My Coldest CEO

Dua ratus satu



Dua ratus satu

0Akhir Pekan     

Katanya, akhir pekan itu adalah waktu yang sangat tepat untuk melepas penat. Dan apakah hal itu benar? Tentu saja tidak. Bagi Vrans, tidak ada kata libur kecuali bersama Xena. Ia tahu kalau akhir pekan kali ini, walaupun bersama gadisnya pasti akan terasa sibuk.     

Karena apa? Ada yang bisa menebak atau tidak?     

Ya, hari pernikahan yang ditunggu-tunggu sedang terlaksana tepat pada hari ini.     

"Bagaimana perasaan mu? Apakah baik?" tanya Leo kepada Vrans yang kini mereka berada di ruang rias, menatap sang putra tersayangnya dengan tatapan menggoda. Bayangkan dulu dirinya melihat Vrans yang masih kecil tanpa ekspresi bermain basket di belakang halaman rumah mereka, dan kini sudah ingin berada di altar pernikahan dengan sang pendeta.     

Vrans menarik napasnya, ia merasa sangat gugup bahkan sudah berlatih untuk mengucapkan sumpah pernikahan. Apalagi mengingat perwakilan dari keluarga kecil Klarisa juga berkunjung ke New York hanya untuk melihat pernikahannya. "Tidak, aku merasa baik." ucapnya dengan raut wajah datar, bahkan apa yang dikatakannya barusan ini seolah-olah mengatakan kalau dirinya sama sekali tidak merasa gugup sedikitpun.     

"Jangan berbohong, hadirnya peluh di pelipis mu sudah menggambarkan kalau kamu gugup." ucap Leo sambil berjalan ke arah Vrans yang kini sedang duduk di depan meja rias. Tentu saja di sini ada perias yang memoles wajah tampan milik putranya. Bekerja dengan sangat profesional, padahal ia tahu dalam hati sang perias wajah itu sebenarnya ingin memekik karena bisa bertemu apalagi mendandani seorang Vrans Moreo Luis.     

"Lalu? Aku harus bagaimana?"     

"Mudah, bayangkan saja kalau sang buah hati ada di antara kalian. Dengan begitu, kamu tidak akan gugup melihat wajah bayi yang belum ternoda oleh dosa."     

"Dan itu hal tersulit, Daddy. Kamu tahu dari dulu aku tidak menyukai bayi, bagaimana bisa aku membayangkan hal yang tidak ku suka?"     

Leo terkekeh kecil, ia ingat sekali saat ada kakaknya yang datang membawa bayi mereka.     

Throwback     

"Coba kamu hitung dulu semuanya, baru nanti kalau gak bisa tanya ke Daddy. Akan ku koreksi juga hasil pekerjaan mu." Leo menatap putranya yang sedang berkutat dengan soal matematika. Vrans baru saja masuk ke sekolah menengah, dan meminta pada dirinya untuk di ajarkan materi baru yang entah kenapa pekerjaan rumah sangat berbeda dengan apa yang di jelaskan oleh sang guru. Taktik mengajar, katanya sih seperti itu.     

Vrans hanya menganggukkan kepalanya, lalu tanpa ingin mengucapkan apapun pada Leo, ia segera mengalihkan pandangannya ke arah buku tulis yang sudah tertampil 15 soal matematika essay. Mengerjakan semampu dirinya, karena ia adalah sosok yang tanggap, namun kalau tugas berbeda dengan penjelasan yang diberikan tentu saja ia menjadi kurang paham.     

Memiliki Daddy yang tampan seperti Leo bukanlah hal yang menarik dan patut di banggakan. Tapi memiliki Daddy seperti Leo yang SANGAT CERDAS adalah hal yang patut dijadikan pacuan supaya kelak nanti ia akan menjadi seperti Leo.     

"Tuan Leo, maaf sebelumnya telah mengganggu. Nona Tania dengan Tuan Hans datang berkunjung,"     

Mendengar ucapan salah satu maid yang berada di rumah mereka, tentu saja langsung membuat Leo menolehkan kepalanya. Ia menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung dengan kehadiran sang kakak yang tidak ada kabar apapun.     

"Suruh mereka masuk," ucapnya sambil menganggukkan kepala, menanggapi ucapan sang maid yang memang sangat sopan itu.     

Maid tersebut menganggukkan kepalanya, lalu kembali melangkahkan kaki untuk ke luar mansion megah ini tempat dimana tamu rumahnya datang.     

"Nanti kamu beri salam sama Aunty Tania dan Uncle Hans, ya?"     

"Untuk?"     

"Ya supaya sopan santun, sayang."     

"Nanti aku salaman saja,"     

"Vrans... jangan mulai. Bersikap ramah lah dari sekarang, pelan-pelan pasti bisa."     

"Baik,"     

"Tapi tersenyum, ya? Jangan pernah lupakan gerakan yang membahagiakan orang itu."     

"Kalau ingat,"     

Leo menatap Vrans yang kembali berkutat pada buku tulisnya. Dengan pensil yang tentu saja memudahkan untuk di hapus kembali jika ada kesalahan membuat putranya tambah bersemangat dan langsung saja menyelesaikan soal matematika yang seperti teka teki.     

Menghembuskan napasnya dengan perlahan, ia sama sekali tidak menyalahkan sifat Vrans yang terlampau dingin. Tangannya mulai terjulur untuk mengelus lembut puncak kepala dengan tatanan rambut yang sangat rapih itu, memberikan seluruh rasa sayangnya. Padahal ia tahu kalau Vrans sudah beranjak dewasa, kekhawatiran soal sifat putranya yang kalau seperti itu pasti nanti dijauhkan banyak orang.     

"Hai selamat sore Adik Leo,"     

Menolehkan kepalanya, merasa di panggil dengan suara lembut yang sudah lama tidak terdengar di telinganya. "Hai Tania, apa kabar?" tanyanya sambil beranjak dari duduk di sofa, ia menatap Tania yang menggendong bayi yang sudah berumur tiga tahun itu. Lalu di sebelahnya ada Hans dengan rompi yang membingkai tubuh yang sangat atletis itu. "Apa kabar juga, bro?" sambungnya sambil memberikan high five.     

Tania mengangguk kepalanya, "Tentu saja kita berdua baik-baik saja."     

Leo terkekeh kecil, lalu menoel pipi gembul anaknya Tania. "Hai, Yuri." sapanya sambil menampilkan sebuah senyuman yang tampan.     

"Vlans?"     

Gumaman sang bayi kecil itu tentu saja membuat Leo membelalakkan kedua bola matanya. "Dia bisa memanggil putra ku?"     

"Tentu saja, karena aku selalu cerita dan sepertinya Yuri menyukai sosok Vrans."     

Setelah itu, Tania menurunkan gendongan Yuri, membiarkan sang buah hati menghampiri Vrans yang kini telah menatap mereka dengan datar. Astaga Leo meringis kecil saat tahu perilaku sang putranya yang sulit berubah.     

"Hai Uncle, Aunty, dan.. Yuri." sapa Vrans dengan nada bicara yang sangat datar.     

Ia melihat ke arah Yuri yang sudah berada di sampingnya, menatap dirinya tanpa kedip lalu tertawa khas bayi. Sangat menggemaskan, namun bagi dirinya ya biasa saja. "Hai,"     

Pada hitungan selanjutnya, Yuri langsung saja memeluk tubuh Vrans, liur di mulutnya berjatuhan sampai terkena hampir setiap sudut bajunya.     

"Daddy, kenapa bayi melakukan hal menjijikkan?"     

Pada saat itu juga, Leo tau kalau Vrans tidak menyukai seorang bayi.     

Throwback off     

"Jangan mentertawakan ku, Daddy."     

"Ya habis aku mengingat hari dimana Yuri membanjiri diri mu dengan air liur,"     

"Ya, dan itu sangat memalukan. Tertawa saja sampai merasa perut mu keram,"     

Vrans menatap pantulan wajahnya di cermin. Tuxedo mahal yang sudah di beli dirinya jauh hari sudah melekat di tubuhnya. Ia membayangkan jika dihadapannya ada seorang gadis cantik memakai gaun pengantin yang beberapa pekan lalu mereka mengadakan fitting gaun pernikahan.     

Leo yang sadar jika Vrans sedang membayangkan betapa cantiknya sosok Xena itu pun langsung saja menjentikkan jemarinya, merasa dapat ide supaya putranya ini tidak lagi gugup. "Bagaimana jika kamu membayangkan Xena sedang tidak memakai satu benang pun di tubuhnya?"     

Saran konyol yang memang sangat-sangat konyol, seperti tidak masuk akal dan sangat perlu untuk di tolak keras, ada-ada saja.     

"Tentu saja tidak mau,"     

"Memangnya punya cara lain? Kalau ada, segera lakukan supaya rasa gugup mu hilang."     

"Iya, aku sudah mendapatkan nya."     

"Dan apa itu?"     

"Rahasia."     

Vrans tersenyum miring, lalu membiarkan sang perias wajah yang mulai memoles dirinya dengan bedak, membuat wajahnya yang mulus nyaris terlihat tanpa pori-pori itu semakin terlihat fresh.     

Tok     

Tok     

Tok     

"VRANS!!"     

Deg     

Mendengar nada pekikan yang sudah sangat lama tidak di dengar oleh dirinya itu mulai memenuhi setiap sudut ruangan. Dengan memutar tubuhnya, membuat sang perias yang paham itu pun langsung saja memutar tubuhnya.     

Di sana terlihat Klarisa dengan dress putih panjang namun terdapat belahan di bagian paha kanannya sampai melebihi atas lutut. Bagian dada tertutup, namun punggung gadis tersebut terekspos sempurna.     

"Hai, Klarisa." sapanya dengan sebuah senyuman tipis, bagaimana pun ia sadar kalau gadis itu hanya sahabat serta masa lalu di kisah percintaannya.     

Klarisa sudah berdiri tepat di samping Leo, menyapa Daddy-nya dengan sangat ramah. Lalu kembali menatap ke arahnya. "Wah jadi ini Vrans yang sangat tampan? Sudah ingin menikah, heh?" ucapnya sambil terkekeh kecil lalu berjalan lebih mendekat ke arah Vrans. Menatap laki-laki tersebut, lalu menaruh jemarinya di dagu, merasa ada yang kurang dengan penampilan sahabatnya.     

"Apa?" tanya Vrans yang tentu saja menjadi sedikit gugup jika di perhatikan selekat itu.     

"Ah sepertinya ada yang kurang,"     

"Iya, kurang Xena di samping ku, iya kan?"     

"Ah tidak-tidak, penampilan mu ini..."     

Vrans menatap ke arah Klarisa yang tengah meraih sesuatu, ah itu adalah handkerchief.     

//Fyi; Handkerchief atau mungkin lebih dikenal dengan kata sapu tangan. Tidak sulit mencarinya, bahkan banyak dari jasa pembuatan jas menyiapkan handkerchief yang sesuai dengan dasi, jas dan rompi. Pemilihan handkerchief ini sendiri, cocok untuk Anda yang merupakan eksekutif muda dan moderen. Dan sangat di perlukan oleh sang pengantin laki-laki, oh atau bisa juga di padukan dengan corsage jika tidak ingin memakai ini//.     

"Kemarikan tubuh mu,"     

"Hm".     

Sesuai dengan perintah Klarisa, ia langsung saja mendekatkan tubuhnya ke arah gadis tersebut.     

"Kan seperti ini lebih menawan." ucap Klarisa sambil menatap puas hasil pekerjaannya.     

Vrans hanya menganggukkan kepalanya, lalu tersenyum kaku. "Terimakasih,"     

"Selamat ya untuk sahabat ku yang sudah ingin menjalin rumah tangga, sepertinya aku ingin kembali ke Damian, kedua putri ku juga menunggu."     

"Baiklah, hati-hati dan terimakasih sudah datang, Klarisa." jawabnya sambil mengulas sebuah senyuman hangat yang dulu suka sekali dirinya lontarkan untuk gadis tersebut.     

Melihat Klarisa yang menganggukkan kepalanya lalu melangkahkan kaki keluar ruangan ini, ia menghembuskan napas lega. Menoleh ke arah Leo yang kini sibuk menaik turunkan alis kepada dirinya. "Apa?" tanyanya sambil mengubah kembali raut wajahnya menjadi datar.     

"Dia kan mantan calon menantu Daddy?"     

"Tidak, jangan salah sangka."     

"Daddy tau dari kedua bola mata mu, jangan berbohong."     

"Iya iya Dad..."     

Malas menanggapi apa yang dikatakan oleh Leo itu, Vrans kembali mengubah posisinya. Ia menghadap ke cermin rias, lalu pantulan tubuhnya yang memang jauh lebih sempurna ketika di pakaikan andkerchief di saku tuxedo-nya.     

"Kamu sudah memilih orang yang tepat, Vrans. Lagipula keputusan yang bagus untuk membuang rasa sayang kepada gadis yang sudah memiliki suami, iya kan?"     

"Hm, Dad."     

"Dengar, cerna, dan lekatkan di otak kamu."     

Vrans mengulas sebuah senyuman yang lebih mirip ke arah keterpaksaan, karena tidak ingin memperpanjang masalah. "Iya, Daddy. Aku mengerti, lagipula aku sudah sayang dengan Xena. Kalau masih ingin mengejar Klarisa, berarti sama aja aku meninggalkan seseorang yang sangat berat, iya kan?"     

"Iya, itu kamu paham."     

Leo menepuk pundak Vrans, lalu mengatakan jika dirinya ingin mengobrol sebenarnya dengan para lebih kolega yang diundang dirinya juga ke sini.     

Sang perias pun pamit sebentar untuk mengecek keadaan Xena apakah polesannya yang di pegang perias lain sudah cukup atau belum.     

Dan kini, ia sendirian.     

Ternyata, melepas masa lalu memang bukanlah hal yang mudah. Perlu ada seseorang yang mampu menggantikan posisi itu, dan dia sudah bertemu dengan gadis konyol yang biasa dirinya sebut gadis Pluto.     

Tidak disangka mereka sebentar lagi akan terikat status pernikahan.     

"Hari yang bahagia, untuk memulai setiap inci kebahagiaan sebuah keluarga kecil."     

...     

Next chapter     

A/N     

Udah mau ending, masih bertahan kan? semoga masih ya. Maaf kolom A/N aku error jadi harus ngetik disini, terimakasih sudah stay di novelku :red_heart:     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.