My Coldest CEO

Seratus sembilan puluh satu



Seratus sembilan puluh satu

0Luis Company     

Xena menapakkan kakinya di perusahaan besar ini setiap harinya menjadi tempat dirinya bekerja. Dengan tatapan bingung untuk apa mereka kesini? namun tak ayal dirinya terus berjalan mengikuti Leo yang dengan gagahnya jalan memimpin di depan dirinya dan juga Vrans.     

"Selamat datang kembali, Tuan Leo."     

Leo menghentikan langkahnya di depan meja resepsionis, menatap seorang gadis muda yang ia tidak kenal. Mungkin saat dirinya terbang ke London dan berpindah kekuasaan pada sang putra, Vrans merekrut orang baru sebagai karyawannya. "Selamat pagi, apa kamu nanti bisa hubungi seseorang untuk membawakan American breakfast dan secangkir Americano untuk ku dan Vrans, oh jangan lupa coklat panas untuk calon menantu ku." ucapnya dengan sangat ramah. Bahkan, senyuman hangat sudah hadir sejak tadi menebar pesona tiada tanding padahal sudah berumur tapi wajahnya tetap tampan.     

Lihat, seberapa besar perbedaan itu.     

Vrans yang mendengar ucapan Leo pun hanya menampilkan wajah datarnya. Namanya juga Leonardo Luis, ya pasti apapun keinginannya tentu saja di turuti. Kalau tidak, bisa-bisa di pecat karena bekerja tidak benar.     

"Daddy, aku gak mau coklat panas." ucap Xena yang memang tepat di belakang Leo, ia menampilkan sebuah wajah cantik berseri pada pagi hari ini.     

Leo menolehkan kepalanya, menatap Xena yang kini masih dekat dengan Vrans dengan tangan laki-laki tersebut yang melingkari pinggangnya. "Kamu mau apa sayang? Biar Daddy katakan padanya,"     

"Aku mau jus alpukat dengan es krim vanilla di atasnya, mau pancake dengan sirup maple dan oh jangan lupa potongan stroberi di atasnya." ucap Xena dengan sangat bersemangat. Perusahaan Vrans terasa seperti hotel pribadi yang bisa meminta ini itu, ah menyenangkan sekali.     

Leo mengangguk kepalanya, lalu menatap sang resepsionis yang tadi ikut menyimak. "Sudah dengar, kan? Jangan sampai salah," ucapnya. Lalu mengeratkan rompi yang melekat di tubuhnya. Umur tentu saja boleh menua, tapi fashion harus nomor satu karena bagaimanapun ia sangat di pandang oleh dunia.     

"Baik, Tuan. Semuanya akan tersedia sepuluh menit lagi, di antar ke ruangan Tuan Vrans."     

Dengan menganggukkan kepalanya, Leo kembali melanjutkan langkah diikuti oleh Xena dan Vrans yang mengekor di belakang.     

"Seharusnya kamu yang memimpin jalan, Vrans. Bukan Daddy seperti ini." ucap Xena sambil mendongakkan kepalanya, menatap wajah Vrans yang langsung menampilkan rahan tegas itu.     

Vrans mengangkat bahunya acuh, kali ini tangannya sudah tidak melingkari pinggang Xena lagi namun berganti menjadi me genggam erat jemari lentik tersebut. "Biarkan saja, Daddy mungkin ingin melepas rindu dengan perusahaan." ucapnya yang memang tidak ingin banyak tahu dengan apa yang di lakukan orang lain.     

Mereka berjalan ke lift khusus yang hanya di gunakan oleh atasan dan karyawan dengan jabatan tertinggi serta para tamu kolega besar yang berkunjung untuk membicarakan obrolan tentang perusahaan.     

Ting     

Lift terbuka, dan mereka bertiga segera masuk ke dalam sana dan menekan tombol lantai paling atas, tempat di mana ruangan Vrans, Xena, Erica, Allea dan juga Olrin berada.     

"Daddy cukup puas dengan kinerja kamu, mengenai kabar perusahaan yang meningkat drastis itu adalah sebuah kemajuan yang pesat loh." ucap Lea sambil menatap ke arah putranya. Ia menampik sebuah senyuman yang berkerut pertanda usianya tidak lagi muda, belum lagi brewok tipis yang sudah menghiasi rahangnya menambah kesan seperti layaknya 'hot daddy'. Mapan, tampan, berkharisma, dan masih banyak lagi penggambaran untuk Leo yang sangat sempurna.     

Vrans menganggukkan kepalanya, ia juga bangga pada dirinya sendiri mengenai kerja keras yang membuahkan hasil sangat memuaskan ini. Bagaimana tidak maju? Toh sang CEO muda ini sangat gila kerja, bahkan rela pulang larut malam hanya untuk sekedar menuntaskan pekerjaan. "Tentu saja, sesuai apa yang Daddy ajarkan saat kecil." ucapnya menampilkan sebuah senyuman tipis saat mengingat bagaimana dulu kerasnya seorang Leo untuk menyuruh dirinya memahami data perusahaan yang membingungkan.     

"Tidak sia-sia Daddy mendidik mu seperti itu." balas Leo sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir kalau dirinya seberhasil ini.     

"Iya memang Daddy terbaik deh! Aku jadi dapet calon suami yang banyak uangnya." seru Xena dengan nada suara riang, bahkan ia terkekeh kecil dengan apa yang dirinya katakan, hanya bercanda.     

Vrans ikut terkekeh kecil, lalu mengubahnya menjadi sebuah senyuman miring pada detik selanjutnya. "Oh jadi kamu deket sama aku cuma mau ngincar uangnya ya?" tanyanya sambil melepaskan tangan yang bertaut pada tangan Xena. Ia bersiap untuk menggelitik gadisnya ini dengan jurus mematikan sampai Xena memohon ampun dengan apa yang dikatakannya.     

Xena mengulum sebuah senyuman, lalu tertawa. "Ah ampun! Tidak jangan menggelitik diri ku!" serunya sambil melangkahkan kaki menjauh dari Vrans, ia berhenti tepat di belakang tubuh Leo seolah-olah meminta pertolongan karena kekasihnya degan jail sudah berpose seperti ingin menggelitik dirinya.     

Jangan sampai terjadi peperangan di dalam lift ini, sungguh hal itu sangat menyebalkan. Yang tadinya Xena ingin bersifat kalem menjadi gadis banyak tingkah lagi deh. Ia kan ingin menunjukkan pada Leo kalau dirinya itu sangat menawan layaknya sang primadona saat di masa SHS dulu!     

Vrans menegakkan kembali tubuhnya saat melihat tubuh Xena yang sudah tenggelam di balik tubuh Leo, "Dasar pendek." ejeknya dengan siulan kecil seolah-olah tidak mengatakan apapun.     

"Dasar menyebalkan!" seru Xena membalas apa yang telah di ucapkan Vrans pada dirinya.     

Sedangkan Leo? Tentu saja ia tidak keberatan akan hal ini. Setiap pasangan memiliki cara tersendiri untuk mengekspresikan apa yang mereka punya. Lagipula kata 'terlalu mencintai' itu bukanlah penggambaran yang cocok untuk mereka. Kalau terlalu mencintai, sudah pasti akan menjerumuskan ke arah bodoh berkepanjangan. Yang paling cocok itu 'terlalu menyayangi'.     

Karena secara harfiah, sayang merupakan suatu perasaan yang cenderung memiliki makna ikhlas dan tulus tanpa mengharapkan sesuatu.     

Ting     

Pintu lift sudah terbuka menampilkan lorong dengan jajaran ruangan yang tentu saja masih hampa itu. Erica dan Allea masih berada di rumah sakit, dan tentunya mungkin hanya ada Orlin yang sedang terlampau libur karena seluruh pekerjaan --ah tidak seluruh si mungkin sebagian saja yang dirinya bisa-- di serahkan pada gadis itu.     

Karena tidak ingin mengganggu kinerja Orlin, Xena memutuskan untuk tidak membelokkan tubuhnya ke ruang kerja sang sahabat. Ikut melangkah kaki menyusul ketertinggalannya dari kedua laki-laki yang satu darah itu.     

"Banyak perubahan, kenapa di renovasi hiasan dindingnya?" tanya Leo dengan kedua tangan yang di taruh belakang, kedua bola matanya mulai menelusuri lorong yang dulu merupakan tempat favoritnya setiap hari ya karena dilaui setiap saat.     

Vrans menganggukkan kepalanya, ia sadar jika Xena tidak ada di sampingnya lalu menoleh sebentar ke arah gadis tersebut yang kini malah mengambil sebuah majalah di tak buku yang memang di taruh pada tengah ruangan --ruangan ini biasa di gunakan jika ada tamu yang menaruh janji pada sang CEO dan akhirnya menunggu di sini, lengkap dengan sofa dan meja sertakan peralatan lainnya yang membuat kenyamanan tersendiri--.     

Merasa jika tidak masalah dengan gadisnya itu, ia memusatkan kembali perhatiannya pada Leo lalu berjalan sejajar dengan laki-laki tersebut. "Ya ku pikir desain sebelumnya terlalu datar, makanya aku berikan beberapa buah lukisan dan tanaman yang dapat hidup di dalam ruangan supaya menghidupkan suasana." ucapnya memberikan penjelasan mengenai perubahan ruangan yang sangat luas ini. "Lagipula aku melakukannya untuk kenyamanan bersama, apa itu masalah bagimu, Daddy?" sambungnya, menanyakan persetujuan yang bahkan tidak pernah ia pikirkan sebelumnya.     

Leo terkekeh kecil, lalu menggelengkan kepalanya. Tangan kanannya mulai menjulur ke belakang tubuh Vrans lalu menyampirkan di bahu kanan putranya, menepuk bahu itu dengan perlahan khas seorang laki-laki. "Tidak perlu izin apapun, lagipula semuanya memang terlihat lebih keren. Daddy salut, ingin di berikan apa nanti sebagai imbalannya?" ucapnya dengan nada sungguh-sungguh.     

Dulu, saat Vrans berhasil meraih peringkat 1 di sepanjang masa sekolah menengahnya sampai lulus langsung di belikan sebuah Lamborghini termahal pertama untuk putranya itu sebagai hadiah. Ya menurut seorang Leo, memberikan hadiah atas penghasilan yang di capai oleh sang anak adalah hal yang paling menghangatkan.     

Untuk mencapai sesuatu yang besar sudah pasti mengorbankan banyak hal yang besar juga.     

Vrans menaikkan sebelah alisnya, menatap wajah yang mirip dengan dirinya itu. "Vrans sudah besar, tidal ingin meminta apapun kecuali kesehatan Daddy." ucapnya dengan nada yang kali ini terdengar sedikit melemah.     

Saat tau jika usia Daddy-nya ini semakin menua, ia takut apa yang selama ini ia berikan ternyata belum tercukupi untuk Leo.     

"Seharusnya, aku yang bertanya seperti itu. Karena Daddy sudah membawa aku sesukses ini menjadi CEO, apa yang Daddy inginkan sebagai imbalannya?" tanya Vrans sambil menaruh tangan kirinya ke dalam saku celana. Penampilannya yang keren menjadi terlihat berkali-kali lipat keren.     

Leo tampak menampilkan sebuah senyuman, tapi entah itu berarti apa yang jelas kini dirinya menginginkan sesuatu hal yang sangat besar. Dengan langkah yang di hentikan tepat di depan pintu masuk ruangan Vrans, membuat putranya itu secara refleks juga ikut menghentikan derap langkah kakinya. Bahkan, tangan kanan Leo masih bertengger di bahu Vrans. "Daddy ingin menginginkan cucu," ucapnya sambil menepuk pundak Vrans dua kali. Melihat ekspresi bergeming itu, ia segera meraih gagang pintu dan langsung masuk ke dalam ruangan tersebut.     

Vrans yang mendengar ucapan tadi hanya bisa berdiam diri. Cucu? Bahkan ia tidak memiliki pengalaman apapun untuk melakukan 'itu'.     

"BOSAYANG, APA KAMU MENDENGAR AKU?"     

Berkat pekikan Xena yang menggema di sepanjang koridor membuat Vrans mengerjakan kedua bola matanya, menarik perhatiannya kembali pada dunia nyata. "Apa sayang?" tanyanya dengan raut wajah senang.     

Sudah dapat lampu hijau dari sang Daddy, berarti tinggal melaksanakan hal yang seharusnya terjadi, iya kan?     

"AKU SEDARITADI MEMANGGIL DIRI MU, SETIDAKNYA BANTU AKU MENGAMBIL MAJALAH, AKU TIDAK SAMPAI!"     

Mendengar Xena berteriak kesal seperti itu membuat Vrans terkekeh kecil dan mulai melangkahkan kakinya ke arah gadis tersebut. Kinerja otaknya mulai memutar tentang kejadian dulu yang hampir sama persis dengan Xena yang tidak sampai menjangkau rak yang berisikan banyak buku serta majalah itu.     

"Makanya sayang, kalau butuh pertolongan itu bilang."     

"Aku sudah berteriak dan memanggil nama mu malah bengong, dasar menyebalkan."     

"Daddy minta cucu,"     

Blush     

Jangan di tanya bagaimana ekspresi wajah Xena saat ini, ah dan juga jangan di bayangkan.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.