My Coldest CEO

Seratus sembilan puluh dua



Seratus sembilan puluh dua

0Mengambil sebuah roti bakar di kotak bekalnya, Orlin dengan santai mendaratkan bokong di kursi putar yang terdapat di ruang kerjanya ini. Kalau bukan karena Niel yang menyuruhnya masuk kerja, pasti dirinya sudah di pastikan saat ini berada di antara Allea dan juga Erica. Menemani mereka yang sebenar lagi di perbolehkan pulang namun kondisinya belum begitu pulih.     

Apalagi mengingat di lantai ini hanya ada dirinya yang bekerja dan mungkin juga ada dua orang office boy yang memang setiap harinya di tugaskan untuk membersihkan setiap lantai secara rutin dengan bergantian dengan orang lain.     

Melihat tumpukan dokumen yang berada di tas mejanya, tentu mampu kepala Orlin merasa pening karena selain sangat menumpuk, ia menjadi mengetahui bagaimana rasanya memegang pekerjaan seorang sekretaris. Kata Vrans, dokumen yang memerlukan tanda tangannya harus di sisihkan terlebih dahulu karena ingin ambil cuti mengenai kedatangan Leo.     

"Emang udah biasa sendiri, mau gimana juga tidak akan takut." ucapnya sambil menggigit ujung roti lalu mengunyahnya dengan nikmat. Tadi, sebenarnya ia hanya sarapan sunny side up saja serta bacon. Mungkin porsi sarapan yang wajar bagi orang lain, tapi tidak untuk dirinya. Dengan inisiatif yang tinggi, tentu saja Niel langsung membuatkan gadisnya ini dua rangkap roti.     

Euhm, sangat menggugah selera.     

Bekerja sendiri memang mengasyikkan karena tidak ada yang mengganggu titik fokusnya, belum lagi suasana hening yang membuat dirinya menjadi berkali-kali lipat serius untuk menyelesaikan dokumen-dokumen tersebut.     

Tapi, lebih seru lagi jika ada yang menemani. Bisa mengobrol, berbagi banyak cerita, bahkan menjadi membuat dirinya tak sadar kalau pekerjaan sudah selesai. Eits, jangan bilang kalau bekerja sambil mengobrol itu menguras waktu karena keasyikan hanyut ke dalam obrolan, tapi justru dengan adanya teman membuat suasana yang tadinya sepi menjadi hidup kembali.     

Menelan kunyahan yang sudah sangat halus sampai masuk menyapa setiap dinding tenggorokannya. Tangan Orlin mulai menjulur ke arah botol air mineral yang berada di atas mejanya. Satu dua sampai gigitan terakhir sudah ia lalui dengan cepat, karena bagaimanapun harus segera tuntas mengerjakan semua ini.     

Orlin menepuk kedua telapak tangannya satu dengan lainnya, membuat remahan roti yang jatuh ke tangan menjadi berhamburan ke bawah. "Ah saatnya kembali bekerja," ucapnya sambil mendekati lagi kursi putar yang di duduknya, mendekati meja supaya jangkauan tangannya sampai pada ujung meja tempat menaruh semua dokumen yang harus ia tuntaskan pada hari ini.     

Iya, sudah dapat di tebak jika dirinya ini akan lembur yang entah sampai jam berapa. Lagi-lagi Vrans memberikan dirinya sebuah keuntungan menarik mengenai imbalan yang dirinya dapatkan karena sudah menyanggupi pekerjaan ini, apalagi kalau bukan gaji di tambah $500 sebagai upah?     

"BOSAYANG, APA KAMU MENDENGAR AKU?"     

Setiap ruangan di perusahaan ini memang kedap suara, namun samar-samar suara yang sangat ia kenal itu mulai masuk menyapa indra pendengarannya. "Xena?" tanyanya dengan nada yang seperti bergumam.     

Untuk apa gadisnya itu kesini? Terlebih lagi memanggil Vrans, berarti mereka berdua ada di sini? Bukankah ada acara keluarga?     

Ingin penasaran, namun kalau menghampiri suara itu akan membuat titik fokusnya terpecah belah karena yang seharusnya waktu di pakai untuk bekerja, malah dipergunakan untuk mengobrol. Sudah tahu kan bagaimana perpaduan Orlin dengan seorang Xena? Ya nanti sudah dapat di tebak berapa durasi yang terpotong kalau mereka benar-benar mengobrol.     

"Ah biarkan saja,"     

Merenggangkan kedua tangannya, lalu menatap tumpukan dokumen lagi. "Ayo Orlin, pasti kamu bisa!" serunya menyemangati diri sendiri.     

Kring ...     

Kring ...     

Kring ...     

Tangannya yang baru mulai mengambil satu dokumen yang berada di dalam map itu pun harus terpaksa kembali menaruhnya. Orlin menatap telepon kantor tersebut dengan sangat malas, lalu menghembuskan napasnya. "Jangan marah-marah, sabar... tentu saja orang sabar di sayang banget sama Niel." ucapnya yang sedang mengontrol suasana hati.     

Dengan sebuah senyuman yang sedikit di paksakan, ia segera meraih gagang telepon tersebut. "Selamat Pagi, dengan Roseline Damica di Luis Company. Ada yang bisa saya bantu?" ucapnya dengan nada bicara yang kelewat ramah.     

Seseorang di seberang sana terkekeh kecil, ternyata panggilan tersebut dari Erica, Orlin sangat tahu dari nada suaranya yang terdengar datar namun ramah jika berbicara dengan para sahabatnya. "Oh hai Nona Orlin, bisa kah aku menyita waktu mu sebentar?" tanyanya gadis tersebut di seberang sana dengan nada kekehan yang menggelikan.     

Saat dokter mengatakan pada saat itu juga Erica langsung menyambar ponsel miliknya yang berada di atas nakas. Kerjaannya hanya seputar mandi, makan, minum, tidur, dan juga meminum obat. Tentu saja hal itu sangat membosankan walaupun ia masuk ke dalam kategori gadis yang tidak suka melakukan banyak kegiatan. Tapi oh ayolah, siapa yang ingin berada di ruangan putih dengan wangi sangat ciri khas ini? Tentu saja tidak ada.     

Apalagi Allea, gadis itu terlalu lugu untuk menuruti segala ucapan dokter. Sean dan D. Krack? Jangan di tanya lagi, sudah pasti sedang melakukan kegiatan kotor di luaran sana.     

"Ah jangan meledek diri ku, Erica. Ini semua karena kamu yang tidak masuk kerja!"     

"Oh terus kamu meminta diri ku untuk kerja di saat setelah operasi karena tertembak? Tega sekali."     

"Bukan gitu yang ku maksud, ah Hana menyebalkan! Kalau tidak ada dia dan rasa obsesinya pasti ini semua tidak terjadi."     

"Jangan menyalahkan orang lain, kita di sini memang tidak becus menjaga Xena yang keras kepala."     

Orlin mengubah posisi teleponnya menjadi ke telinga kiri karena tangan kanannya ia ingin pakai untuk mengambil dokumen sembari membaca isinya, sudah sesuai atau sebaliknya. "Iya benar, tapi mau bagaimana lagi? Cepat sembuh, nanti kita pergi ke salon." ucapnya sambil terkekeh kecil. Mengajak Erica ke salon sama seperti mengajak kucing untuk masuk ke dalam bak mandi, di layangkan tatapan tajam sama saja terasa seperti di cakar. Ya skip saja lah, kinerja otaknya memang sedikit aneh daripada yang lainnya.     

"Jangan berani-beraninya menarik diri ku ke dalam salon lagi, Orlin."     

"Hei, itu bukan aku yang menarik. Salahkan Xena karena tidak tahu malu teriak di depan salon supaya kamu malu."     

"Jadi, harusnya itu yang malu Xena atau aku?"     

"Sepertinya kamu karena teriakan Xena bisa membuat diri ku ciut dan memilih untuk mengalah."     

Orlin terkekeh saat sekelibat memori saat mereka pergi ke pusat perbelanjaan dan Xena sudah terlampau kesal dengan Erica yang terus saja menolak, jadilah aksi konyol yang mengundang banyak perhatian itu.     

"Oke, oke, sebaiknya jangan membahas itu." ucap Erica dari seberang sana yang kelihatannya sangat malu dengan tingkah Xena. Padahal bukan dirinya yang malu-maluin di depan umum dan tidak bertingkah seperti itu, namun tetap dirinya yang malu toh Xena menyebut-nyebut namanya dengan sangat lantang.     

Orlin juga memutuskan untuk menyudahi kekehan dirinya. Beberapa detik kemudian keheningan menyapa di antara mereka, Erica yang diam dan tentu saja Orlin sedang membaca berkas tersebut dan mencocokkan dengan berkas yang ada di laptopnya secara bergantian.     

"Oh ya, kamu sanggup mengerjakan itu sendiri? Ku yakin pasti karena kejadian ini pekerjaan kantor sudah sangat menumpuk." ucap Erica di seberang sana, mengatakan beberapa deret kalimat yang ia ucapkan dengan nada sesal. Kalau boleh, ia ingin     

langsung masuk kantor segera setelah keluar dari rumah sakit. Melihat tumpukan dokumen yang tidak berdaya membuat jiwa gila kerjanya meronta-ronta.     

Orlin menganggukkan kepalanya dengan refleks, padahal mah Erica sudah dapat di pastikan tidak akan pernah mereka bisa melihat itu. "Tentu saja sanggup, tapi sepertinya aku akan lembur untuk hari ini." ucapnya sambil menutup kembali dokumen yang sudah selaras dengan data di laptopnya, lalu ia beralih ke dokumen selanjutnya.     

"Jangan lembur, Orlin."     

"Loh kenapa? Kalau tidak lembur, nanti pekerjaan ini tidak akan bisa selesai."     

"Kalau diriku bilang jangan, ya jangan."     

Mulai lagi deh nada dingin yang tidak dapat terbantahkan itu mulai keluar dari mulut gadis di seberang sana, kalau seperti ini Orlin hanya bisa menghembuskan napasnya.     

"Baiklah, tapi aku butuh alasan, kenapa?" ucap Orlin yang bertanya kenapa Erica melarang dirinya. Memangnya kenapa pulang malam? Toh dirinya bisa memesan kendaraan umum secara online kok, iya kan? Memangnya ada yang yang perlu di khawatirkan ya?     

Terdengar suara hembusan napas dari seberang sana, sebuah napas kecil yang terdengar sedikit berat. "Aku tidak ingin kamu kenapa-napa. Setidaknya, kalau aku terluka untuk sahabat ku itu sangat tidak masalah. Tapi jangan kalian..." ucapnya dengan nada kecil, hampir terdengar bisikkan. Mungkin tidak ingin percakapannya ini di dengar oleh Allea yang padahal gadis itu sudah memejamkan kedua bola matanya.     

"Aku bisa memesan taksi, Erica."     

"Apalagi itu, sangat bahaya bodoh!"     

"Lalu bagaimana?"     

"Ah, lebih baik suruh Niel menemani dirimu saja. Setelah itu, kamu ingin pulang sampai larut malam juga aku tidak akan mempermasalahkannya."     

Orlin menaikkan sebelah alisnya, mengganti kembali posisi gagang telpon ke telinga sebelah kanan, pegal. "Memangnya boleh? Tahu sendiri sistem keamanan kita itu ketat."     

"Iya, bilang saja di suruh Tuan Vrans. Kalau dia marah, katakan kalau kamu butuh peneman di malam hari, selesai deh."     

Orlin menganggukkan kepalanya, mungkin itu ide yang sangat bagus. "Baiklah,"     

"Sudah ah, aku ingin tidur, ini hari terakhirku merasa tersiksa di ruangan rumah sakit. Jadi, harus menikmatinya."     

Mendengar ucapan Erica yang mendramatisir keadaan membuat dirinya memutar kedua bola matanya, "Yasudah lebih baik kamu istirahat. Gara-gara kamu pekerjaan ku tertunda, sampai jumpa."     

Pip     

Padahal yang ingin mengakhiri telepon itu Erica, tapi dirinya lah yang mematikan sambungan telepon secara sepihak tanpa memberikan kesempatan bagi sahabatnya untuk mengatakan salam sebelum menutup telepon.     

"Kan sudah ku bilang kalau mengobrol itu menyita waktu, dan sekarang seharusnya aku sudah tidak ada gangguan apapun lagi."     

Dan ya, sepertinya di detil selanjutnya apa yang ia bicarakan kandas begitu saja, karena ...     

Tok     

Tok     

Tok     

"Argh siapa lagi sih?"     

Dengan sebal, Orlin mulai beranjak dari duduknya. Karena tidak ingin membuang banyak waktu lagi, ia langsung saja berjalan mendekati pintu dan membukanya.     

"Hai, kerjaan ku sudah selesai. Jadi, ku pikir aku akan menemanimu di sini."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.