My Coldest CEO

Seratus sembilan puluh empat



Seratus sembilan puluh empat

0Tok     

Tok     

Tok     

"Argh siapa lagi sih?" gumamnya sambil memutar kedua bola mata. Ayolah, ia ingin bekerja menyelesaikan semua data kantor yang lumayan membuat kepalanya terasa sangat pening.     

Dengan sebal, Orlin mulai beranjak dari duduknya. Ia tidak ada pilihan lainnya untuk meladeni seseorang di luar sana, ya alasannya karena tidak ingin membuang banyak waktu lagi, ia mulai berjalan mendekati pintu dan membukanya.     

"Hai, kerjaan ku sudah selesai. Jadi, ku pikir aku akan menemanimu di sini."     

Suara bariton yang sangat ia kenali itu mampu membuat dirinya mematung melihat seorang laki-laki yang selalu mampu untuk membangkitkan semangatnya.     

"AAAA AKU SENANG SEKALI, KENAPA KAMU ADA DI SINI?" pekiknya yang terlalu bersemangat melihat Niel dengan senyuman manis berada di depan pintu ruang kerjanya. Ah iya, jangan lupakan serangkai bunga mawar dengan dua buah box pizza di tangannya.     

Ayolah, masih sepagi ini...     

Niel terkekeh kecil, lalu sedikit mendorong tubuh gadisnya supaya kembali masuk ke dalam ruangan. Ia menutup pintu menggunakan siku, lalu menatap wajah Orlin yang terlihat berkali-kali lipat senangnya. "Apa? Kenapa melihat ku ini seperti melihat hantu di malam hari?" tanyanya sambil melangkahkan kaki menuju ke arah meja dengan di padukan sofa panjang yang berada di sudut ruangan. Mulai menaruh semua yang berada di tangannya, oh kecuali setangkai bunga mawar yang tetap di genggamnya.     

"Habisnya kenapa pagi-pagi sudah kesini?" tanya Orlin dengan tatapan bertanya-tanya. Tentu saja ia merasa kebingungan toh seharusnya kan Niel bekerja mengurusi tokonya, apa bolos satu hari saja untuk dirinya itu tidak masalah?     

Niel menganggukkan kepalanya, lalu mulai melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Orlin. Berdiri tepat di hadapan gadisnya, lalu tanpa aba-aba mulai memeluk tubuh gadis tersebut. "Aku pikir kamu sendiri di sini, jadi aku memutuskan untuk ke sini." ucapnya sambil mengelus belakang kepala gadisnya dengan perlahan.     

"Astaga, meninggalkan pekerjaan untukku?" tanya Orlin yang memang tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan laki-laki tersebut.     

Niel menganggukkan kepalanya, lalu melepas pelukan yang sangat erat itu membiarkan Orlin bernapas lega karena ia terlalu erat memeluknya. "Iya, memangnya apalagi yang paling romantis dari hal itu?" tanyanya sambil menaik turunkan kedua alisnya. "Ini bunganya, Putri Orlin." sambungnya sambil memberikan setangkai bunga itu ke hadapan Orlin. Senyuman merekah yang terlihat manik mata ketulusan di kedua bola matanya, menyorot sebuah pandangan sayang.     

Orlin mengulum sebuah senyuman yang sangat manis, lalu dengan haru meraih tangkai bunga tersebut lalu menghirupnya. "Kenapa bunganya jadi wangi parfum mu?" tanyanya sambil menatap Niel dengan tatapan geli. Bukan geli ke arah menjijikkan, tapi geli ke arah seperti merasa hangat dengan perlakuan kekasihnya.     

Niel sedikit menjulurkan lidahnya merasa malu dengan apa yang ia lakukan, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku semprotkan parfum milik ku, habisnya kalau mawar segar terkadang tidak berbau apapun. Jadi, biar wangi aku aja deh." ucapnya sambil terkekeh geli. Entah darimana ide semua itu, yang jelas dirinya hanya berinisiatif saja.     

Orlin hanya menganggukkan kepalanya saja, lalu melangkahkan kakinya ke arah meja kantor miliknya yang memang terdapat vas bunga dengan bunga asli, ada airnya juga." ucapnya sambil melepaskan tangkai bunga yang di lapisi dengan plastik itu, lalu di letakkan di sana. Membuang plastik tersebut ke dalam tempat sampah mini khusus sampah kering, lalu menepuk kedua telapak tangannya. "Indah bunganya, terimakasih." sambungnya sambil menatap ke arah Niel, ternyata laki-laki tersebut sudah melepaskan jas kerja yang melekat di tubuhnya.     

"Iya, Indah seperti diri mu." jawab Niel sambil mengacak-acak rambutnya dengan gerakan yang begitu keren. Ya memang siapa yang pernah menolak pose cool seorang laki-laki yang sedang memainkan rambut? Tidak ada.     

Blush     

Orlin tersipu malu. Gadis tersebut menghalau rona yang membingkai tepat di wajah cantiknya, lalu lebih memilih untuk mendaratkan bokongnya di atas kursi kebesarannya. "Jangan merayu, aku tidak akan jatuh ke dalam rayuan receh mu." ucapnya sambil memutar kedua bola matanya. Padahal, kini hatinya sudah saling bersahutan satu sama lain menyuarakan kebahagiaan.     

Niel mengangkat bahunya, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang di katakan Orlin barusan. Mulut memang bisa berbohong, namun raut wajah cantik yang tersipu malu itu tentu saja tidak akan pernah bisa berbohong. "Kalau di film Pinokio, kalah berbohong hidung mu akan panjang loh." ucapnya yang mengeluarkan nada ancaman, namun terdengar candaan.     

"Eh enak aja!" seru Orlin yang tidak setuju dengan apa yang di katakan Niel. Bayangkan jika hidung mancungnya ini tambah memanjang, oh astaga.. Menyebalkan pasti nantinya!     

Niel terkekeh geli, lalu meraih kantung pizza dan mengeluarkan satu kotak dari dalamnya. "Mau pizza, gak? Tadi ku beli saat di perjalanan menuju Luis Company." ucapnya sambil mengambil sepotong pizza, lalu ia menggigitnya sebesar gigitan laki-laki pada umumnya.     

Orlin yang sepertinya sudah bisa mengendalikan suasana hati itu langsung saja memutar kedua bola matanya, merasa tidak habis pikir dengan sang kekasih. Toh ceritanya kemarin ia menginap di rumah Niel, dan sudah pasti mereka di suguhkan sarapan oleh orang rumah. Ya walaupun hanya American breakfast yang memang porsinya tidal terlalu berat, tapi seharusnya itu sudah cukup.     

"Yasudah, aku lapar sekali. Tadi seperti habis kerja keras tanpa di beri makan sedikitpun," ucapnya sambil terkekeh kecil kala kunyahan di dalam mulutnya sudah turun menyapa sistem pencernaan.     

"Kamu kan baru makan tadi sama aku," ucap Orlin sambil mengambil sebuah dokumen yang langsung ia baca isinya. Kembali memeriksa pekerjaan yang menumpuk ini, daripada nanti didiamkan dan semakin menggunung, lebih baik ia segera tuntaskan.     

Niel melihat sosok pekerja keras yang terpancar dari tubuh gadisnya. Seberapa beruntung ia karena acara pernikahan yang nanti diadakan di ballroom besar sebuah hotel ternama atas patungan dari mereka berdua. Dengan lapang dada Orlin mengatakan 'Kekurangannya biar aku saja yang bayar', ah sebenarnya ka sudah menolak karena sudah pasti uang yang dimilikinya ini tidak akan kurang, namun dengan sangat keras kepala gadis tersebut ingin ikut menaruh dana pada pernikahan mereka. Istri idaman.     

"Nanti pulang larut malam, iya kan?"     

"Iya, sayang. Kenapa memangnya? Dan kamu kenapa tidak nanti saja kesini nya?"     

"Nanti ataupun sekarang ya sama saja, Orlin."     

"Ya tapi kan..."     

"Tapi kamu sayang aku?"     

"Tidak perlu terlalu percaya diri deh!"     

Dengan dengusan kecil, tentu saja Orlin mengabaikan ucapan manis yang dilontarkan oleh Niel. Memang mungkin saja bisa membuat dirinya meleleh, namun tidak di situasi seperti ini.     

Tangan Orlin mulai menggapai gagang telepon, lalu menghubungkan dirinya dengan kepala kantin di kantor ini. Ia pagi-pagi berniat memanaskan dirinya dengan minuman hangat.     

"Halo, Nona Orlin. Dengan Fino berbicara di seberang, ada yang bisa ku bantu?" ucap seseorang di seberang sana yang sudah pasti sangat di kenali oleh dirinya.     

Orlin tentu saja menganggukkan kepalanya, gerakan refleks yang biasa di keluarkan oleh beberapa orang di muka bumi ini. "Aku mau pesan coklat panas, ah iya jangan lupa sama camilannya ya. Seperti yang biasa ku pesan," ucapnya.     

Memangnya siapa yang tidak kenal dengan Fino? Kepala kantin yang memang sangat ramah, sayangnya kisah percintaan yang belok membuat para gadis sudah say goodbye terlebih dahulu saat melihat ketampanannya. Pernah berbicara dengan laki-laki tersebut, katanya pernah di kecewakan oleh seseorang yang sangat di sayang. Sudah di hadiahkan sebuah mansion mewah di hari ulang tahun mantan kekasihnya saat itu, tapi ternyata sudah memiliki suami.     

Miris? Tentu saja!     

Terdengar suara kekehan Fino yang terdengar renyah, "Selalu saja sarapan roti dengan coklat panas." ucapnya di seberang telepon yang sudah tahu sekali dengan kebiasaan seorang Orlin.     

Ikut terkekeh seperti apa yang dilakukan laki-laki itu, ia mengarahkan matanya pada Niel yang ternyata sudah menatap dirinya dengan tajam. Bahkan yang tadinya sibuk memakan pizza pun menjadi berhenti begitu saja.     

'Apa?' tanyanya dengan bahasa mulut tanpa suara.     

Merasa jika Niel tidak akan menjawab, Orlin kembali memusatkan perhatiannya pada telepon. "Satu lagi tolong bawakan sebuah soda dengan potongan es kecil di dalam gelas."     

"Noted, Nona. Ada tambahan lagi?" ucap Fino di seberang sana yang sepertinya sudah mencatat semua apa yang di butuhkan olehnya.     

Orlin mengingat-ingat lagi kalau kali saja ia ingin memesan menu lainnya, tapi ternyata ia tidak memiliki selera makan yang cukup baik. "Tentu saja tidak ada, terimakasih banyak." ucapnya sambil menggelengkan kepalanya kembali. Ia lagi-lagi menggerakkan kepalanya itu dengan sangat refleks.     

"Terimakasih kembali, Nona Orlin sayang." ucap Fino di seberang sana dengan nada bercanda, terdengar dari kekehan kecil selanjutnya setelah ia berucap seperti itu.     

Kalau saat ini mereka saling berhadapan, pasti dengan genit Fino itu mengedipkan sebelah mata ke arahnya. Padahal dirinya paling anti dengan para gadis, namun kalau sudah kenal seperti ini ya pasti akan terus menerus menggoda yang memang selalu di anggap candaan oleh orang lain termasuk Orlin.     

Dengan kekehan kecil, Orlin langsung saja mengembalikan kembali gagang telepon tersebut ke kotak telepon. Lalu menatap ke arah Niel lagi, "Ayolah Niel kamu kenapa?" tanyanya.     

"Masih bertanya? Iya?"     

Orlin memutar kinerja otaknya, mencari letak kesalahan yang kali saja ia perbuat tanpa sadar. "Oh tadi? Dia gay, sayang. Jangan cemburu, kamu seharusnya cemburu pada laki-laki seperti Sean." ucapnya sambil terkekeh geli melihat wajah sebal yang dikeluarkan oleh laki-laki yang masih duduk santai di sofa panjang.     

Niel tidak merasa malu sedikitpun, ia sama sekali tidak merasa bersalah saat sudah menaruh cemburu pada seorang gay. "Lalu? Biarkan saja, kan memang kelaminnya itu laki-laki. Kalau sudah operasi dan berubah, baru deh tidak masalah."     

'Lucu sekali.' pikir Orlin.     

Dengan kekehan kecil, Orlin melayangkan sebuah ciuman angin kepada laki-laki tersebut. "Maaf sayang, aku kan cuma sayang sama kamu." ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya, ah jangan lupakan bibir yang dibentuk seperti ingin mencium laki-laki tersebut namun dari jarak jauh.     

Karena sia-sia memang sih cemburu pada seorang gay, akhirnya Niel menghembuskan napasnya. Ia mulai beranjak dari duduknya, lalu segera berjalan mendekati Orlin dan berdiri tepat di dekat gadisnya. "Aku juga sangat menyayangi mu, maaf aku selalu over protective." ucapnya sambil meraih dagu Orlin yang memang terpahat sempurna itu.     

Mulai mendekatkan wajahnya pada wajah Orlin, lalu melumat bibir yang terlihat menggoda itu.     

Pagi ini, ada banyak hati yang merasakan kebahagiaan. Termasuk sepasang kekasih yang tengah menyalurkan sebuah perasaan kasih sayang antara satu sama lain. Lumatan yang terlihat sangat lembut, namun sebenarnya terasa panas, tentu saja hanya bagi Orlin.     

Orlin dan Niel adalah bukti, kalau hubungan masih bisa berjalan dengan mulus tanpa harus memberikan kabar setiap saat.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.