My Coldest CEO

Seratus sembilan puluh sembilan



Seratus sembilan puluh sembilan

0Malam sudah berganti pagi, dan kini kepulangan Erica dan Allea telah di konfirmasi oleh pihak rumah sakit. Dan ya? Sudah dapat di pastikan jika laki-laki bernama Sean Xavon akan dengan senang hatinya meninggalkan segala pekerjaan demi gadis yang dirinya sayang.     

Malu? Egois? Gengsi?     

Tidak ada lagi.     

Semuanya sudah mulai di susun apik untuk kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya. Eh tapi bukan berarti Sean berhenti menjadi seorang assassin. Tentu saja ia akan terus maju pantang mundur!     

"Kamu mau kemana? Jalan-jalan? Central Park? Times Square? Atau--"     

"Mau ke Luis Company, boleh?"     

Sean yang sedang menyetir itu langsung saja menolehkan kepala ke arah gadis yang berada di sampingnya ini, lalu detik kemudian kembali menaruh pandangan pada jalan raya. "Tidak, kamu belum sepenuhnya pulih." ucapnya yang memang tidak menyetujui ucapan Erica untuk bekerja. Hei, siapapun itu, pasti saat pulang dari rumah sakit yang diinginkan adalah berbaring di kasur rumah lalu kembali beristirahat. Namun gadisnya? Tentu saja berbeda.     

Erica menatap Sean dengan wajah yang sangat datar. Laki-laki tersebut selalu saja over protective terhadap dirinya, menyebalkan sekali. "Memangnya kenapa sih? Kasihan dengan Orlin dan Xena yang mengerjakan dokumen sebanyak itu." ucapnya sambil mengubah tatapannya menjadi memohon. Toh dirinya bekerja untuk memenuhi tanggung jawab dan kewajiban, bukan hanya untuk bermain-main dan pulangnya hangout keluar. Tentu saja tidak seperti itu, ia adalah tipe gadis yang masih mencintai pekerjaannya.     

Sean mengangkat bahunya, ia merasa tidak peduli dengan alasan yang di lontarkan Erica. Baginya, istirahat ya harus tetap istirahat. "Tidak, aku selalu tidak menerima penolakan dari apa yang aku perintahkan." ucapnya tak ingin mendengar penawaran lainnya lagi yang mungkin akan segera keluar dari mulut mungil gadisnya.     

Sedangkan Erica? Ia kembali mengubah raut wajahnya menjadi sangat datar. Hei sangat menyebalkan sekali, iya kan?!     

"Yasudah lah, terserah kamu. Aku sangat malas berdebat," ucapnya sambil mengalihkan pandangannya ke luar mobil. Melihat orang-orang yang berlalu lalang dan berbagai macam kegiatan lainnya di luar sana.     

Sean terkekeh kecil, namun ia sangat tidak ingin Erica kenapa-napa. Padahal, dokter bilang boleh saja asal tidak terlalu di paksakan, tahu kapan waktunya istirahat. Tapi tetap saja, ia sama sekali ingin membuat waktu istirahat gadisnya cukup. "Apa kamu merajuk pada ku, hei Erica." ucapnya sambil melirik sekilas Erica yang memang suka sekali mengubah-ubah suasana hatinya.     

Tadi dingin, datar, dan bahkan sulit di ajak kompromi. Tapi tadi sedetik kemudian berubah menjadi imut dengan tatapan memohon yang jarang sekali di perlihatkan.     

Erica hanya mendengus kecil. Ini lah yang dirinya tidak suka dari para laki-laki, pasti selalu tidak peka dan justru malah balik bertanya. Bukankah sudah jelas kalau dirinya merajuk?     

"Tidak, pikir saja sendiri." jawabannya tanpa ingin menolehkan kepalanya ke arah Sean. Seperti kini ia sedang berbicara pada kaca mobil, ya namanya juga sedang merajuk pasti enggan menoleh ke arah sang lawan bicara.     

"Kalau begitu, mana aku tahu apa yang sedang kamu rasakan, sayang."     

Blush     

Jangan merona, jangan merona...     

Berusaha seperti tetap stay cool, Erica sedikit berdehem guna menghalau rasa gugup yang tiba-tiba menyerang ke sekujur tubuhnya.     

"Ya makanya aku menyuruh diri mu berpikir, bodoh."     

"Kalau aku bodoh menurut mu itu tidak masalah karena hal itu memang benar."     

"Hah? Kenapa benar?"     

Refleks, Erica menolehkan kepalanya ke arah Sean. Memutar tubuhnya sampai kini bisa menatap wajah yang tampan yang terlihat dari samping itu. Bagaimana dirinya tidak terkejut? Seseorang dikatai bodoh bukannya marah, malah membenarkan hal itu tanpa protes sedikitpun.     

"Iya, karena aku bodoh saat sudah jatuh cinta pada diri mu. Rasanya ingin selalu berdekatan, dan tidak ingin kamu berada dalam situasi bahaya."     

Suara bariton yang terdengar sangat lembut itu langsung saja menyapa indra pendengaran Erica dengan sangat sopan. Membuat rongga dadanya sesak seperti dipenuhi oleh jutaan kupu-kupu yang membawa rona di wajahnya sampai terlihat memerah menjalar sampai daun telinga.     

"Jangan berbicara hal yang konyol, bahkan aku sama sekali tidak terpengaruh oleh ucapan mu."     

"Apa? Bahkan rona di wajah mu tentu saja tidak bisa berbohong."     

"Apa maksud mu rona? Ini hanya kulit sensitif ku, sangat panas di dalam mobil ini."     

Sean memutar kedua bola matanya, lalu terkekeh kecil dengan apa yang dikatakan oleh gadisnya itu. Sangat berbeda dari kenyataan.     

"Kalau aku benar jika pipi mu itu merona, aku berhak mendapatkan sebuah ciuman, ya?"     

"Eh, enak saja! Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Sean."     

"Apa? Itu kan hanya imbalan kalau diri ku menang, itu saja menjadi permasalahan bagi mu huft."     

"Tentu saja, dasar aneh."     

"Aneh atau tampan, heh?"     

"Mesum!"     

Erica memalingkan wajahnya kembali, dengusan sebal sudah menggambarkan jika dirinya ini sudah kelewat kesal dengan laki-laki tersebut.     

Sean terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya merasa gemas dengan tingkah Erica. Membelokkan mobilnya, masuk ke jalanan sepi yang jarang sekali dilewati oleh banyak orang, baik kendaraan umum atau pun pribadi.     

"Sebentar lagi sampai, Erica." ucapnya yang memecahkan suasana awkward di antara mereka karena tidak ada yang ingin membuka suara sama sekali. Jadilah ia mengeluarkan topik pembicaraan seperti ini.     

"Kamu tidak perlu mengatakannya juga aku sudah tahu, memangnya aku tidak memperhatikan sekeliling?"     

Merasa jika suasana hari Erica yang suka sekali berubah-ubah, tentu saja itu bukanlah masalah bagi Sean. Selagi gadisnya kini mulai gemar mengeluarkan berbagai macam ekspresi, dirinya sangat tidak masalah.     

"Hanya mengingatkan sayang,"     

Melawan ego, dan dia bisa dengan leluasa mengatakan rasa sayang yang mengendap di hatinya. Lalu, ia mendapatkan sebuah sifat baru yang hadir di dalam hidupnya. Mengatakan 'sayang' pada seseorang bahkan bukanlah hal buruk yang sebelumnya ia pikirkan.     

"Kalau begitu, lebih baik kamu diam."     

"Aku ingin menggoda kamu, Erica."     

"Biar apa sih? Dasar pembunuh bayaran yang sangat aneh!"     

"Sayang gak?"     

"Ya jelas enggak lah,"     

"Kalau cinta?"     

"Apalagi! Ya jelas enggak lah."     

"Kalau nyaman...?"     

"Engg--"     

"Enggak salah lagi!" seru Sean yang langsung memotong pembicaraan Erica bahkan gadis tersebut belum selesai mengeluarkan seluruh kalimat yang ingin ia ucapkan.     

Erica kembali menatap Sean dengan tajam, rasanya ingin menggumpalkan tubuh laki-laki itu sama seperti layaknya kertas supaya lecek dan langsung di buang deh ke dalam tempat sampah. "Whatever," gumamnya sambil memutar kedua bola mata. Tidak ingin menanggapi ucapan Sean lebih lama lagi, ia lebih memilih untuk mengalah saja.     

Sama seperti Erica yang sudah membungkam mulutnya, Sean juga melakukan hal itu. Gerbang besar utama sudah terbuka lebar melalui sensor jarak jauh, lalu tanpa perlu repot-repot untuk berhenti pun ia langsung saja melajukan mobilnya.     

Menepikan mobil di dekat garasi, lalu mematikan mesin mobilnya. "Tunggu di sini, jangan keluar dulu." ucap Sean yang langsung melepas seatbelt dari tubuhnya. Lalu tanpa mendengarkan apapun yang ingin di katakan Erica, ia langsung saja keluar dari mobil dan menutup pintunya.     

"What the hell," gumam Erica yang memang baru selesai melepaskan seatbelt dari tubuhnya. Ia melihat Sean yang memutari mobil, lalu berhenti tepat di samping pintu mobil yang memang menjadi tempat untuk keluar masuk dari sisinya.     

Ceklek     

Pintu mobil terbuka, lalu langsung saja Sean memasukkan setengah tubuhnya ke dalam mobil, lalu meraih tubuh Erica untuk menggendong gadisnya ala bridal style.     

"Eh?" gumam Erica sambil mengalungkan tangannya di leher Sean. Kedua manik mata mereka beradu, yang satu menatap dengan ketulusan, yang satu lagi dirinya dengan sorot mata tajam namun sedikit terkejut.     

Sean hanya mengulum sebuah senyuman yang sangat menawan, dengan sebelah mata yang berkedip. "Sudah aku bilang istirahat dulu, dan aku tidak akan membiarkan kamu merasa kesakitan."     

"Jadi, kamu modus?"     

"Bukan sih, lebih tepatnya mencari kesempatan dalam kesempitan."     

Mendengar hal itu, Erica langsung saja melayangkan tangannya ke arah pinggang Sean, lalu meluncurkan cubitan ganas di sana. "Menyebalkan!"     

Sean terkekeh kecil, lalu menegakkan kembali tubuhnya. "Jangan banyak bergerak, kamu tidak sadar ya kalau kamu itu berat?"     

"Yasudah, turunkan saja aku!"     

"Tidak mau, aku hanya bercanda."     

Mendengus kecil, lalu ia rasanya saat ini juga ingin menggigit lengan Sean kalau saja laki-laki itu tidak sedang menggendong tubuhnya.     

Sean mulai melangkahkan kakinya ke dalam rumah, lalu di sambut dengan beberapa maid yang memang sedang sibuk bekerja sesuai dengan bagian mereka.     

Mulai menaiki deretan anak tangga untuk sampai ke lantai dua tempat kamarnya berada, tanpa merasa berat sedikitpun. Tubuh Erica terlalu mungil untuk di katakan berat, apalagi tahu jika gadis tersebut lebih fokus bekerja dari pada menyempatkan diri untuk makan.     

"Seharusnya turunkan saja aku,"     

"Dan membiarkan kamu menaiki tangga setelah melakukan operasi dekat dada? Tentu saja aku bukan laki-laki yang seperti itu."     

Menyerah, Erica lebih memilih untuk diam saja dan menuruti segala ucapan Sean yang memang selalu seenaknya itu.     

Mereka mulai masuk ke dalam kamar, lalu Sean langsung saja meletakkan tubuh Erica di atas kasur king size miliknya. Menaruh dengan sangat perlahan, karena ia tahu kalau gadisnya adalah permata indah yang tidak boleh sampai pecah.     

"Tunggu di sini ya,"     

"Memangnya mau kemana?"     

"Penasaran kan?"     

"Tidak, hanya bertanya."     

"Aku akan membuatkan sup untuk mu, dan juga mungkin segelas jus."     

"Kamu bisa menyediakan itu? Bukan kamu kali, tapi Chef, jangan berboh--"     

"Tentu saja aku bisa memasak, jangan meremehkan diriku."     

Erica hanya menganggukkan kepalanya, supaya percakapan ini berujung. Soalnya, kalau ia melawan ya sama saja memperpanjang topik obrolan yang sangat tidak berbobot ini.     

"Yasudah, terimakasih banyak."     

"Apa? Katakanlah yang jelas, sepertinya aku tidak terlalu mendengar apa yang kamu katakan."     

Sean mengulum sebuah senyuman karena Erica yang jarang sekali mengucapkan 'magic word' pada dirinya.     

Erica memutar kedua bola matanya, "Tidak peduli dan tidak menerima pengulangan." ucapnya dengan nada dingin dan tatapan yang sinis. Tanpa ingin meladeni Sean lagi, ia segera menarik selimut sampai menutupi tubuhnya, lalu berbalik badan untuk membelakangi laki-laki tersebut.     

"Dasar gengsinya tinggi,"     

"Berkaca lah sebelum berbicara."     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.