My Coldest CEO

Dua ratus



Dua ratus

0"Aku tidak mau bekerja!"     

"Semua ini ulah mu, bosayang menyebalkan."     

"Di antara kedua paha ku sangat perih,"     

Xena dengan susah payah mengubah posisi tidurnya menjadi duduk di tepi kasur. Baru bangun tidur karena memang sangat lelah karena bisa-bisanya tadi malam Vrans membuat permainan dengan beberapa ronde. Dan kini, tubuhnya sangat lemas dengan selangkangan yang terasa perih.     

Sedangkan Vrans? Laki-laki itu menunjukkan raut wajah khawatirnya, lalu mengancing kemeja bagian atasnya, lalu menghampiri sang kekasih.     

"Kamu gak kenapa-kenapa? Masih sakit ya? maaf, yasudah kamu istirahat aja di rumah. Nanti semuanya aku yang urus," ucapnya sambil membungkukkan tubuhnya untuk mencium kening Xena. Tatapannya sangat tulus, apalagi meningkat kisah percintaan mereka tadi malam yang memang sangat menggairahkan.     

Xena menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang terucap dari mulut Vrans. Kalau laki-laki tersebut menyuruhnya untuk bekerja, lebih baik ia bolos saja kalau begitu!     

"Tentu saja memang seharusnya aku di rumah, ini perih sekali bosayang." ucapnya sambil meringis kecil. Ia sudah memakai tanktop dan di padukan boxer milik Vrans, namun tidak memakai dalaman apapun. Kalau misalnya hasrat laki-laki Vrans masih berfungsi, bisa aja habis dirinya pada pagi ini. Ah jangan sampai terjadi, Xena lelah.     

"Maafkan aku sayang, aku harus apa?"     

"Gak tau, berangkat kerja saja."     

"Tidak ingin mencium diri ku?"     

Xena menggelengkan kepalanya, lalu menunjuk ke arah beberapa tanda merah hasil karya Vrans pada lehernya yang jenjang itu. Ia bersemu malu, bisa-bisanya ia mendesah hanya karena di berikan beberapa buah kecupan berbekas di lehernya.     

Kecupan? Ah sepertinya lebih tepat lumatan yang cukup ganas sampai memerah seperti itu.     

"Tidak, bosayang!"     

"Sungguh? Bukankah tadi malam..."     

Blush     

Ucapan menggantung Vrans tentu saja membuat kedua pipi Xena langsung saja bersemu malu. Ia menggelengkan kepalanya, merasa tidak menyetujui dengan apa yang di katakan laki-laki tersebut. "Ah tidak! Aku tidak merasakan seperti itu," ucapnya dengan nada gugup.     

Jelas-jelas malam tadi memang dirinya yang meminta lanjut bahkan tidak ingin berhenti, di tambah lagi dengan Vrans yang tiada lelah menuruti segala permintaannya.     

Vrans terkemuka kecil, lalu mencubit gemas hidung mancung Xena. "Iya sayang, maaf ya jadi perih." ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya, ia menggoda Xena yang saat ini tengah bersemu malu. Padahal apa yang gadis itu lontarkan adalah sebuah kalimat kekesalan. Tapi memang ternyata apa yang terucap sangat berbeda dengan apa yang terlihat sesungguhnya, iya kan?     

"Jangan membahas hal itu lagi, Vrans."     

"Apa?"     

"Hentikan bosayang antartika! Kau membuat diriku sangat lah malu..."     

"Kalau begitu, aku akan menghilangkan rasa malu mu, bagaimana?"     

Xena menaikkan sebelah alisnya, menunggu kalimat selanjutnya yang akan di ucapkan oleh Vrans. Lagipula, memangnya bisa ya memudarkan suasana hati dengan cepat?     

Vrans mengulum sebuah senyuman yang sangat manis namun wajahnya terlihat misterius dan entahlah mengeluarkan ekspresi seperti apa.     

Dengan cepat karena Xena sangat lugu, tentu saja membuat dirinya langsung mendekati wajahnya dengan wajah gadis yang berada di hadapannya ini.     

Cup     

Lagi, Vrans memulai sebuah lumatan ringan yang memabukkan. Awalnya Xena menolak dan tidak ingin membuka mulutnya, namun namanya juga hasrat bisa terpancing dengan mudah, akhirnya ia memutuskan untuk membuka mulut tepat saat dirinya sedikit menggigit bibir bawah gadis tersebut.     

"Ashshhh, Vrans."     

Lenguhan singkat itu terdengar samar karena Xena memaksa untuk melepaskan pangutan mereka. Dan ya, Vrans menuruti hal itu. Ia menjilat bibirnya yang masih terdapat saliva milik Xena. Lalu dengan ibu jarinya, ia mengusap ujung bibir milik gadisnya supaya saliva yang tertinggal tidak terlihat menjijikkan.     

"Kamu nanti sarapan, aku akan bilang pada Chef untuk membuatkan mu sarapan yang sehat."     

"Memang selalu sehat, iya kan?"     

"Tidak, sarapan kali ini cukup salad dengan buah-buahan saja, oke?"     

Dengan menegakkan tubuhnya kembali, Vrans melangkahkan kakinya untuk mengambil tuxedo yang masih menggantung di gantungan panjang, biasa di khususkan untuk menaruh topi dan aksesoris Xena lainnya, namun ia alih fungsikan untuk menaruh gantungan jas kerja miliknya.     

Xena yang mendengar hal itu pun langsung saja membelalakkan matanya, "AKU BUKAN KELINCI, BOSAYANG MENYEBALKAN!" teriaknya dengan wajah sampai memerah. Bayangkan saja masa sarapan hanya salad? Ya mungkin untuk sebagian orang hal itu tidak masalah bahkan ada yang menjadi kebiasaan. Namun tidak bagi dirinya...     

Pancake, wafel, bacon plus sunny side egg, chicken sausage, dan berbagai macam makanan nikmat lainnya sudah menjadi menu kebiasaan baginya. Makanan itu bagaikan candu bagi dirinya, kenapa begitu? Ya pikirkan saja kenikmatannya.     

"Ya kan supaya nanti kamu terbiasa, sayang."     

Vrans hanya terkekeh, lalu memakai jas kerja ke tubuhnya. Ia menatap Xena dengan sangat lembut, lalu menyambar tas kerja di atas nakas. "Ingin memeluk ku atau tidak?" tanyanya sebelum melangkahkan kaki untuk pergi bekerja.     

Xena menggelengkan kepalanya, lalu menghembuskan napas. "Tidak, kamu berangkat saja bosayang." ucapnya sambil menggelengkan kepala lalu menjatuhkan diri kembali ke atas kasur.     

"Yasudah kalau begitu, ingat loh ya jangan lupa sarapan atau aku akan menelfon mu terus menerus."     

"Iya bosayang aku yang paling aku sayang, hati-hati di jalan." ucap Xena sambil melambai-lambaikan tangannya di udara seperti salam perpisahan yang selalu di pakai banyak orang.     

Vrans menganggukkan kepala, lalu segera melangkahkan kakinya keluar kamar. "Selamat istirahat gadis Pluto." ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata secara genit.     

Xena memutar kedua bola matanya, lalu bernapas lega saat Vrans sudah menutup kembali pintunya. Ia menatap langit-langit kamar, lalu tersenyum kecil. Apakah sang baby akan hadir ke dalam dunia ini? Astaga membayangkannya saja membuat kupu-kupu yang berada di rongga dadanya beterbangan menjadikan sebuah sesak yang sangat membuat pipinya merona.     

"Kalau gitu, aku mau tidur sebentar lagi deh."     

...     

Pagi yang cerah dengan udara dingin adalah perpaduan menarik. Membuah Leo tergoda untuk duduk di halaman belakang mansion yang menampilkan sebuah taman dan juga kolam renang pribadi.     

Di temani dengan segelas americano tentu saja membuat paginya terasa sangat sempurna. Iya, lagi dan lagi americano yang jadi peneman di kala sepinya. Ya memang siapa lagi? Ingin mencari pengganti hidup pun sadar diri karena ia sudah berumur --ah tapi wajahnya masih sangat tampan!--.     

Kicauan burung juga menjadi pengiring sepi, mengisi atmosfer kosong yang berada di sekelilingnya.     

Sudah bertahun-tahun sendiri membuat dirinya nyaman karena tidak memiliki tanggung jawab apapun selain kepada sang putra. Iya, dia adalah laki-laki yang berstatus ayah, sangat bertanggung jawab dan memenuhi segala kebutuhan Vrans.     

Lagi dan lagi, i-pad menjadi bahan untuk media penghiburnya saat ini.     

Drtt...     

Drtt...     

Drtt...     

Baru saja ia ingin menonton film yang seharusnya di pakai untuk melihat berita hari ini, ternyata ponselnya yang berada di atas meja kecil langsung saja bergetar memberitahu dirinya kalau ada seseorang yang menelepon.     

Terpaksa. Ia menaruh i-pad yang berada di tangannya ke atas meja, lalu berganti untuk menggenggam benda pipih yang sedaritadi bergetar itu. Membaca satu nama, ternyata sang sekretaris yang menelepon dirinya.     

"Halo, ada apa?" tanyanya yang langsung pada inti pembicaraan mereka. Pagi hari adalah waktu yang paling spesial bagi dirinya, jadi ya bisa di bilang ia tidak ingin di ganggu.     

Terdengar suara ringisan kecil di sana, seperti merasa tidak enak dengan Leo. "Ah maaf Tuan, ada beberapa kolega besar yang menanyai kehadiran mu di rapat tadi." ucap gadis di seberang sana dengan nada bicaranya yang sangat lembut.     

Leo berdehem kecil, masalah kolega memang sedikit sensitif sih karena terkadang mereka menginginkan kehadiran sang atasan namun ternyata dirinya tidak bisa. "Apa kamu sudah jelaskan kepada mereka kalau aku berkunjung ke New York?" tanyanya dengan nada tenang.     

"Sudah, Tuan. Untungnya mereka mengerti, namun dipertemukan selanjutnya mereka ingin Tuan Leo yang turun tangan. Katanya sih supaya lebih jelas saja kalau Tuan yang memberikan presentasi,"     

"Baiklah kalau begitu, mungkin lusa aku baru akan pulang. Ah bukan lusa deh, tapi lebih."     

"Tapi Tuan--"     

"Kamu kan sekretaris ku, ku harap kamu mengerti dan segera tangani ya. Jangan khawatir, gaji mu akan ku tambah untuk bulan ini." ucap Leo memotong apa yang ingin di ucapkan oleh sang sekretaris. Ia memang memiliki niatan untuk mengambil cuti panjang dari jauh-jauh hari, namun karena belum ada kesempatan dan tidak merelakan banyak pekerjaan terlantar, maka dari itu ia menundanya. Jadi, baru sempat hari ini.     

"Baiklah, akan ku tangani, Tuan. Urusan gaji, tidak perlu di tambah. Gaji ku sudah lebih dari cukup," ucap gadis di seberang sana dengan nada yang melemah. Seperti tidak enak dengan komisi besar yang selalu di berikan oleh Leo. Laki-laki yang sangat murah hati dan tidak pernah memikirkan pengeluaran uang untuk orang lain.     

Leo hanya terkekeh kecil, ia bahkan tidak keberatan menghabiskan uang untuk seseorang yang sudah bekerja keras dan menuntaskan pekerjaannya sama seperti apa yang dilakukan oleh sekretarisnya ini. "Tidak, hal itu tidak masalah. Anggap saja sebagai imbalan karena kamu sudah bekerja keras untukku," ucapnya.     

"Tapi kan Tuan--"     

Pip     

Leo langsung saja mematikan sambungan telepon mereka secara sepihak tanpa menunggu kalimat selanjutnya yang akan dikatakan gadis tersebut.     

Menaruh kembali ponselnya di atas meja, lalu meraih i-pad. Jemarinya mulai bergerak di atas layar alat elektronik tersebut, mengetik dan menggeser lalu memilih ingin melihat berita apa untuk hari ini. Ya anggap saja koran canggih karena praktis dalam satu benda pipih yang ukurannya cukup besar namun tidak seperti layaknya layar laptop.     

Setelah mendapatkan bacaan yang tepat, ia langsung saja meraih gagang cangkir lalu menyesap kopi tersebut. Ah nikmat sekali, apalagi saat minuman candu itu masuk ke dalam dinding tenggorokannya. Ia suka red wine, namun tidak terlalu. Americano masih menjadi pilihan minuman yang sangat menyita perhatiannya.     

Pagi yang sempurna untuk suasana Kota New York yang kembali ia rasakan. Banyak kenangan, namun kenangan itu tidak pernah membuat dirinya goyah pada masa sekarang yang tengah di tempuh oleh dirinya.     

Masa lalu hanya pengecoh supaya manusia tidak berani melangkah lebih maju lagi, tapi hal itu tidaklah berlaku bagi seorang Leonardo Luis.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.