My Coldest CEO

Seratus sembilan puluh tiga



Seratus sembilan puluh tiga

0"Sudah ah, aku ingin tidur, ini hari terakhirku merasa tersiksa di ruangan rumah sakit. Jadi, harus menikmatinya."     

Erica menaruh ponselnya setelah di rasa cukup untuk mengobrol dengan Orlin. Ia pikir, berada satu ruangan sama Allea sangat membosankan, dan itu benar sekali. Entah gadis tersebut yang belum bisa bertingkah enjoy di depannya, atau memang ingin mengistirahatkan tubuh karena mereka sudah satu minggu berada di rumah sakit.     

Sesai dengan keinginan Sean yang tidak ingin gadisnya kenapa-napa, di sinilah Erica. Masih bersama seputar ruangan rumah sakit yang putih dengan ciri khas wangi obat-obatan dan alkohol.     

Menaruh ponselnya di atas nakas, ia menggeser tirai pemisah untuk melihat apakah Allea masih tertidur atau tidak. Soalnya tadi sebelum ia tertidur, gadis tersebut langsung saja memejamkan kedua bola matanya.     

"Hei, Allea. Apa kamu masih tertidur?"     

Pertanyaan semacam itu keluar dari dalam mulutnya kala melihat tubuh Allea yang tertidur menyamping, otomatis membelakangi dirinya. Padahal, dada gadis tersebut terluka sama seperti miliknya. Ada tidak sakit?     

Tidak ada jawaban apapun pada detik selanjutnya.     

Niatnya, kalau tidak ada teman mengobrol dirinya ingin masuk ke dalam dunia mimpi. Ingin menelpon Orlin lebih lama lagi, yang ada waktu gadis itu terkikis sia-sia hanya untuk menemani dirinya berbincang ini itu. Ingin menelpon Xena, sesuai informasi yang beredar di grup resmi Luis Company kalau sang bos itu ingin mengambil cuti lagi namun hanya sehari saja di karenakan Leo kembali berkunjung ke New York.     

Jadilah di sini ia bersama dengan atmosfer canggung yang mengelilingi tubuhnya.     

"Astaga bosan sekali, aku harus apa."     

Belum mengantuk karena tadi ia menolak saat ingin di berikan obat tidur. Soalnya, selama seminggu ini juga kerjaannya hanya berbaring saja. Sangat pegal sekali, ingin keliling rumah sakit pun malas tidak ada pemandangan yang indah untuk menghalau rasa bosan pada dirinya.     

"Tidak, Erica. Aku belum tertidur,"     

Suara lemah lembut itu menyapa masuk ke dalam telinga Erica, membuat gadis ini langsung saja mengerjapkan kedua bola matanya. Melihat ke arah brankar seberang dengan sang pemilik yang sudah mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang dan menolehkan kepala ke arahnya.     

"Kenapa obat tidurnya tidak bereaksi pada mu?" tanya Erica dengan wajah datar, namun kilatan rasa penasaran yang hadir di kedua bola matanya itu menandakan jika dia butuh jawaban.     

Allea terkekeh kecil, lalu dengan tangannya yang di kepal, ia memperlihatkan apa yang berada di kepalan tangan kirinya itu. "Aku mengeluarkannya kembali, tidak ku telan." ucapnya sambil membuka telapak tangan dan menunjukkan pada Erica jika obat bius yang berbentuk kapsul berada di genggamannya.     

Erica menganggukan kepalanya, merasa paham. Bukan karena obatnya pait atau apa, itu sih tidak masalah. Justru yang menjadi masalah adalah durasi lama dari obat bius tersebut, saat terbangun setelah itu dapat di pastikan jika tubuh akan terasa sangat pegal karena terlalu lama berbaring. Ah hal itu yang terjadi pada Erica selama di rumah sakit, makanya untuk kali ini ia menolaknya.     

"Membosankan sekali berada di sini,"     

"Iya, Erica. Aku biasanya akan perang adu mulut bersama dengan Clarrie, ah aku jadi merindukan gadis tersebut."     

"Siapa dia? Adik mu?"     

"Tidak, dia seorang maid. Umurnya ya cukup setara dengan ku, namun lebih tua dia sekitar dua atau tiga tahun."     

"Enak sekali memiliki teman yang satu atap,"     

"Ada tidak enaknya juga, dia menyebalkan jadi aku sering sekali merajuk dan berakhir menatap dirinya dengan sebal."     

Erica yang mendengarkan penjelasan Allea pun menganggukkan kepalanya. Merasa jika kehidupan gadis tersebut memang jauh lebih berwarna daripada dirinya. "Apa kamu pernah memprioritaskan pekerjaan?" tanyanya yang mengubah haluan topik pembicaraan mereka. Dari rasa bosan, menjadi ke pekerjaan.     

Allea menaikkan sebelah alisnya, "Tentu saja tidak. Kalau memprioritaskan pekerjaan, pasti ada banyak hal tertunda tanpa di sadari." ucapnya sambil menatap lekat ke arah Erica.     

Wajah dengan pahatan sangat sempurna itu memang tiada tandingannya. Ia pikir Sean beruntung mendapatkan gadis yang bermodel seperti ini. Sudah tidak banyak bicara, sulit menunjukkan ekspresi lainnya, bahkan terkadang Erica bisa menjadi lembut hanya dengan orang-orang terdekat saja.     

"Ah menurutku mengerjakan tumpukan dokumen adalah hal yang paling menyenangkan." balas Erica sambil mengubah posisi arah pandangnya menjadi menatap ke langit-langit ruangan. Bahkan, sorot matanya terlihat menyorot. Entah tengah menerawang hal apa, yang pasti ia sedikit menyesali waktunya telah terbuang hampir 80% untuk pekerjaan.     

"Lalu? Apa kamu tidak berjalan-jalan, Erica?" tanya Allea yang masih mempertahankan arah pandangnya untuk menatap Erica yang justru sudah berpaling darinya.     

"Tidak, bagi ku itu hanya membuang-buang waktu."     

"Memang gadis pintar itu berbeda ya, lain halnya dengan aku memilih untuk tidak terlalu sibuk bekerja namun dan menyempatkan waktu untuk refreshing beberapa saat." ucap Allea memberikan penjelasan yang singkat namun mengambil benang merahnya saja.     

Bekerja pada Hana tentu saja tidak terlalu membebankan dirinya. Ah berbicara tentang Hana, ya? Ia menjadi sangat sedih sekali mengetahui jika gadis tersebut sudah tidak lagi berada di dunia.     

"Hei, apa aku salah berada di pihak kalian?" Pertanyaan itu muncul dari dalam mulut Allea. Kini, secara bergantian, dirinyalah yang mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit ruangan dan Erica yang refleks menatap ke arahnya.     

Dengan alis yang terangkat, namun wajah datar tetap membingkai. Erica sedikit berdehem, lalu membasahi dinding tenggorokannya dengan saliva yang di telan perlahan. "Menurutmu? Apa kamu menyesal terluka karena seorang Hana? Gadis yang kamu percaya ternyata telah melakukan ini semua pada diri mu? Kalau kamu merasa di pihak kita adalah sebuah kesalahan, lebih baik setelah ini kamu pergi saja." ucapnya dengan nada datar.     

Bisa-bisanya setelah kejadian besar ini Allea mempertanyakan hal bodoh? Menurutnya, gadis tersebut adalah pengalihan objek yang berhasil di lakukan Hana sebagai alat pengecoh. Mereka semua yang percaya kalau Allea adalah Hana yang menjalankan operasi besar-besaran, dan Allea itu sendiri yang dama sekali tidak tahu menahu malah membuat sang pembunuh terbaik berkelamin seorang gadis itu mulai menjalankan beberapa taktik yang dapat mengecoh.     

Anehnya lagi, setiap teror dari Hana dulu tidak meninggalkan jejak apapun, iya kan? Tertangkap CCTV atau ada orang yang melihat saja pun tidak. Apa lagi-lagi mereka semua dimainkan oleh teknologi canggih?     

Pusing, sebaiknya jangan memikirkan hal yang sudah berlalu itu. Namun, jika di hiraukan begitu saja, tentu menghadirkan sebuah perasaan yang jatuh menjadi rasa penasaran yang amat.     

"Ah tidak, bukan seperti itu. Hanya saja, Hana sudah memberikan segalanya yang terbaik untuk diriku. Namun tega sekali membuat aku terluka seperti ini, membuat kerangka robot yang sangat bagus hanya untuk membunuh diriku." ucap Allea dengan nada lirih, tatapannya mulai menyendu. Tak tau harus bagaimana, tapi kini ada rasa kecewa yang mulai membentuk di hatinya.     

Erica tidak ingin peduli, tapi ia lebih tidak ingin lagi mendengar seseorang menangis untuk hal yang sangat tidak berbobot.     

"Sebaiknya, pikirkan kesehatan mu. Lagipula, Luis Company masih menerima kehadiran dirimu saat semuanya sudah terbongkar." ucap Erica memberikan sebuah saran yang memang seharusnya dilakukan oleh gadis tersebut. Untuk apa memikirkan kejadian lalu yang hanya bisa menghadirkan rasa sakit saja? Iya, rasa sakit itu ada bermacam-macam, jadi bukan 'sakit' yang di ukur dari segi percintaan. Namun dari segi kepercayaan yang sudah hancur berkeping-keping.     

Allea menaikkan sebelah alisnya, di satu sisi ia merasa sangat senang namun di sisi lain ia merasa sangat tidak pantas. "Apa benar? Ku pikir dulu bekerja dengan seorang penjahat terkenal adalah hal yang paling keren tanpa memikirkan konsekuensinya terhadap masa depan." ucapnya.     

"Iya, semua ini berkat Xena." jawab Erica sambil menganggukkan kepalanya dengan mantap. Toh dirinya kan memang si sekretaris utama bersama dengan Xena, jadi tahu informasi lebih dulu daripada yang lainnya.     

"Kenapa gadis itu masih mampu memaafkan dengan apa yang telah di perlakukan orang lain?" tanya Allea dengan nada suara yang memang sangat kecil dengan sebuah senyuman tipis.     

Erica mengulas sebuah senyuman tipis. Walaupun Xena adalah sosok yang sangat menyebalkan, bahkan berkali-kali lipat lebih menyebalkan daripada Sean. Tapi gadis tersebut adalah orang yang paling pemaaf sedunia. Bahkan saat dirinya memilih untuk masuk ke dalam ruang lingkup Sean, walaupun Xena merasa khawatir tapi tak ayal masih bisa memberikan laki-laki yang bernotabene berbahaya itu untuk dekat dengan dirinya.     

Ada sesuatu yang spesial di tubuh Xena yang tidak bisa berada di tubuh orang lain.     

"Dia sahabatku yang terhebat," ucapnya sambil mengingat kepingan memori tersebut. Bekerja dengan satu ruangan dengan seorang gadis macam dirinya membuat Xena tidak kehabisan topik pembicaraan untuk mengajak ngobrol dirinya, ya memang sih pembahasannya sangat konyol. Terkadang membicarakan cuaca kota New York, ah terkadang gadis tersebut juga bercerita kegiatannya di kamar mandi bisa mengadakan konser solo di depan cermin panjang.     

"Aku menjadi merasa bersalah karena pernah bekerja untuk Hana,"     

"Hei, itu bukan salah kamu."     

"Iya, tapi ah... entahlah. Aku ingin memperbaiki semua ini, anggap saja aku mewakili Hana."     

"Ada Sean, bahkan laki-laki itu tidak perlu repot-repot meminta maaf pada Xena. Dia memang sangat menyebalkan dan terlalu dingin."     

"Iya, dari dulu aku tau bagaimana rasa benci Sean untuk Hana."     

Erica menganggukkan kepalanya, lalu menatap langit-langit ruangan ini lagi. Entah apa yang mereka tatap, tapi kali ini sangat menarik saja gitu untuk menjadi titik fokus pandangan.     

"Sebaiknya aku tertidur," ucapnya memutuskan untuk beristirahat. Ingin menunggu Sean pun rasanya sangat mustahil, karena apa? Ya karena laki-laki itu dengan gaya sok keren menembaki target yang tentu saja mendapatkan imbalan yang sangat besar. Membayangkannya wajah tengil Sean membuat dirinya bergidik ngeri, lebih baik ia tertidur saja.     

Allea yang mendengarkan ucapan Erica pun akhirnya menganggukkan kepala, setuju dengan apa yang di katakan oleh gadis tersebut. "Aku juga, tidak ada aktifitas menarik lainnya untuk di lakukan saat ini."     

"Dan besok kita akan keluar dari penjara tanpa jeruji besi ini, menyiksa sekali bagi diri ku yang tidak suka dengan obat-obatan."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.