My Coldest CEO

Delapan puluh empat



Delapan puluh empat

0"SELAMAT PAGI DUNIA DAN SEGALA ISINYA!"     

Xena mulai melangkahkan kaki dengan senyuman yang sangat sumringah, ah setiap detiknya bahkan ia mampu tersenyum untuk manis walaupun tidak ada hal yang memicu untuk mengeluarkan ekspresi tersebut. Tergolong seorang gadis yang ceria dan periang serta ramah adalah sifat mendukung dirinya yang membuat orang lain sudah terbiasa dengan senyuman tanpa alasan itu.     

Ia mulai menaruh tas jinjing miliknya di atas meja belajar, lalu melihat ke arah Erica yang sempat tersentak kaget dengan kehadirannya yang tanpa permisi sedikit pun. Ia menaikkan sebelah alisnya dengan rasa penasaran yang dalam melihat sahabatnya itu yang bahkan belum jam kerja sudah berkutat dengan laptopnya.     

"Erica, sedang mengerjakan apa?" Tanya Xena, tapi ia memilih untuk tetap pada posisinya tanpa mendekat ke arah Erica. Ia mengambil segelas coklat hangat yang memang setiap pagi berbagai macam minuman panas tersedia di atas mejanya, dan sepertinya ia perlu memberitahu Vrans atas kinerja luar biasa barista yang berada di Luis Company, patut di beri dua ibu jari.     

Mendengar pertanyaan Xena, akhirnya Erica mau tidak mau harus mengalihkan pandangannya dari layar laptop menjadi menatap ke arah sahabatnya itu yang pagi-pagi sudah berekspresi sumringah. "Biasa, mengatur jadwal ulang kinerja para maid di rumah Sean." jawabnya dengan asal, karena apa yang di ucapkan dirinya tidak benar. Faktanya, ia sedang mencaritahu tentang 'gedung tua' yang berhasil mempermainkan dirinya. Lalu jika menemukan data penting ia akan mulai metode copy paste yang dapat di lakukan dalam sistem pengoperasian komputer atau laptop dan barang lainnya yang biasa digunakan dalam berkomunikasi.     

Xena hanya mengangguk paham saja, satu cangkir coklat hangat sudah habis mengisi perutnya menjadi terasa hangat di pagi hari dengan sapuan dinginnya AC pada saat ini. "Apa Sean bersifat manis pada mu, Erica?" Tanyanya sambil menaruh kembali cangkir tersebut ke atas meja, lalu mulai mendaratkan bokong di atas kursi kerja miliknya. Membuat laptop, lalu menyalakannya untuk memulai sistem pengoperasian.     

Erica melemparkan seulas senyum kecil, lalu setelah itu ia mengangguk kecil seakan-akan menyetujui apa yang dipertanyakan sahabatnya itu. "Tentu saja, Sean lebih dari kata baik. Dia sangat baik." ucapnya sambil merenggangkan kedua tangannya ke udara. Ia datang lebih awal dari biasanya, jadi mungkin akibat dari posisi yang tidak nyaman saat ketiduran di sofa ruang merah hitam membuat tubuhnya pagi ini terasa pegal.     

"Tidak berbohong, kan?"     

"Untuk apa aku berbohong?"     

"Ya siapa tahu kamu menyembunyikan sesuatu dari ku, aku hanya tidak ingin kamu terluka."     

"Hei, aku baik-baik saja."     

Xena mendengus sebal kala mendengar jawaban Erica yang begitu yakin kalau gadis itu baik-baik saja saat berada satu ruang lingkup yang menurutnya sangat lebih menjerumus ke psikopat. Ia menatap Erica sampai kedua bola mata mereka beradu sempurna. "Kalau kamu kenapa-napa, aku yang merasa bersalah."     

Erica terkekeh mendengar penuturan dari Xena. Bersalah? Bahkan yang dengan pikiran tidak jernih menawarkan laki-laki itu untuk selalu hinggap di kehidupannya. Jadi jika ada orang yang patut di salahkan atas kejadian suatu saat, ia adalah orang yang tepat untuk itu. "Tenang saja, aku yang berbuat aku juga yang menerima konsekuensinya."     

Melihat raut wajah meyakinkan yang ditunjukkan oleh Erica, mau tidak mau Xena harus pasrah untuk mempercayai segala ucapan gadisnya itu. "Aku akan perhitungan pada Sean kalau sampai menyakiti mu," ucapnya. Mengingat luka gores yang di tinggalkan oleh Sean, tentu membuat wajahnya kini membekas sayatan yang sudah kering. Untung saja ia di beri salep penyembuhan dan pemudar bekas luka membuat dirinya tidak ingin hal serupa terjadi pada Erica.     

Ia tidak ingin orang lain merasakan kejadian buruk apa saja yang pernah menimpa dirinya.     

Memilih untuk tidak membahas Sean, Xena akhirnya memutuskan untuk merapihkan tumpukan dokumen di atas meja sesuai. Ia cukup malas untuk menata kembali apa yang sudah ia buat berantakan.     

Baru saja ingin menyusun dokumen tersebut supaya terlihat lebih rapih daripada sebelumnya, Xena menjentikkan jemarinya kala melupakan sesuatu yang harus di bicarakan pada Erica mengenai rencana pergi ke pusat perbelanjaan hanya untuk memburu diskon yang sangat di minati kaumnya dengan harga bersahabat. "Erica, nanti main yuk!" serunya dengan bersemangat. Ia benar-benar merasa senang jika Allea dan Erica bisa akrab lebih daripada dengan dirinya dan juga Orlin. Siapa tahu Allea adalah solusi untuk membuat pertahanan Erica hancur dan membuat gadis itu sedikit memiliki perasaan terhadap orang di sekitarnya.     

Erica yang baru saja ingin menyapu dinding tenggorokannya dengan air mineral langsung menghentikan kegiatannya pada saat itu juga. "Main? Kemana?" Tanyanya sambil menyibakkan poni rambutnya yang sudah mulai menusuk area mata, ia belum berangkat ke salon untuk bulan ini menjadikan rambutnya sedikit terbengkalai dari hari-hari sebelumnya. Waktunya kini juga sudah termakan habis dengan Sean yang seolah-olah tidak membiarkan dirinya untuk beristirahat.     

"Sama Allea, biasa ke pusat perbelanjaan." jawab Xena sambil menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya. Ia menatap ke arah Erica dengan alis yang hampir menyatu seperti menunggu jawaban seperti 'iya aku ikut' terlontar dari mulut Erica.     

Melihat hal itu, Erica langsung saja menggaruk pipi kanannya yang tidak gatal. Jujur saja setelah dirinya pulang dari kantor ingin langsung menemui Sean untuk bertanya lebih lanjut mengenai hal yang beberapa hari ini terasa genting dan pantas untuk di cari tahu. "Ah, iya. Aku sed--"     

"Ayolah, Erica..." ucap Xena memotong ucapan Erica yang belum selesai. Dengan jurus tatapan puppy eyes milik Xena yang terasa sangat mendukung untuk membuat wajah lebih memelas lagi membuat Erica langsung memutar kedua bola matanya.     

Erica menyipitkan kedua matanya, lalu pada akhirnya ia menghembuskan napas dengan perlahan. Bagaimana bisa ia menolak permintaan Xena? Lagipula sahabatnya itu jarang meminta hal yang aneh. Apalagi sampai membuat dirinya kalang kabut, tidak pernah. Jadi, meluangkan waktu dengan Xena itu bukanlah hal yang menjadi masalah. Ia juga bisa dekat dengan Allea dan memastikan jika gadis itu tidak memiliki rencana jahat apapun untuk melukai Xena. Selama ada Erica Vresila, sudah dapat di pastikan Xena Carleta Anderson akan aman.     

Pada detik itu juga, kedua bola mata Xena melebar. Lalu dengan refleks ia langsung menegakkan dirinya dan melompat sambil meninju udara dengan sangat riang. "YEAY! ERICA MEMANG TERBAIK!" pekiknya sambil terkekeh kecil, ia kembali duduk pada kursinya karena merasa lelah karena melompat dengan energi penuh tadi.     

"Iya." ucap Erica sambil memberikan Xena senyuman manis yang menawan. Ia hanya akan menunjukkannya pada Xena dan juga Orlin, bahkan Sean pun belum memiliki kesempatan untuk menikmati senyumnya yang langka itu. Menurutnya, hanya orang-orang penting dan terdekat saja yang bisa menikmati pesona yang disembunyikan oleh dirinya selama ini pada dunia sekitar. Karena menurutnya, kecantikan dan kesempurnaan tidak perlu di umbar.     

Di puji ya panjat syukur, kalau tidak juga bukan masalah besar. Hidup itu sebenarnya mudah, hanya saja ada beberapa orang yang membuat orang lain merasa rendah dengan apa yang dimiliki.     

"Nanti pakai mobil ku," ucap Erica mengingat ia tadi mengemudikan mobil sendiri ke Luis Company. Entahlah, ia menjadi kepikiran lagi betapa serunya menjadi Seorang Sean. Maksud Erica, laki-laki itu bisa banyak mengetahui dan menjelajahi masalah ini dengan mudahnya berkat bantuan alat canggih yang dimiliki. Sedangkan dirinya sendiri harus duduk berjam-jam bersama dengan tumpukan dokumen yang menumpuk. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru, jadi untuk solusinya ia selalu menuruti apapun perkataan Sean yang ingin membawa dirinya ke suatu tempat.     

Berani berpeluang, akan mendapatkan pengalaman baru yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, iya kan?     

Xena menaikkan sebelah alisnya. Pasalnya ia paham betul semenjak ada Sean di kehidupan Erica, mustahil sekali jika sahabatnya itu mengendarai mobil ke kantor. Biasanya ada jasa antar jemput yang di buka oleh Sean Xavon hanya untuk Erica seorang. "Memangnya kemana Sean?"     

"Dia sibuk mengurus pekerjaan, kamu tahu sendiri kan pembunuh bayaran seperti apa?" Tanya Erica yang di dalam hatinya berharap jika Xena tidak akan membahas hal ini lebih lanjut. Ia akui jika dirinya sangat payah dalam menjawab pertanyaan yang menurutnya mampu membuat ia skakmat. Ya karena tidak mungkin juga ia mengatakannya pada Xena jika Sean sedang membobol segala dokumen yang entah apa isi nya pada flashdisk Allea, iya kan? Bisa-bisa gadis itu kepikiran dari ujung kepala sampai ujung kaki.     

Merasa janggah dengan jawaban Erica, akhirnya Xena menyipitkan matanya berusaha masuk ke dalam manik mata Erica untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Ia yakin pasti ada sesuatu yabg disembunyikan sahabatnya itu dan yang perlu ia lakukan adalah mencari tahunya. Terlebih lagi saat Erica memberi alasan tentang kesibukan Sean. Padahal selama ini, Sean tidak pernah absen untuk mengantar jemput sahabatnya ini. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba saja memiliki alasan seperti itu? Sangat mencurigakan.     

"Bohong, iya kan?" Tanya Xena yang masih mencoba masuk menerawang tatapan datar Erica. Ayolah Xena, kamu tidak akan mendapatkan apapun dari wajah tanpa ekspresi itu.     

Dengan tenang, Erica terkekeh guna menutupi sedikit raut wajah bingungnya. "Bohong? Memangnya siapa yang ingin membohongi mu?"     

"Kamu," jawab Xena.     

Erica berdehem kecil. "Ada-ada saja, untuk apa aku melakukan hal itu?"     

Erica menggelengkan kepalanya, lalu mulai memfokuskan kembali pada layar laptop. Tersisah waktu setengah jam sebelum jam kantor dimulai. Ia bahkan membiarkan Xena yang kini sedang menyerukan namanya dengan gemas.     

"Ih Erica! Lihat ke arah ku!"     

Merasa di diami oleh Erica, akhirnya Xena menyerah lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi. Ia teringat tentang surat di atas meja Vrans yang kemarin ia baca. Sebuah surat yang tertuju untuk dirinya, bahkan dengan kalimat yang seperti membentuk sebuah ancaman. Sangat menyeramkan dan membuat dirinya gemetar ketakutan. Ia menatap langit-langit ruang kerja dirinya bersama dengan Erica.     

"Apa seseorang yang terbunuh dengan pistol bisa hidup kembali? Rasanya sangat mustahil." gumam Xena tanpa gadis itu sadari terdengar juga oleh Erica karena memang ruangan ini sangat hampa terlebih tidak ada yang berniat angkat suara seperti tadi mengobrol mengenai banyak hal. Dan pada detik itu juga, Erica membelalakan bola matanya merasa terkejut dengan apa yang di ucapkan Xena.     

...     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.