My Coldest CEO

Dua ratus dua



Dua ratus dua

Di sisi lain ...     

Xena tengah menatap pantulan wajahnya di cermin. Melihat setiap inci wajah yang terbilang cantik miliknya, memperhatikan setiap aksesoris sederhana namun terlihat sangat menawan seperti kalung dengan berlian kecil yang sudah mengalungi lehernya, hadiah dari Vrans.     

Memiliki kekasih yang sangat sayang pada dirinya dan tidak pernah perhitungan masalah materi adalah hal yang paling beruntung dalam hidupnya.     

Hari besar dengan perasaan yang besar, semuanya tampak jauh lebih istimewa. Apalagi di datangi oleh banyak tamu undangan besar, bahkan Klarisa dan Damian ada di sini bersama kedua buah hati mereka. Hanya ada perwakilan media massa seperti wartawan saja yang bisa masuk ke dalam gedung yang sudah di sewa Vrans, tidak bisa seluruh wartawan masuk.     

"Kalau begini, kan putri Mommy terlihat sangat cantik."     

Nada suara yang lembut itu mulai masuk mengapa indra pendengaran Xena. Tanpa perlu repot-repot menolehkan kepalanya lagi, ia pun tahu dari pantulan cermin ada Tasya yang mulai berjalan ke arahnya. Iya, sejak kejadian dimana dirinya dikabarkan dalam bahaya karena sebagian pihak FBI turun tangan untuk menangani lokasi, sejak saat itu juga kedua orangtuanya ingin pulang.     

Menjenguk sang putri dan memastikan jika buah hati mereka baik-baik saja. Namun lagi-lagi, atas perintah Xena, gadis ini tidak ingin kedua orangtuanya meninggalkan pekerjaan yang berakibat akan menumpuk.     

Awalnya tentu saja Tasya dan Liam menolak akan hal itu, namun Xena sudah menangis memohon-mohon supaya jangan mendatangi dirinya dulu. Dari kecil memang ia sangat pengertian dengan urusan kedua orang tuanya, jadi ya perihal ini sudah biasa.     

Dengan mengulas sebuah senyuman yang sangat manis, Xena membiarkan Tasya yang kini sudah berdiri tepat di belakang tubuhnya yang di halangi dengan sandaran kursi. "Hai Mommy! Dimana Daddy? Apa dirinya--"     

"Tidak sayang, dia ada di sini. Namun seperti biasa, sedang berbincang-bincang dengan para kolega lainnya yang di undang Leo." ucap Tasya memotong ucapan Xena supaya gadis tersebut tidak mempunyai pikiran yang melenceng.     

Xena menganggukkan kepalanya, paham. Cara bisnis supaya lebih maju ya harus pandai-pandai bergaul di luar sana dengan para kolega besar yang terpandang. Lalu lambat laun pasti akan mengajukan sebuah kesepakatan antara dua perusahaan yang saling menguntungkan. Ah, pendapatnya salah ya?     

"Owh kalau seperti itu, apa aku juga harus berbicara pada mereka?"     

"Untuk apa?"     

"Ya untuk kenalan seperti ini 'halo aku putrinya Tuan Liam, perkenalkan nama saya Xena Carleta Anderson."     

Mendengar hal itu, tentu saja langsung membuat Tasya tertawa. Memang baginya Xena ini segala-galanya, namun ternyata ia sadar kalau apa yang menjadi segala-galanya itu selalu berada di puncak kesepian karena dulu dirinya hanya fokus untuk mencari uang supaya kehidupan putrinya sangat tercukupi.     

"Gak kerasa ya kamu sudah besar,"     

Tanpa sadar, senyuman Tasya menurun. Ia menatap Xena dengan mata berkaca-kaca lalu menghembuskan napasnya dengan perlahan. Dengan tangan yang terjulur untuk mengambil sebuah aksesoris jepitan berbentuk bunga, ia langsung saja menatap wajah putri kecilnya yang sudah beranjak dewasa ini.     

Xena menatap raut wajah lelah yang di tampilkan di wajah Tasya, salah satu wanita hebat yang selalu menjadi panutan dalam hidupnya walaupun sempat membuat dirinya merasa sepi dan sendirian. "Mommy, jangan sedih di hari yang paling bahagia bagi ku." ucapnya sambil menyentuh ringan punggung tangan Tasya yang berada di bahunya. Mengelusnya dengan perlahan, lalu tatapan mereka seperti bertemu di dalam cermin.     

"Tidak, siapa juga yang sedih?"     

"Mommy, memangnya siapa lagi? Aku?"     

"Tidak, bukan seperti itu sayang.. ayolah."     

Tasya terkekeh kecil, lalu tangannya dengan sangat terlatih mulai menyusun jepitan bunga-bunga itu di rambut Xena yang sudah di tata rapih supaya para anakan rambut tidak berjatuhan begitu saja.     

"Lalu? Kenapa Mommy terlihat sedih? Jangan berkaca-kaca seperti itu," ucap Xena dengan nada melemah. Ia adalah gadis yang memiliki sistem pertahanan suasana hati sangat rendah, terutama dalam hal emosi yang mengundang tangisan.     

Tasya menggelengkan kepalanya, namun ternyata hal itu hanyalah topeng semata.     

Tes     

Lihat, satu bulir air mata sudah menetes. Tepat membasahi permukaan pipinya yang terdapat sedikit kerutan pertanda jika dirinya sudah tidak lagi muda. Menghembuskan napasnya secara perlahan, menghalau rasa sesak karena kenyataan begitu menampar dirinya.     

"Eh? Mommy jangan nangis..."     

Refleks, Xena langsung saja memutar tubuhnya, mendongakkan kepala karena posisinya duduk di kursi rias. Yang ia lihat, terdapat pancaran kekecewaan yang entah di tunjukkan untuk siapa.     

"Ternyata menjadi orang tua, bisa gagal ya sayang."     

Menggelengkan kepalanya, Xena merasa tidak membenarkan ucapan Tasya. Ia tahu kalau orang tuanya bekerja terlalu keras karena mengejar urusan dunia, tapi ia pun tahu kalau semua itu untuk terjaminnya masa depannya.     

Tasya menundukkan kepalanya, melihat wajah cantik yang kedua bola matanya sudah berkaca-kaca sama seperti dirinya beberapa detik yang lalu. "Hei, hei jangan menangis nanti make up mu rusak. Tetap tersenyum, oke?"     

"Bagaimana Xena bisa tersenyum kalau ternyata Mommy saja menangis seperti ini?"     

"Siapa yang menangis? Tidak. Mommy hanya meneteskan satu air mata."     

"Dan itu sama saja, Mommy."     

Tasya meraih dagu tirus Xena, lalu menatap setiap inci yang terdapat di wajah putrinya tersebut. Memang pahatan wajah mereka sedikit berbeda dengan Xena yang memiliki lensa mata yang sama persis dengan Liam, namun hal itu tidak menjadikan dirinya iri dengan hasil sempurna antara perpaduan dirinya dengan sang suami.     

"Gadis kecil yang sudah beranjak besar," ucapnya sambil menoel hidung Xena. Setelah itu, ia melepaskan tangannya untuk tidak menyentuh putrinya, takut nanti make up-nya rusak.     

Xena masih belum bisa menampilkan senyumannya, apalagi saat melihat Tasya yang kini menunjukkan wajah penuh kebohongan. "Lebih baik Mommy cerita aja, apa yang Mommy rasakan?" tanyanya dengan raut wajah lugu.     

Tasya menggelengkan kepalanya, ia menolak permintaan Xena untuk menceritakan apa yang dirinya rasakan. "Tidak perlu, nanti kamu menangis." ucapnya sambil menghadirkan sebuah senyuman yang simpul.     

"Tentu saja tidak, aku kan bukan anak kecil!" seru Xena sambil mengerucutkan bibirnya. Ia paham sekali pasti di kedua mata Tasya dan Liam, dirinya masih sekecil waktu pertama kali lahir. Ah iya, memang orang tua selalu seperti itu.     

Menarik napasnya, Xena menatap Tasya seolah-olah dirinya sedang memohon sebuah permintaan untuk di belikan sesuatu. Ia ingin sekali mendengarkan apa yang dirasakan Mommy-nya selama ini, jangan-jangan dari dulu ia hanya salah paham saja? Bisa jadi, iya kan?     

Menarik sebuah kursi lagi yang memang di tepikan pada dinding, tak jauh dari pijakannya. Lalu mendaratkan bokong di sana, dan menatap Xena dengan sorot mata tulus dan sangat memancarkan tatapan penuh kasih sayang.     

"Maaf kalau Mommy tidak pernah jadi yang terbaik, tidak pernah ada saat pertumbuhan kembang kamu, bahkan Mommy tidak pernah hadir untuk membacakan dongeng atau lagi tidur untuk diri mu." ucapnya hanya dengan satu hembusan napas. Lagi, ia mengambil napas supaya apa yang ingin dikatakannya ini tidak tercekat di ujung tenggorokannya.     

"Mommy selalu kurang, tidak pernah bertanya bagaimana kabar mu di sekolah. Bahkan kita hampir tidak pernah makan satu meja, iya kan?"     

"Aku pikir, kebahagiaan itu di dapatkan ketika berhasil meraih keinginan. Namun ternyata kebahagiaan yang sesungguhnya jauh lebih sederhana, lihat kamu tersenyum misalnya."     

Mendengar segala ucapan Tasya yang jujur saja baru di dengar oleh Xena tepat pada saat ini pun membuat dirinya terasa ingin menangis. Namun kalau menangis, bisa-bisa nanti ia memoles kembali make up di wajahnya. Dan pasti nanti kedua bola matanya akan memerah dengan kelopak mata yang membesar.     

"Mommy, kamu itu sosok terbaik dalam hidup aku. Terkadang memang mungkin aja niat Mommy baik, tapi mempertaruhkan masa-masa hidup ku. Tapi tenang, masa lalu itu bukanlah hal yang pantas untuk di ingat."     

Xena menampilkan sebuah senyuman yang sangat tulus, meraih kedua tangan Tasya untuk di bawa ke pangkuannya. "Mommy adalah hal terindah yang aku punya, sampai detik ini. Terimakasih, dan Mommy tidak pernah gagal." gumamnya dengan nada yang sangat lembut. Ia mengelus punggung tangan Tasya, seolah-olah mengatakan pada sang Mommy kalau perihal masa lalu adalah hal yang paling tidak berguna untuk diingat.     

Tasya mengerjapkan kedua bola matanya, ia merasa sangat terharu dengan apa yang dikatakan oleh putrinya.     

"Kamu sungguh gadis Mommy yang luar biasa,"     

"Dan Mommy adalah orang tua terbaik yang aku punya. Mommy jangan ngerasa apapun yang nyakitin hati ya? Setiap orang pasti punya kesalahan, selagi Xena mampu maafin Mommy, kenapa enggak?"     

Takjub dengan jalan pikir Xena yang memang diluar nalar Tasya, ia pikir putrinya akan mengamuk saat membahas betapa buruknya masa lalu mereka. Ia memajukan tubuh, mendekat ke arah Xena untuk memeluk erat gadis tersebut.     

Mencium aroma... bubble gum? yang menceruak jelas dari tubuh Xena, namun hal itu bukanlah masalah yang besar.     

"Mommy bangga punya, kamu. Terimakasih banyak ya, sayang."     

Xena pun membalas pelukan Tasya yak kalah erat. Baginya, setiap kesalahan memiliki banyak celah untuk di maafkan. Ayolah, lagipula ia sudah tidak ingin memikirkan hal yang seperti itu.     

Tok     

Tok     

Tok     

Mereka melepaskan pelukannya satu sama lain, lalu menatap ke sumber suara dan di sana, berdirilah Liam yang tengah menatap sangat lembut ke arah mereka.     

"Ah sepertinya kalian melupakan ku, faktor penting di dalam kehidupan kita."     

Xena maupun Tasya terkekeh kecil mendengar apa yang dikatakan laki-laki tersebut. Lalu mereka pun sama-sama merentangkan tangan, seolah-olah menyuruh Liam mendekat.     

Tentu saja dengan langkah kaki yang gagah, ia langsung menghampiri kedua orang yang sangat disayanginya. Bergabung bersama mereka, lalu membuat pelukan seperti halnya keluarga kecil yang sempurna.     

Ketulusan selalu menghadirkan kata maaf yang tidak akan pernah kandas walau pernah merasakan sakit yang tidak pernah memiliki obat untuk menyembuhkannya.     

Dan itu adalah sifat Xena yang mudah sekali memaafkan, padahal takdir buruk dari dirinya kecil selalu mengikuti sampai beberapa hari yang lalu. Namun, ia tidak pernah menampilkan rasa putus asa. Justru semakin besar tantangan, mampu membuat dirinya menjadi pribadi yang tahan banting.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.