My Coldest CEO

Seratus dua puluh tujuh



Seratus dua puluh tujuh

0Pagi hari yang akan sama seperti pagi sebelumnya. Tidak ada yang spesial dan hampa selain adanya maid di rumah ini.     

Iya, dia Hana.     

Telah memusatkan pandangannya ke barisan kursi yang kini hanya berisikan dirinya seorang. Sedih? Tidak sih, hanya merasa seperti 'kenapa hidupnya ternyata sedatar ini?'. Bahkan, tiba-tiba saja ia merindukan seorang Sean yang dengan tatapan tajamnya selalu di luncurkan untuk dirinya seorang. Sarapan bersama, namun tidak ada obrolan yang disampaikan satu sama lain.     

Bahkan keadaan seperti itu lebih baik daripada seperti ini, iya kan?     

Hana menghembuskan napasnya dengan perlahan, lalu mulai menyuapkan satu sendok oatmeal ke dalam mulutnya dengan gerakan malas. Tidak, bukan karena sarapannya kali ini terkesan biasa saja. Tapi... ah sudahlah, kenapa menjadi membahas ini semua?     

Tidak perlu mengasihani Hana, dia lebih dari cukup sebagai gadis yang bisa menjaga dirinya sendiri dengan cara keren karena alat-alat canggihnya.     

"Nona muda ingin kemana nanti?"     

Suara bariton itu membuyarkan lamunan Hana, ia langsung saja menoleh ke arah Jeremy yang sudah berpakaian rapih dengan sebuah senyuman hangat. "Ku berharap akan melakukan sesuatu yang keren, tapi sepertinya malas." ucapnya sambil meraih gelas yang berisi fresh milk di dalamnya. Ia meneguknya pelan, hanya meminumnya sedikit saja guna membasahi dindingnya tenggorokan. Lalu kembali menaruh gelas yang berada di tangannya ke atas meja.     

Jeremy tampak menganggukkan kepalanya, "Apa ada yang mengganggu pikiran mu?" tanyanya sambil membenarkan letak napkin putih bersih yang kini berada tersampir di tangan kirinya.     

Hana yang mendengar pertanyaan Jeremy pun hanya mengangkat bahunya, merasa tidak ingin memberitahukan apa yang sebenarnya tengah ia rasakan saat ini. "Entah," ucapnya sambil menyuapkan satu sendok menu sarapan paginya lagi ke dalam mulutnya. Ia sudah berhenti untuk menatap ke arah Jeremy. Kini tatapannya memang lurus, tetapi kosong seolah-olah memberitahu pada orang yang melihatnya kalau ia tengah memikirkan sesuatu akan hal itu.     

"Kalau ada masalah besar, beritahu aku." ucap Jeremy yang masih tersenyum sopan.     

Tidak, ia bukan ingin modus atau sebagainya yang menjerumus ke arah negatif. Tapi dirinyalah yang kini bertugas untuk menjaga sang Tuan rumah dari segala bentuk bahaya dari segala aspek.     

"Tidak perlu, Jeremy. Jangan membuatku terlihat seperti anak kecil," ucap Hana sambil terkekeh kecil. Ingin mengatakan sesuatu lagi kepada Jeremy, tapi ponselnya berdering. Suasana yang cukup hampa, kini terpecahkan oleh deringan khas seseorang yang menghubungi nomor telepon miliknya itu.     

Jeremy yang melihat Hana ingin berbicara dengan orang di seberang sana, ia lebih memilih untuk pamit undur diri dan langsung berjalan ke sudut ruangan, memperhatikan gadis itu dari sudut yang strategis.     

Sedangkan Hana, kini ia melihat nama 'Sean' yang menghubungi dirinya duluan. "Heh?" ucapnya pelan karena refleks terkejut dengan apa yang tersuguh di depannya. Tanpa ingin membuang-buang waktu lebih lama, ia langsung saja menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.     

"Halo," ucap Hana memulai pembicaraan terlebih dahulu. Tak ayal, ia penasaran dengan adik kandungnya yang tiba-tiba saja menelpon.     

Terdengar suara deheman kecil dari seberang sana, lalu suara bariton lainnya mulai menyapa indra pendengaran Hana.     

"Hei yo, Hana. Apa kabar?"     

Sekali saja mendengar suara tersebut membuat Hana langsung mengetahui siapa orang lain yang tengah bersama dengan Sean itu. "Hai D. Krack, kabar ku baik." ucapnya sambil menyuap oatmeal sekali lagi ke dalam mulutnya.     

Entah kenapa laki-laki yang terkenal tidal suka dengan kehadirannya ini menanyakan sebuah kabar kepada dirinya.     

"Ingin menjadi kabar buruk bagimu?" tanya D. Krack di seberang sana. Padahal ia menunggu-nunggu Sean yang berbicara dengan dirinya. Tapi tidak ada satupun suara selain deheman tadi pertanda laki-laki itu lah yang memegang ponsel.     

Dalam hitungan detik, Hana langsung mengerti dengan artian 'kabar buruk' yang diucapkan oleh D. Krack pada dirinya. Sudah ia bilang jika laki-laki ini selalu memihak kepada Sean. Jadi, jika D. Krack menanyakan kabar, jangan langsung percaya kalau laki-laki itu benar-benar menanyakan kabarnya. Ayolah, itu hanya bentuk basa basi saja.     

Dengan senyuman yang terlihat miring, Hana langsung saja menganggukkan kepalanya tanda mengerti dengan topik pembicaraan yang terdengar seperti ingin mengatakan sesuatu bahaya bagi dirinya. "Oh berikan saja, dan apa itu?" tanyanya yang mulai memancing mereka untuk mengatakannya.     

"Kau pikir aku bodoh?" tanya D. Krack dari seberang sana diiringi dengan kekehan kecil.     

Sedangkan kini, Hana yang mendengar pertanyaan tidak berbobot itu pun langsung saja memutar kedua bola matanya. Seketika, semua 'kerinduan' tersirat yang tadi ia rasakan langsung musnah seketika. Ia semakin paham, kalau ternyata kesendirian memang lebih baik di temani oleh kesunyian. Tidak ada wajah-wajah yang dapat mengejek ataupun menatap dirinya dengan sorot mata sangat menjijikan seperti laki-laki hidung belang. Ayolah, ia tidak akan pernah membiarkan satu orang laki-laki pun datang ke kehidupannya.     

"Lalu? Untuk apa kamu menelepon ku?" tanya Hana dengan nada malas. Kalaupun kini Sean yang berbicara dengannya, sudah pasti ia akan meluncurkan kalimat sargah yang membuat laki-laki itu mati tidak berkutik karena merasa skakmat dengan ucapannya.     

"Iseng saja, siapa tahu karma sudah menyapa mu dengan ucapan 'hai Hana, aku datang menjemput takdir mu' seperti itu kira-kira." balas D. Krack dari seberang sana, saat berdialog seperti dirinya seolah-olah adalah si takdir, laki-laki itu mengubah nada bicaranya menjadi lebih lembut seperti seorang wanita.     

Hei, apa takdir memiliki gender? Kenapa D. Krack mengucapkannya dengan nada lembut? Oh astaga, sangat tidak penting sekali.     

Hana mendorong mangkuk yang tersisa sedikit oatmeal di dalamnya, ia sudah kenyang dan lebih tepatnya sudah tidak nafsu untuk menghabiskan menu sarapan pada pagi ini. "Bilang saja ingin mencari kesempatan," ucapnya.     

Gelak tawa ringan terdengar dari seberang telepon, membuat dirinya lagi dan lagi memutar bola mata dengan perasaan kesal.     

"Lebih baik menunggu tukang sampah kompleks daripada mencari kesempatan dengan ku,"     

Selain gelak tawa milik D. Krack, kini terdengar suara tawa milik Sean. Hal ini membuat Hana langsung menampilkan smirk pada wajahnya yang terpahat sempurna.     

Pion pion kecil miliknya kini sedang menikmati suasana biasa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Tapi sebenarnya, ia sudah menyiapkan segalanya. Entah membuat terkesan atau tidak, tapi ia sudah lebih dari sekedar kata keren untuk menyusun semua rencana ini.     

"Hai, Erica. Puas ya tertawa?"     

Hana sengaja mengubah panggilan untuk Sean menjadi nama seorang gadis yang dinyatakan sudah dekat beberapa minggu dengan laki-laki ini. Ia menunggu reaksi selanjutnya sambil menghitung amarah yang siap meledak pada hitungan yang di mulai dari tiga. Baiklah, sepertinya ia sangat gemar berhitung.     

3     

2     

1     

"Kalau sampai kamu berani menyentuh gadis ku, sudah ku pastikan kamu tidak akan selamat." ucap Sean di seberang sana dengan gerangan sangar yang seolah-olah sebentar lagi ingin membunuh seorang Hana Xavon. Kedua adik dan kakak yang tidak pernah akur ini memang sangat unik karena memiliki perasaan ingin membunuh pada satu pihak, dan pihak lainnya pandai memancing keadaan.     

Hana menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi yang panjang, ia melihat ke arah kuku jemari tangannya dengan seksama. "Coba saja, paling gagal lagi untuk yang kedua kalinya." ucapnya dengan nada yang meremehkan, jangan lupakan kekehan ringan terlepas dari mulutnya.     

"Jangan coba-coba untuk menyentuh gadis ku." ulang Sean dari seberang sana dengan nada yang sudah berubah menjadi datar, sangat datar. Bahkan jika laki-laki itu berada di hadapannya mungkin saja tatapan mengintimidasi sudah tersuguh untuk dirinya.     

Hana menaikkan sebelah alisnya, "Gadis mu? Oh ya? Ku pikir kamu masih menggantung dirinya seperti pakaian basah di belakang halaman rumah." ucapnya. Baiklah Hana, sudah seberapa jauh dirinya berhasil untuk menyulut amarah seorang Sean Xavon.     

"Jangan dengarkan kata-kata iblis," suara bariton D. Krack terdengar samar-samar. Sepertinya laki-laki itu mendengar ucapan Sean dan menebak jika dirinya tengah menggoda sang adik kecil.     

Namun tak ayal, Hana hanya mengulum senyuman geli sebagai respon lebih lanjut.     

"Akan segera menjadi 'gadis ku', tunggu saja." balas Sean dari seberang sana karena tidak mau di injak-injak seperti ini harga dirinya. Lihat, seolah-olah gadis itu menjelekkan dirinya karena tidak mampu bertindak lebih tapi sudah mengaku-ngaku hak kepemilikan.     

Hanan meniup ujung jemarinya. "Sebelum itu terjadi, aku sudah akan menewaskan Erica. Ayolah, jadi laki-laki itu harus melakukan sesuatu dengan segera." ucapnya.     

Lagi dan lagi, terdengar nada suara yang menahan kesal dengan apa yang diucapkan olehnya barusan. "Jangan coba-coba, Hana. Dan aku butuh waktu untuk mengungkapkan segalanya,"     

"Dan apa itu? Pengungkapan seorang assassin lemah yang akhirnya jatuh cinta? Menjijikkan." Masih ingin menyulut emosi Sean, ia semakin mengungkit perasaan sejati seorang pembunuh bayaran yang tidak seharusnya untuk jatuh cinta.     

"Lebih menjijikkan kamu yang selalu sendirian," sargah Sean dari seberang sana karena tidak mau kalah dengan apa yang dilontarkan Hana.     

Merasa tenggorokannya yang mengering, Hana langsung saja meraih segelas susu yang masih tersisa lalu meneguknya dengan segera. Setelah merasa dinding tenggorokannya sudah basah kembali, ia berdehem sambil meletakkan gelas yang berada di tangannya.     

"Sendiri lebih baik, aku bahkan bebas melakukan apapun yang aku mau tanpa harus memikirkan orang lain sedikitpun." ucap Hana mengatakan hal yang sebenarnya. Jika kehampaan adalah hal yang terbaik di dalam hidupnya karena pasti tidak akan pernah ada yang mengganggu kehidupannya.     

"Iyalah, kamu memiliki hati iblis." balas Sean dengan nada jengkel.     

"Apa bedanya dengan mu?" tanya Hana, ia membuat perbandingan sifat yang sekiranya ada sisi serupa antara Sean dengan dirinya. Yaitu gemar membunuh orang dan mendapatkan bayaran dari pekerjaannya itu.     

"Setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk jatuh cinta pada seorang gadis yang tepat," ucap Sean. Kali ini terdengar kekehan kecil seperti mengejek Hana yang tidak pernah merasakan secuil cinta di dalam hidupnya.     

Hana menarik senyuman yang menyeramkan.     

"Tepat kata mu? Iya, tepat untuk jadi target pembubuhan ku yang selanjutnya." gumamnya.     

Dan...     

Pip     

Sambungan terputus seketika dari pihaknya tanpa aba-aba apapun. Ia menaruh menurunkan ponsel yang tadi berada di telinganya. "Sepertinya aku tidak ingin di ganggu untuk hari ini," ucapnya setelah menoleh ke arah Jeremy.     

Saat mendapatkan respon anggukan kepala dari pekerja setianya itu, Hana langsung saja beranjak dari duduknya dan mulai melangkahkan kaki menaiki deretan anak tangga yang membawanya untuk menginjakkan kaki di lantai dua.     

Where men blindly follow the truth, remember... nothing is true.     

Where other men are limited by morality and law, remember... everything is permitted.     

We work in the dark to serve the light. We are assassins, nothing is true. Everything is permitted.      

- Ezio Auditore da Firenze (Assassin's Creed)     

...     

Next chapter     

:red_heart::red_heart::red_heart::red_heart::red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.