My Coldest CEO

Seratus delapan puluh delapan



Seratus delapan puluh delapan

0"Apa kata Agen Farrell?"     

Orlin yang megang nampan berisikan satu cangkir americano dengan satu lagi coffee latte, menaruhnya di atas meja yang berada di hadapan Niel dengan perlahan.     

Kini, ia berada di rumah Niel sejak kepulangan dari rumah sakit, bukan sebaliknya karena biasanya sang laki-laki lah yang main ke rumah gadisnya. Ya memang ngapain ke rumah Orlin? Tidak ada hal yang seru di sana, pasti sepi dan pasti sama saja tidak ada suasana yang membangkitkan.     

"Katanya sih sudah di urus semua dari bukti-bukti yang seharusnya di oper oleh pihak hukum. Tapi kata Sean hal itu tidaklah perlu karena Hana sudah tewas meninggalkan dunia ini." ucapnya sambil menaruh ponselnya yang memang sedaritadi menjadi peneman saat Orlin sedang membuatkan minuman untuk dirinya.     

Orlin yang tadi sedikit membungkukkan tubuhnya untuk meletakkan kedua cangkir tersebut ke atas meja, lalu menaruh nampannya juga di atas sana. Melangkahkan kaki untuk mendekati Niel, dan berakhir dengan bokong yang mendarat di atas sofa tepat di samping laki-laki tersebut.     

"Kenapa Sean masih meringankan Hana? Padahal mengingat apa yang telah di perbuat gadis itu sangatlah fatal." ucapnya tidak habis pikir dengan jalan pikir Sean. Laki-laki itu terlihat aura baiknya semenjak ada Erica yang berada dan menetap di kehidupan dia.     

Entah ada hubungan apa Erica dengan Sean tentu saja hal itu tidak ada yang tahu. Selain sang laki-laki terlihat seperti kriminal tukang memberi harapan, dan sang gadis terlalu cuek dengan kisah percintaan. Dan karena kenyataan tersebut, tentu saja membuat mereka semua tidak bisa langsung menerka-nerka hubungannya mereka.     

Niel menjulurkan tangannya untuk mengambil cangkir kopi yang sudah di buatkan oleh Orlin untuk dirinya, astaga sangat terasa seperti sudah berumah tangga. "Biarkan hal itu menjadi urusan mereka, mungkin Sean melakukan itu karena Erica?" ucapnya. Lalu di detik selanjutnya ia mendekatkan cangkir kopinya ke bibir, meniup dengan perlahan setelah itu menyesapnya.     

Nikmat. Hanya itu satu pengekspresian yang dapat di ungkapkan oleh Niel. Hanya satu tegukan saja karena memang suhu kopinya masih cukup panas, ia kembali menaruh cangkir tersebut ke atas meja lalu menolehkan kepalanya ke Orlin.     

Sedangkan Orlin? Gadis itu tengah menaikkan sebelah alisnya, merasa kurang setuju dengan yang di katakan Niel tentang Erica mengambil alih pusat perhatian Sean, menjadikan laki-laki keji itu berubah menjadi seperti memiliki hati kelinci. "Tidak, ku pikir tidak mungkin. Kamu tau, sayang? Mereka itu terikat perjanjian, yang kalah pasti akan terbunuh. Gila, bukan?" ucapnya sambil menatap Niel dengan sangat lekat. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan sahabatnya yang masuk ke dalam jeratan seorang assassin.     

Niel menggelengkan kepalanya, ia juga tidak habis pikir dengan Erica yang terlampau berani mengatakan perjanjian seperti itu pada Sean Xavon. "Bisa jadi Sean kalah, dan kemenangan ada di tangan Erica, iya kan? Jadi kesimpulannya, dua orang pembunuh bayaran terbaik akan tewas?" ucapnya kembali mengeluarkan sebuah pemikiran yang bisa saja memunculkan argumentasi baru.     

"Kalau hal itu bisa membahagiakan Erica, aku sih tidak masalah. Ku yakin dia juga jatuh sama pesona Sean, tapi gengsi." balas Orlin sambil terkekeh kecil. Ia paham sekali dengan sifat sahabatnya itu. Diam-diam peduli, dan mungkin selanjutnya akan jadi diam-diam cinta.     

Memang gadis dingin itu sangat berbeda daripada yang lainnya ya.     

Niel hanya terkekeh kecil, lalu mengambil cangkir kopi milik gadisnya. Dan ya, seperti layaknya anak kecil Orlin di bantu saat meminum. "Di minum perlahan, tiup dulu kalau masih terasa panas." ucapnya sambil mendekatkan cangkir tersebut sampai menempel pada bibir gadisnya. Dengan perlahan Orlin pun menuruti apa yang di katakan oleh Niel, meniup lalu menyesap kopi tersebut.     

Setelah merasa cukup, Niel menjauhkan cangkir tersebut dan menaruhkan lagi ke atas meja. "Sudah jangan membicarakan orang lain," ucapnya.     

Orlin menaikkan sebelah alisnya, ia tidak merasa jika membicarakan 'orain lain' di dalam topik pembicaraannya ini. "Erica kan bukan orang lain di hidup aku, tapi sahabat aku. Ya gak masalah dong ngomongin dia? Lagipula kira membahas hal positif dan tidak menjelek-jelekkan." ucapnya yang memang selalu berkomentar jika sang lawan bicara salah atau melenceng dari pendapat yang berada di benaknya.     

"Iya deh terserah kamu, sayang." ucap Niel.     

Karena posisi duduk Orlin yang memang menempel dengan pembatas sofa sebelah kiri, menjadikan Niel langsung melepaskan sandal rumahnya laku membaringkan diri di sofa panjang ini dengan kepala yang bertumpu pada paha gadisnya. Menatap pahatan sempurna milik Orlin, yang dari bawah saja bentuk rahang tirus itu terlihat sangat sempurna.     

"Kamu cantik," ucapnya tanpa nada bicara yang bohong sedikitpun. Padahal kini Orlin memakai kaos kebesaran miliknya, dan bawahannya juga hanya memakai boxer-nya juga. Tapi entah kenapa gadis ini memang di takdirkan cantik dengan atau tanpa pakaian bagus dan make up tang menghiasi permukaan wajahnya secara menyeluruh.     

Blush     

Kedua pipi Orlin memerah, bahkan suara televisi yang menampilkan acara film action kesukaan Niel terdengar mulai samar di telinganya. Kini, hanya ada sati hal yang mengendalikan kinerja otaknya, perkataan sang kekasih barusan.     

"Jangan bengong ih," terus Niel. Hatinya cukup menghangat kala melihat kedua pipi Orlin yang merona sempurna, tentu saja hal itu membuat dirinya semakin sayang karena sifat gadisnya ini memang masih sama dengan yang awal. Tidak ada perubahan dari dirinya ataupun Orlin, hubungan yang sangat jarang dilandasi peperangan mulut ini adalah hal yang paling di dambakan oleh banyak pasangan di muka bumi.     

Orlin mengerjapkan kedua bola matanya, dan pada detik itu juga titik fokus yang sebelumnya menarik dirinya ke dalam lubang hitam layaknya di jagat raya sana, kini sudah kembali ke dunia nyata lagi. "Eh? Kenapa? Aku malu!" ucapnya masih tidak tahu harus membalas ucapan Niel seperti apa. Padahal sudah beribu-ribu kali laki-laki tersebut memuji dirinya, tapi sama saja hal itu tidak membuatnya menurunkan rasa sayang hanya karena bosan di puji, tidak ia bukanlah gadis yang seperti itu.     

"Kenapa harus malu? Aku hanya mengatakan apa yang benar terjadi, sayang. Kan aku memang selalu jujur mengatakan apapun pada mu."     

"Tapi kan--"     

"Maaf aku belum sempat jadi yang terbaik karena selalu sibuk dengan pekerjaan ku."     

Tubuh Niel tiba-tiba menyamping dan kini wajahnya berada tepat di depan perut Orlin, ia menyembunyikan wajahnya di sana. Lalu kedua lengannya dengan pose sangat manja sudah melingkari tubuh gadisnya. Sungguh, ia benar-benar merasa belum cukup baik.     

Orlin yang tadinya tersipu malu langsung saja mengubah raut wajahnya bingung sambil menggelengkan kepalanya, ia tidak membenarkan apa yang di ucapkan laki-laki itu. Dengan tangan yang mulai terjulur untuk mengelus puncak kepala kekasihnya tersebut, ia merasa jika semua ini tidak akan berjaya tanpa bantuan Niel yang dengan sigap langsung mencari bantuan dari pihak FBI.     

"Kamu lebih dari segala-galanya, urusan pekerjaan itu kan memang ada jauh sebelum adanya aku. Bekerja itu kewajiban bagi seorang laki-laki, dan aku tau kok kamu bekerja keras untuk kita." ucapnya dengan nada yang sangat lembut.     

Mendengar penjelasan seperti itu langsung dari sang kekasih tentu saja membuat kehangatan tersendiri bagi hatinya. "Tapi aku pikir kamu jadi tidak memiliki banyak waktu dengan diri ku. Tidak seperti Vrans dan Xena yang satu atap bahkan di kantor tetap bersama, atau bahkan seperti Sean yang walaupun seorang pembunuh bayaran tapi tetap saja memiliki banyak waktu untuk Erica. Aku tidak memiliki itu, untuk diberikan pada dirimu." ucapnya menjelaskan dengan perinci.     

Orlin menyunggingkan sebuah senyuman yang teramat tulus, menundukkan kepalanya melihat Niel yang masih memposisikan diri seperti tadi. "Waktu mah memang susah di cari kalau ingin raih kebahagiaan bersama-sama, sayang. Aku gak masalah kok, palingan cuma sedikit iri dengan yang lainnya." ucapnya sambil terkekeh kecil saat dirinya mulai berkata 'iri', ya supaya tidak ada atmosfer tebal yang terbentuk di sekeliling mereka.     

"Iya, maaf. Nanti kalau kita sudah menikah, aku janji akan meluangkan waktu untuk membuat baby boy atau baby girl." ucap Niel, ia mengembalikan posisi wajahnya untuk menatap ke arah Orlin, kedua manik mata mereka bertemu dengan sempurna.     

Orlin membelalakkan matanya saat mendengarkan apa yang di ucapkan oleh Niel. Ayolah, ia masih seutuhnya gadis yang belum di sentuh oleh siapapun. Jadi... jangan dirinya memang harus siap, iya kan?     

"Kalau begitu, sepertinya memang harus menyisihkan waktu untuk hal itu." ucapnya sambil terkekeh kecil. Menangkis rasa ingin menghindari obrolan yang memangnya sangat di perlukan sebagai rencana saat sudah terikat hubungan pernikahan.     

Niel terkekeh kecil, lalu mencubit hidung gadisnya dengan sayang. "Mau berapa, tiga? empat? lima?" tanyanya yang sudah memikirkan kumpulan anak-anak di dalam rumahnya, bersamaan dengan Orlin. Astaga pasti sangat menggemaskan.     

Mendengar ucapan Niel yang sedikit ngaco itu, ia hanya menggelengkan kepalanya merasa tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh kekasihnya itu. Baginya, anak-anak itu sangat membutuhkan kasih sayang, jadi sudah tentu ia hanya ingin memberikan yang terbaik. "Cukup satu tapi kasih sayang kita penuh, bagaimana?" ucapnya yang meminta persetujuan.     

Iya sih Niel sangat menyukai anak-anak, namun banyak anak apakah hal terbaik? Niel sudah pasti sibuk bekerja dan ia akan mengurus anak sendiri. Ia juga tidak pernah ingin menyewa baby sitter karena pasti akan menyita seluruh perhatian anaknya pada siapapun pengasuh itu. Ya takutnya sang buah hatinya lebih dekat pada orang lain selain dirinya.     

Niel menganggukkan kepalanya, sekiranya ucapan gadis tersebut sangat masuk akal daripada penawarannya yang seperti ingin hampir membentuk club sepak bola. "Tentu, aku setuju." ucapnya sambil beranjak dari posisi tertidur dan langsung berdiri tepat di hadapan gadisnya.     

"Hari sudah malam, dan kita perlu istirahat."     

Niel mengangkat tubuh Orlin ala bridal style membuat gadis tersebut langsung saja mengalungkan kedua tangan di lehernya. Ia menatap wajah sang kekasih, lalu di kecup bibir merona tanpa lapisan pewarna bibir apapun. Menatap dalam manik mata Orlin, menemukan ada kilatan sayang yang sangatlah besar.     

"Kamu so sweet sekali, Niel." ucap Orlin sambil menampilkan sebuah senyuman yang tentunya sangat manis, ia begitu beruntung memiliki laki-laki seperti Niel. Laki-laki idaman yang dia yakin semua gadis di dunia ini ingin sekali di perlakukan sehangat dan semanis ini.     

"Dan aku akan tetap bersikap seperti itu padamu."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.