkan Sean tengah meninggikan egonya tanpa melihat kenyataan. Memang laki-laki tangguh yang sangat keras kepala, menjengkelkan, seenaknya, dan juga ego tinggi serta yang paling utama MENYEBALKAN.     

Sean menghembuskan napasnya, perlahan namun merasa lega karena gadis yang sedaritadi di tunggu kehadiran ternyata sudah sadar. "Maaf aku tidak menjaga mu dengan benar," ucapnya sambil meraih kembali tangan kanan Erica lalu dielusnya dengan sangat lembut dan perlahan.     

Membawa tangan tersebut ke bibirnya untuk di kecup, tapi tidak di lepas dalam jangka waktu yang lama. Apalagi kedua mata Sean terpejam dengan sempurna. Tentu saja hal itu menjadikan dirinya terlihat benar-benar mengkhawatirkan keselamatan gadisnya. Jika tidak selamat... ia yakin tidak ada gadis lain yang mampu mendekati dirinya tanpa takut bahkan berani menentang.     

Erica tersentuh, sangat tersentuh. Dari Xena yang tadi ingin heboh memeluk dirinya dan berakhir di tegur Sean karena takut jaitan operasinya terbuka, dan juga yang lainnya juga memiliki rasa cemas tersebut. Sangat-sangat mengharukan bagi dirinya. Hei, ia memang selalu bersikap cuek terhadap sekitar, tapi untuk kali ini tidak. Perkataan maaf yang terdengar sangat tulus keluar dari mulut Sean si laki-laki yang bernotabene sangat angkuh untuk mengatakan hal yang sebenarnya, membuat ia tersenyum kecil.     

"Hei, aku tidak apa. Kenapa harus meminta maaf, jangan seperti ini." ucap Erica yang merasakan punggung tangannya terasa hangat karena hembusan napas yang keluar dari indra penciuman Sean, apalagi melihat laki-laki memejamkan mata menambahkan atmosfer hangat di sekelilingnya.     

Sean belum membuka kedua matanya, namun semakin menghirup dalan aroma tangan Erica yang sebenarnya tidak berbau apapun, ya hanya aroma ciri khas gadis tersebut yang melekat.     

"Sean, aku di sini..." Kali ini, dengan nada bicara lembut Erica mengulas sebuah senyuman hangat. Untuk pertama kalinya ia menampik ekspresi seperti ini pada seorang laki-laki, bagaimana pun dirinya masih normal! Di perlakukan seperti ini --bukan rayuan klasik dan murahan-- tentu saja dari dasar sampai lubuk hatinya merasa sangatlah berbunga-bunga.     

Dengan perlahan tapi pasti, Sean membuka kedua matanya bersama dengan satu bulir air mata yang menetes. Entah kenapa ia menjadi selemah ini karena tidak ingin kehilangan sosok Erica. Ayolah laki-laki mana yang tidak cemas saat gadisnya tertembak tepat di bagian dada yang artiannya itu adalah area sensitif, mampu membuat tewas dalam sekali kedip saja.     

"Kamu pikir apa? Aku cemas, ia aku benar-benar cemas, dan ya laki-laki pembunuh bayaran ini menangisi seorang Erica si sekretaris dingin." ucapnya dengan mengarahkan tangan Erica ke pipi kanannya, dan tentunya saja dang empunya langsung mengusap lembut pipi yang sangat mulus itu.     

Erica tercengang karena baru kali ini melihat Sean menangis, apalagi tahu laki-laki tersebut menangis karena dirinya. Apa jangan-jangan...     

"Aku kalah, dan kamu boleh membunuh ku seperti perjanjian yang kamu ucapkan." sambung Sean sebelum Erica berhasil mengeluarkan deretan kalimat dari dalam mulutnya. Ia menatap gadis itu dengan sangat sangat lekat, seolah-olah memberitahu jika dirinya benar-benar serius.     

Entah harus merasa bahagia karena dirinya menang dan bisa menghabiskan nyawa assassin yang sangat memuakkan itu, atau harus merasa sedih karena akan kehilangan satu-satunya sosok laki-laki yang berada di hidupnya. Tidak, ia tidak ingin siapapun yang sudah menjadi zona nyamannya pergi begitu saja walaupun dari awal dirinya lah yang meminta.     

"Tidak," tolak Erica. Ia menggerakkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Sean, satu hal baru yang ia tunjukkan pada laki-laki itu. Untuk pertama kalinya, ia bersikap lembut pada Sean, padahal selama ini rasanya ia selalu saja ingin menembaki kepala laki-laki itu sampai merasakan penyesalan yang mendalam, dah oh anggap saja sebagai ganjaran karena sudah membunuh banyak orang.     

Sean terpaku, cukup terpaku. Sentuhan jemari lentik yang sangat lembut itu membuat dirinya seperti tersihir pada lubang hitam yang hanya berisikan seorang Erica. "Eh?"     

Melihat ekspresi konyol Sean, tentu saja Erica langsung terkekeh dan menarik tangannya supaya berbaring di samping tubuhnya, pegal. "Dasar laki-laki konyol, memang aku tidak bisa romantis." ucapnya sambil menyesali apa yang ia perbuat tadi. Memutuskan kontak mata dengan Sean, lalu menatap langit-langit ruangan ini. Putih bersih adalah warna yang identik dengan rumah sakit dan ruangan yang sudah pasti berbau menyengat dari berbagai macam obat-obatan.     

Sean menggelengkan kepala, mengembalikan kesadaran yang sempat tertarik jauh sampai ke puncak halusinasi seperti jagat raya yang berada di otaknya. "Sepertinya kamu sakit, apa perlu di panggilkan doker?" tanyanya dengan cemas. Ya karena ia merasa aneh saja, dekat sudah cukup lama tapi berperilaku lembut hanya sekarang, bertepatan dengan tragedi tertembak yang berakhir di rumah sakit.     

Xena baik-baik saja karena di perjuangkan layaknya permata, tapi para penyelamat terluka.     

Erica masih menatap ke atas, tak di sangka ternyata warna putih sangat mendamaikan hati.     

"Tidak, aku bilang, aku baik. Sudah berapa kali, apa kamu tuli atau sejenisnya?" jawab Erica dengan jengkel. Sekali-kali menjadi gadis yang lembut salah, tapi jika terus menerus menjadi gadis dingin tak tersentuh tentu saja nanti salah karena laki-laki itu selalu tidak ingin di cuekin. Serba salah!     

Sean memajukan wajahnya ke wajah Erica, menatap lekat kedua manik mata gadis tersebut seolah-olah mencari kebenaran. Ya ia tidak percaya lah, masa iya gadis tersebut tiba-tiba saja bertindak seperti itu. "Kalau begitu, apa mungkin kamu kesambet sesuatu?" tanyanya dengan mengerjapkan matanya dengan sangat lugu.     

Pikiran seperti apa itu, Erica?     

"Jangan berbicara yang aneh-aneh, oh ya dan aku menyesal berperilaku seperti itu pada dirimu." ucap Erica sambil memutar kedua matanya, ia sudah menolehkan kepalanya kembali menatap laki-laki yang duduk tepat di samping brankar rumah sakitnya ini.     

Sean mengusap wajahnya, menghilangkan perasaan cemas yang sedaritadi hinggap di tubuhnya. "Menyesal atau malu?" tanyanya sambil menaik turunkan kedua alisnya, berniat menggoda Erica karena sejujurnya kedua pipi gadis tersebut benar-benar memerah.     

Hilang, hilang sudah sosok Sean yang tadinya bertingkah seperti laki-laki yang rapuh. Kini telah menjelma lagi seperti laki-laki konyol yang jahil.     

"Terserah apa kata mu," jawab Erica dengan nada bosan seperti tidak akan termakan ucapan Sean. Padahal mah apa yang dikatakan laki-laki tersebut sangat benar adanya.     

Sean terkekeh kecil mendengar apa yang di ucapkan oleh gadis yang tengah terbaring lemas di atas brankar itu. "Jangan selalu meninggikan ego, Erica." ucapnya.     

"Bahkan kamu tidak pernah mengaca, miris sekali." balas Erica, ia memang selalu bisa membalikkan perkataan Sean tanpa rasa ragu sedikitpun.     

"Tidak masalah, daripada kamu yang tersipu malu karena sudah bersikap manis pada ku tapi menariknya kembali." ucapnya sambil terkekeh kecil mengingat jemari lentik yang mengelus puncak kepalanya tadi. Astaga, dirinya meleleh.     

"Jangan membahas itu atau--"     

"Atau aku akan mencium mu." ucap Sean yang memotong ucapan Erica, bahkan gadis itu belum selesai menyampaikan kalimat ancaman kepada dirinya. Menggelikan memang karena gadis ini selalu bersembunyi di sifat dinginnya.     

Pada detik selanjutnya, bibir Sean sudah menyatu sempurna dengan bibir tipis Erica yang selalu berwarna merah mudah segar tanpa perona bibir sedikitpun. Melumat dengan lembut bibir tersebut, menyalurkan rasa rindu yang mendalam. Iya, rindu. Katakan saja terlalu termakan cinta, namun ini adalah sebuah kenyataan yang tidak akan pernah terdeteksi.     

Seolah-olah suasana dinginnya AC yang mendukung lumatan bibir mereka, Sean menahan tengkuk Erica saat gadis itu berusaha melepaskan pangutan mereka. Tidak, ia masih belum puas menyalurkan perasaan kepada Erica. Ia kalah, dan dirinya mengaku.     

"Arghh, S-sean.."     

Lenguhan tersebut keluar dari dalam mulut Erica, refleks karena laki-laki tersebut menggigit bibir bawahnya. Ya sontak saja membuat dia mengeluarkan suara yang mungkin terdengar ambigu di telinga orang lain.     

"Jangan bermain di balik tirai, nanti jika Erica sudah sembuh langsung saja lakukan apa yang kamu mau."     

Terdengar suara bariton milik D. Krack yang terdengar meledek, juga laki-laki tersebut terkekeh kecil di akhir kalimatnya. Dan ya, di saat yang bersamaan Erica langsung saja mendorong dada bidang Sean supaya menjauh dan lumatan mereka sudah pasti terlepas.     

"Ku bilang jangan macam-macam, Sean." ucap Erica sambil mengusap saliva yang tercampur dengan milik Sean pada sudut bibirnya.     

"Apa? Kamu yang mendesah." balas Sean sambil terkekeh kecil, tadinya kedua mata miliknya menggelap, untung saja D. Krack berkata lancang seperti itu. Kalau tidak, mungkin...     

Ah sudah lah jangan di bahas!     

Kedua pipi Erica kembali merona, sial, dirinya kelepasan malah terdengar seperti nafsu dengan apa yang dilakukan Sean padahal hanya lumatan biasa yang... sangat lah memabukkan.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.