My Coldest CEO

Seratus delapan puluh tujuh



Seratus delapan puluh tujuh

0Xena menatap perbintangan dari balkon kamar milik Vrans, menatap lurus ke angkasa yang luasnya tidak ia ketahui dengan sorot mata tanpa adanya ekspresi mendukung. Hanya tatapan datar saja, namun kedua alisnya terlihat menurun.     

Di temani oleh secangkir coklat hangat serta dua porsi taco tidak membuat dirinya beralih pandangan, arah matanya tatap sama, langit malam yang sangat indah itu. Iya, hanya itu.     

Berbekal dengan memori yang tersimpan sangat apik di kepalanya, membuat dirinya merasa sedikit ketidaksenangan. Selama ia hidup, ya selalu saja ada masalah yang menimpa. Iya sih benar kalau setiap manusia juga membutuhkan masalah untuk ajang pendewasaan diri, tapi tidak bagi Xena.     

"Melamun apa lagi, sayang? Kamu tuh susah ya di bilanginnya, suruh makan dulu isi perutnya tetap aja maunya seperti itu."     

Suara bariton yang selalu menjadi suara favorit Xena mulai menyapa indra pendengaran gadis tersebut. Kalau tadi dirinya enggan mengalihkan pandangan pada apapun, tapi hal itu tidak berlaku untuk kehadiran Vrans. Hei, laki-laki yang bernotabene sebagai kekasihnya itu adalah hal yang paling tidak bisa untuk di lewatkan.     

"Hai, bosayang." ucapnya yang hanya menjawab ucapan Vrans dengan sapaan. Ia pun bingung ingin mengatakan hal apa, soalnya tadi sebelum mereka memutuskan untuk pulang ke rumah, tentu saja mampir terlebih dahulu ke kedai taco. Karena laki-laki tersebut tidak ingin keberadaan Xena di ketahui publik apalagi setelah berita mengenai hal itu, tentu saja dengan sangat manisnya dia turun dari mobil sambil meninggalkan perkataan 'kamu di sini aja ya sayang, aku yang beliin taco untuk mu' terdengar kalimat candu yang membuat hati rasanya ingin melompat dari letaknya.     

Vrans tersenyum hangat, mereka sudah membersihkan diri masing-masing dan seharusnya langsung beristirahat. Namun karena seorang Xena hang keras kepalanya bukan main, ya jadilah mereka di sini, di teras balkon. Ia duduk di samping gadisnya pada sofa yang memang sengaja di letakkan di sini untuk duduk duduk santai menikmati keindahan luar ruangan.     

"Nanti sakit malam-malam di sini," ucapnya yang kembali melontarkan kalimat penuh perhatian. Ia pun tidak masalah saat Xena tak menjawab apa yang ia ucapkan. Bukan gadis tersebut marah atau kesal ia larang, tidak. Pasti karena Xena tidak tahu bagaimana menjawab ucapannya yang penuh kalimat intimidasi namun dengan nada lembut.     

Xena menatap Vrans dengan lekat, di detik selanjutnya, ia pun langsung saja mendekatkan tubuh pada laki-laki yang berada di sampingnya ini. Menaruh kepala di dada bidang tersebut, lalu menghembuskan napasnya. "Kenapa aku tidak kenapa-napa?" tanyanya dalam nada suara yang memiliki volume kecil, mirip sebuah lirihan namun tidak terdengar menyedihkan. Ya mungkin lebih cocoknya berbicara dengan nada kecil dengan raut wajah yang mulai menyendu.     

Vrans yang mendengar pertanyaan Xena itu langsung saja menaikkan sebelah alisnya, merasa aneh dengan apa yang di katakan oleh gadis yang berada di dekapannya saat ini. Dengan tangan terjulur ke puncak kepala Xena, senyumannya pun tak kunjung pudar. "Memang kamu berharap apa? Terluka juga? Banyak orang yang ingin menyelamatkan diri mu, dan itu sebuah kewajaran jika mereka terluka." ucapnya yang mengeluarkan kalimat penuh kebijaksanaan itu.     

"Tidak bukan seperti itu, tapi.. ah sudahlah aku sendiri pun merasa sangat bingung." ucap Xena yang memilih menyerah dengan apa yang di perkutat oleh kinerja otaknya. Akhirnya, ia mulai memendam kepalanya di dada bidang Vrans, menghirup dalam aroma maskulin yang wanginya mampu membuat dirinya tenang bahkan tersipu malu jika parfum itu melekat di bajunya.     

Vrans terkekeh kecil, sudah berkali-kali dalam seharian mereka membahas masalah yang sama. Padahal, dari pihak Allea ataupun Erica, mereka sama sekali tidak keberatan walaupun nyawa hampir melayang jika tidak di tangani. "Tidur aja, ya?" tanyanya yang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan dengan suruhan tidur.     

"Tidak, aku bahkan belum memakan taco ku!" seru Xena membalas pertanyaan Vrans, ia sedikit mendorong tubuh laki-laki yang berada di sampingnya ini supaya memberikan jarak pada dirinya. Ia menatap Vrans dengan sorot mata sebal, kan masih mau makan taco masa di suruh tidur sih? Menyebalkan sekali.     

Dengan bibir yang mengerucut, tangannya langsung di julurkan untuk mengambil satu porsi taco lalu menatap Vrans yang sudah terkekeh geli karena tingkahnya.     

"Tadi bukannya di makan, sekarang aja giliran di suruh tidur malah mau makan taco." ucap Vrans sambil mengacak rambutnya dengan perlahan. Ia menguap, merasa kantuk yang menyerang dirinya. Sekujur tubuh yang terasa sangat pegal tak ayal mendorong niatnya untuk segera melempar tubuhnya ke atas kasur king size lalu masuk ke dalam dunia mimpi.     

Xena mulai menggigit taco lalu mengunyahnya dengan perlahan. Sungguh, ia sangat menyukai makanan ini, apalagi kalau di nikmati bersama dengan Orlin dan juga Erica. Di selipkan oleh beberapa obrolan tidak jelas yang entah di luncurkan dari dirinya atau siapapun. Sungguh, ia merindukan suasana seperti itu.     

"Tadi aku masih ingin menatap langit malam, memangnya tidak boleh?" tanyanya yang sudah berhasil menelan taco halus di dalam mulutnya. Ia menatap Vrans dengan sorot mata yang sangat polos seolah-olah anak kecil sedang bertanya suatu hal tentang apakah dirinya salah atau tidak.     

Vrans menggeser tubuhnya, mendekat ke arah gadisnya yang kembali menggigit taco tersebut, melahapnya dengan nikmat. Ya anggap saja makan malam ringan karena Xena tidak ingin makan makanan dengan kalori besar, tidak nafsu makan katanya.     

Ya tentu saja lah. Seseorang yang berada di posisi sepertinya ini pasti sangat susah makan, beruntung taco masih bisa pengobat saat Xena merasa tidak ingin makan sama sekali. Aneh memang, taco itu seperti segala-galanya bagi gadis tersebut. Tidak masalah ia menolak makanan biasa atau makanan mahal lainnya, tapi tidak untuk taco.     

"Bukannya tidak boleh, haru sudah semakin dalam nanti kamu kedinginan. Belum istirahat juga, bagaimana bisa kamu tidak merasa lelah?"     

"Tentu saja tidak, aku di borgol di atas kasur. Hanya lelah karena melawan dan menangis saja."     

"Lain kali, jangan bertindak konyol seperti pergi kemana-mana sendiri. Banyak orang yang khawatir pada diri mu, kedua orang tua mu juga sedang tugas ke luar negeri. Jadi sepenuhnya, kamu selalu menjadi tanggung jawab aku."     

Xena menganggukkan kepalanya, ia bahkan tidak mendengar --ah bukan tidak mendengar sih seperti masuk ke telinga kanan keluar pada telinga kiri saja-- dan masih tetap fokus terhadap taco yang berada di tangannya. Padahal memang benar sih kalau diingat-ingat ia belum sempat mencicipi taco lagi, dan kini mungkin waktunya untuk melepas rindu dengan makanan kesukaan.     

"Heem, bosayang. Kamu cerewet sekali, kayaknya tertular deh sama aku."     

"Mau aku cuekin lagi?"     

"Boleh aja, nanti aku teriakin kayak gini..." Xena yang sudah menelan sempurna taco di dalam mulutnya itu langsung saja mengambil ancang-ancang. "BOSAYANG JANGAN CUEKIN AKU ATAU NANTI KAMU AKAN MENGGANGGU DIRI MU TERUS ME--"     

"Aish, berisik sayang, ini sudah malam." ucap Vrans sambil menaruh telapak tangannya di mulut Xena yang terbuka sempurna, sungguh telinganya terasa berdengung. Ia membekap mulut gadisnya, namun bukan bekapan kasar yang menyakiti.     

Xena tertawa lepas, ia tahu sekali jika Vrans dari dulu itu sangat sebal kalau dirinya sudah berteriak. Mungkin dulu dirinya serasa ingin di tendang dari perusahaan, tapi tidak jadi. Cemen ah, hati Vrans yang sebeku kutub selatan yang mendapatkan gelar belahan dunia paling dingin jika di bandingkan dengan kutub utara.     

"Dasar Antartika," ucapnya sambil menyuapkan taco terakhir pada mulutnya yang sudah berukuran lumayan kecil sehingga bisa masuk ke dalam mulutnya itu.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, namun sedetik kemudian mengangkat senyuman yang langsung tercetak jelas di permukaan wajahnya.     

"Aku di panggil Antartika karena menurut mu sifat ku ini terlalu beku, begitu? Dasar gadis Pluto."     

"Tentu saja. Dan sekarang yang terpenting, aku sudah menobatkan nama mu menjadi Vrans Antartika Moreo Luis."     

Iya, memasuki kisah seorang CEO dengan sifat paling dingin yang akhirnya jatuh cinta pada sang sekretaris utama di perusahaannya adalah hal yang paling tidak di sangka. Pribadi dingin dan tertutup bahkan terkesan terlalu mengintimidasi bertemu dengan pribadi yang konyol tanpa rasa malu, dan ya bahkan gadis tersebut memiliki suara yang menyamai mercon, berisik.     

"Bagaimana bisa mengganti nama orang secara sembarang, sayang ku?" tanyanya sambil meraih pinggang Xena, lalu membawa tubuh itu untuk duduk dalam pangkuannya.     

Ia memeluk tubuh mungil tersebut dari belakang, lalu menaruh dagunya di pundak Xena.     

"Siapa yang suruh memanggil ku dengan sebutan Pluto, ayolah itu sangat tidak elegan."     

"Apa? Memang benar, itu mah cocok dengan dirimu saat awal pertemuan kita saja kamu sudah sangat menyebalkan."     

Xena tertawa mengenai sifatnya yang memang sangat tidak tahu malu itu, bahkan hampir kurang ajar. Iya kan? Ia yakin banyak yang sebal pada dirinya yang seperti ini, eh tapi tentu saja hal itu tidak masalah. Yang terpenting apa? Ia bisa mendapatkan hati laki-laki tersayang yang bisa memenuhi keinginannya dari segi kasih sayang sampai materi, bahkan satu atap pun seperti ini tidak ada niatan untuk merusak dirinya.     

Sepertinya, gelar 'My Coldest CEO' sudah berubah menjadi 'My Perfect CEO'. Sungguh, usaha konyol untuk mendapatkan laki-laki itu tentu saja membuahkan hasil yang sangat memuaskan.     

Putranya Leonardo Luis ini memang laki-laki sempurna. Toh sang Daddy mantan CEO di Luis Company, memegang penuh kekuasaan yang selalu mendapatkan kerjasama dengan perusahaan lain. Tentu saja segala sifatnya turun dari Leo, bedanya laki-laki paruh baya itu yang masih terpahat sempurna wajahnya, tidak memiliki sifat terlampau dingin terhadap orang lain. Mungkin ramah dan baik hati adalah penggambaran yang sangat cocok.     

"Bos, kenyang..." rengek Xena sambil menatap taco satunya yang belum ia sentuh sama sekali, ia sudah membasahi dinding tenggorokannya dengan coklat hangat.     

Vrans menganggukkan kepalanya, lalu menaruh kembali tubuh mungil yang berada di pangkuannya ke sofa. Ia beranjak dari duduk, lalu mengambil piring tersebut beserta cangkirnya. "Aku taruh dulu di dapur, untuk coklat panasnya nanti aku bawakan air mineral." ucapnya.     

"Aye-aye captain!"     

"Masuk ke dalam, jangan di balkon."     

"Iya bosayang,"     

"Aku menaruh semua peralatan mu ini terlebih dahulu, nanti aku ke sini lagi."     

Xena menatap Vrans yang melangkahkan kaki menjauh dari dirinya, membuka pintu dengan sisah jemari yang tidak memegang gagang cangkir, lalu menutup pintunya kembali. Sesuai dengan perkataan laki-laki tersebut, ia langsung saja beranjak dari duduknya, lalu keluar dari balkon dan menutup pintunya.     

Saatnya istirahat, melepaskan penat karena hari ini adalah hari yang paling panjang.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.