Istri Kecil Tuan Ju

Siapa Julian Baginya? (Cerita Sedikit Berubah)



Siapa Julian Baginya? (Cerita Sedikit Berubah)

0"Saya akan membantu anda membalut luka gadis ini, jadi anda bisa mandi sekarang! " Kata pelayan itu setelah kembali membawa kita P3K nya.     

"Aku akan melakukannya sendiri. "Maxwell mengambil kotak P3K itu tanpa melihat kearah pelayan nya.     

"Baiklah, kalau begitu anda perlu membersihkan dulu bagian pinggir dari setiap bagian luka nona ini. Setelah itu, anda baru boleh membalutnya dengan obat merah!"Kata kepala pelayan itu seraya memberikan petunjuk pada Max.      

"Saya bukan orang bodoh. Saya tahu aturannya. Jadi, jangan khawatirkan saya. Kamu tinggal bantu saya mengganti pakaiannya setelah ini! " Kata Max dengan nada suara yang cukup mengerikan.      

"Bukan begitu tuan. Tapi, saya yang sudah terbiasa melakukannya, itulah sebabnya saya memberikan anda petunjuk. "     

"Kamu siapkan air hangat saja untukku dan jangan banyak bicara lagi!"     

Pelayan itu langsung berlari menyiapkan air panas karena ia tidak mau membuat majikan marah.     

Beberapa saat kemudian.     

"Saya sudah siapkan Tuan!"     

"Baiklah, aku sudah selesai membalut lukanya. Sekarang, kamu bantu dia untuk mengganti pakainnya. "     

Setelah mengatakan itu, Max masuk ke kamar mandinya karena di memang butuh mandi setelah bekerja dan bermain.     

Pelayan itu menatap lekat wajah Qiara dengan ekspresi bingung. Tuannya adalah lelaki yang sangat pemilih dan jarang sekali terlihat bersama wanita. Bahkan, dia tidak pernah memberi perhatian lebih kepada teman-teman wanitanya. Tapi, apa yang dia lihat saat ini sangat berbeda dengan kenyataannya.      

Tanpa fikir panjang lagi, sang pelayan menggantikan pakaian Qiara dengan pakaian yang disediakan untuk tamu.      

Waktu berjalan begitu saja.      

Itu sudah jam dua malam. Max keluar dari ruang kerjanya karena sangat lapar. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara desahan dari balik kamarnya yang ditempati oleh Qiara.      

Karena penasaran, Max perlahan membuka pintu kamar itu.      

Sebelum masuk, ia mengintip ke seluruh penjuru ruangan dan menemukan Qiara masih tertidur sambil menggigil.      

Max pun langsung masuk karena sangat khawatir. .     

Setelah itu dia melangkah dengan cepat menuju ranjang.     

"Sepertinya dia menggigil, ada apa dengannya? " tanya Max pada diri nya dengan panik setelah duduk di samping tempat tidur Qiara.      

"Sepertinya dia panas dingin. Apakah dia demam? "     

Karena bingung, Max langsung membuat panggilan kepada salah satu dokter langganannya yang merupakan teman baiknya juga.      

"Hey, Maxwell ... Apa kamu tidak lihat jam kalau sedang menelpon? "Tanya seseorang yang dari seberang telpon dengan kesal.      

"Aku beri kamu waktu enam puluh detik untuk datang ke rumahku, bawa alatmu. Jika tidak, aku akan memotong kakimu."Kata Max dengn serius.      

"Baiklah." Walaupun ia temannya, tapi ia tetap merasa ngeri saat mendengar Maxwell yang mulai bicara serius.     

Sementara menunggu dokter, Max beranjak dari tempat tidur untuk mengambil obat dan kompres.      

"Julian. "     

Mendengar Qiara memanggil nama itu lagi, Max pun langsung menoleh dan menatap Qiara dengan tatapan yang aneh.     

"Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu?"Tanya Max yang berpura-pura menjadi Julian.      

"Tolong jangan temui aku lagi! "     

Satu kalimat itu keluar dari mulut Qiara yang menegaskan akan buruknya mimpi yang dia alami tentang Julian.      

Max menjadi penasaran akan hubungan Qiara dan Julian yang sebenarnya.      

"Pergilah! "kata Qiara lagi mengulangi kata-kata yang sama dengan ekspresi wajah yang ketakutan dan gemetaran.      

Mendengar itu, Max pun mencoba membangunkan Qiara karena dia fikir kalau Qiara sedang bermimpi buruk.      

Sayangnya Qiara tidak juga bangun. Max pun tidak punya pilihan selain memegang tangan Qiara sambil menunggu reaksi yang akan dia tunjukkan.      

'Ada hubungan apa gadis ini dengan Julian? Jika dia menggenggam erat tanganku maka Julian adalah lelaki yang penting baginya. Tapi, jika dia menyingkirkan tanganku maka Julian adalah orang yang jahat padanya. 'Batin Max serata menatap wajah Qiara yang mulai berkeringat.      

Setelah itu, Qiara menggenggam erat tangan Max, seketika itu ia langsung merasa tenang, dan Max mengerti kalau Julian adalah orang yang penting baginya.      

Beberapa saat kemudian, dokter selesai memeriksa Qiara dan menyatakan dia baik-baik saja. Seketika itu Maxwell merasa lega.     

Setelah dokter itu pergi, Max duduk di pinggir tempat tidur seraya memperhatikan wajah Qiara yang menggemaskan, setelah itu dia membantu Qiara untuk minum      

obat yang diberikan dokter itu untuk menurunkan panasnya.      

"Aku tidak tahu siapa namamu, jadi aku harus memeriksa dompet dan ponselmu. Namun, sebelum itu kamu minumlah obat ini agar besok kamu bisa segera sembuh!"kata Max sambil mengangkat bahu Qiara untuk membantu nya meminum obat itu.     

Max merasa lega karena Qiara mau menelan obat itu.      

Tidak lama setelah itu Qiara sedikit tenang dan tidak meringis lagi tapi keringat terus bercucuran di wajah nya.      

"Gadis baik, cepatlah sembuh! "Kata Max sambil tersenyum.      

Tidak lama setelah itu, ia memeriksa KTP Qiara untuk mengetahui namanya. Walau tidak sopan tapi dia tidak bisa menahan rasa penasarannya.      

"Jadi, nama kamu Qiara Larez? Nama yang cantik dan aku suka. Siapapun Julian bagimu, tapi aku akan menawanmu karena kamu sudah menawanku." Kata Max sambil tersenyum pada Qiara.      

Tepat saat itu, ia melihat tubuh Qiara bergetar dan menggigil. Max kembali panik.      

'Ada apa ini? Apakah dokter gila itu memberinya racun atau obat? Awas saja dia kalau berani melakukannya terhadap wanitaku. 'Batin Max seraya menyentuh wajah Qiara.      

"Kenapa dia tidak berhenti merintih kedinginan?"Kata Max lagi setelah membantunya dengan menggosokkan tangannya dengan tangan Qiara untuk memberinya rasa hangat.      

"Julian, dingin." Qiara kembali memanggil nama Julian dengan suara yang memilukan.     

Karena tidak mau memberi kesan yang buruk, Max tidak mengambil tindakan ekstra kecuali mengatur suhu kamar itu agar lebih hangat.      

Tidak lama kemudian, Qiara mulai merasakan suhu hangat dari AC kamar yang sudah diatur oleh Max.      

"Qiara ... Apakah kamu sudah lebih baik?" tanya Max sembari mengusap-usap tangan Qiara yang basah oleh keringat.     

Qiara belum juga merespon pertanyaan Max dan matanya masih terpejam seperti lem.      

Max semakin khawatir sehingga ia menelpon temannya itu lagi, sayangnya bateri ponselnya mati. Ia pun segera mengisi daya baterinya namun tidak punya waktu untuk melalukan panggilan lagi.      

"Kenapa panasmu gak turun-turun juga? Sungguh aku menyesal kenapa dulu aku tidak belajar ilmu kedokteran."kata Max seraya memeluk tubuh Qiara dengan berani.     

Sesaat Kemudian.     

"Aku dimana? "tanya Qiara saat matanya terbuka pelan dan merasakan ada tangan kekar merangkul tubuhnya.      

Seketika itu mata teduhnya langsung menyorot wajah tampan Max setelah melepaskan pelukannya.      

"Akhirnya kamu sadar juga." Ucap Max dengan bernafas lega.      

"Apa yang kamu rasakan sekarang? Apakah kamu ingin makan sesuatu?" Sambung Max lagi dengan ramah agar Qiara tidak takut.     

Walaupun berkali-kali mengajak Qiara bicara, tapi ia tetap tidak meresponnya.      

"Istirahatlah! "kata Max sambil mengelus rambut Qiara karena dia merasa kalau Qiara belum sadar betul.      

Qiara mematuhi apa yang diperintahkan Max karena dia masih menganggap Max adalah Julian.      

Malam itu, Max terjaga sampai pagi menahan mata nya untuk tidak tidur.      

'Julian Al Vero, apakah kamu akan marah besar jika aku meniduri gadis ini? Sepertinya bagimu dia sangat penting. Baiklah, aku akan membantumu membuatnya bahagia! 'Batin Max sambil membelai wajah Qiara.     

Sementara itu di rumah besar keluarga JJ. Julian tersentak bangun dari tidurnya setelah ia merasa sudah mendengar suara Qiara.     

"Qiara ... "     

Nafas Julian memburu saat mengeluarkan satu nama itu dari mulutnya.      

Hatinya tiba-tiba terasa sakit dan nafasnya sesak.     

"Kenapa mimpiku buruk sekali tentang Qiara, ada apa dengannya? Apakah dia baik-baik saja setelah bertemu denganku? Haruskah aku mengunjunginya setelah aku selesai pindah ke rumah ku?' Batin Julian seraya mengantur nafasnya.      

Tepat saat itu, sinar sang surya menyelinap di balik cenda kamarnya, angin sepoi di pagi hari bertiup lewat celah-celah kecil dan menyapu lembut wajah Julian yang tampan penuh karisma.      

Sinar itu jatuh tepat mengenai wajahnya yang baru saja terbangun seakan mengingatkan pagi yang selalu dia lewatkan bersama sosok Qiara.      

Kepada sosok yang dia rindukan itu, apa kabar ia kirimkan walau hanya lewat angin.      

Setelah itu Julian turun dari ranjang lalu membuka jendela kamarnya agar sinar mentari pagi leluasa masuk.      

Tepat saat itu, ia mendengar suara pintu di buka. Seketika itu Julian menoleh dan menemukan si Bintang kecil yang lembut sedang berdiri sambil mengucek matanya karena dia juga baru bangun tidur.      

"Bintang kecil, apa kamu baru bangun? "Tanya Julian sambil berjalan menghampirinya.      

"Iya. "Jawab Zio sambil mengangguk dan menguap.      

"Apa kamu masih mengantuk? "Julian tersenyum saat melihat mulut kecil dan bibir tipis itu menguap beberapa kali.     

Tangan kecilnya juga sibuk mengucek-ngucek matanya yang terasa gatal karena masih mengantuk.      

Tanpa menunggu jawaban Zio, Julian langsung mengangkat tubuh mungilnya ke dalam gendongannya dengan perasaan yang campur aduk.      

Langsung saja Zio memeluk leher Julian sambil memejamkan matanya dengan manja lalu merebahkan kepalanya di bahu Julian.      

Seketika itu ia tertidur kembali dengan begitu cepat seperti anak kelinci yang begitu lembut sedang menggelitik perasaan bahagia Julian sehingga hatinya menjadi hangat.      

'Anak ini begitu mirip dengan Mama nya, manja dan mudah tidur. Tapi, kalau ngamuk tidak ada yang bisa menghalanginya. Apa kamu rindu Mama sayang? Tapi, Papa tidak bisa mempertemukan mu. 'Batin Julian setelah merebahkan tubuh mungil itu di tempat tidur.      

Julian menatap lembut wajah mungil yang tampan, lembut dan sangat menggemaskan itu. Seketika itu hati Julian merasa sakit karena putranya tidak pernah merasakan pelukan hangat serang Ibu.      

"Julian, apa kamu jadi pindah hari ini?" Sarah masuk lalu berdiri di belakang Julian.     

"Iya. Maafkan aku jika harus pindah. Karena Zio tidak biasa dengan keramaian. Mama bisa datang sesekali jika Mama rindu padanya. " Kata Julian setelah berbalik melihat Sarah.     

"Baiklah, Mama mengerti. Ya sudah, kamu mandi saja dulu biar kita bisa sarapan bersama sebelum kalian pergi. Nanti, Mama yang akan memandikan Zio kalau dia sudah bangun!" Sarah mengambil Zio dari gendongan Julian dengan pelan agar Zio tidak terbangun.     

Setelah itu Julian masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan apapun pada Sarah yang sudah keluar membawa Zio.     

Rumah Maxwell.     

Diwaktu yang sama, sepasang kelopak mata cantik bergetar, perlahan dia membuka mata nya karena masih terasa begitu berat akibat demam yang dia rasakan semalam.      

"Ahh ..." Qiara merintih kesakitan saat ia akan mengangkat tangannya yang terluka.     

Tepat saat itu, suara kicauan burung dan sinar pagi sang surya menyelinap masuk ke kamar mewah itu, membuat mata Qiara yang belum sempurna terbuka berkedip-kedip karena silau.      

'Ini bukan kos ku, lalu dimana aku?'Batin Qiara saat menyadari tempat yang asing itu.     

"Selamat pagi Nona! Anda sudah bangun? "     

Qiara menoleh dengan bingung.     

"Siapa kamu dan dimana aku?" Qiara semakin terkejut saat melihat wanita asing itu berdiri sambil tersenyum kearahnya.     

" Saya kepala pelayan yang ditugaskan untuk melayani anda!"     

"Kepala pelayan? Memangnya kamu pelayan siapa?" Tanya Qiara dengan sikap waspada.     

"Ini rumah Tuan muda Maxwell, semalam anda ditolong dari para preman dan dibawa kesini. " jawab kepala pelayan itu dengan ramah.      

"Siapa dia?" Qiara tidak pernah mendengar nama Maxwell sebelumnya sehingga ia merasa kebingungan.     

"Tuan Muda ada di luar. Anda akan bertemu dengannya jika anda sudah selesai membersihkan diri. Kalau begitu, saya pamit keluar dulu agar anda bisa bersip-siap! " Setelah mengatakan itu, ia keluar dari kamar meninggalkan Qiara sendirian.     

Qiara semakin bingung, karena pelayan itu tidak memberikannya jawaban yang pantas. Namun, siapapun Maxwell, dia tidak akan pernah takut.      

Tepat saat itu, Qiara kembali di kejutkan saat ia menyadari kalau pakaiannya sudah berganti dengan baju tidur lelaki.      

'Damana pakaianku? Apakah semalam ia melakukan hal yang buruk padaku? Aku harus meminta pertanggung jawabannya.'     

Qiara segera turun dari ranjang sambil menahan rasa sakit dan sedikit pusing. Ia pun segera keluar menggunakan baju tidur itu.     

Dia berjalan menyusuri lorong dengan tatapan yang tajam seakan siap memakan orang yang sudah berani melakukan hal buruk padanya.     

"Dimana Tuan Muda mu? "tanya Qiara dengan sinis pada pelayan yang ia temui.     

"Tuan muda ada di ruang makan. Saya akan mengantar anda! "     

Pelayan itu langsung menunjukkan arah kepada Qiara dengan sopan. Qiara pun mengikuti pelayan itu dengan patuh.      

Ruang Makan.     

Sesampainya di ruang makan, untuk sesaat Qiara terdiam ketika bola matanya menangkap pemandangan yang mengherankan berupa lukisan indah terpahat rapi sedang duduk sambil tertidur.      

'Bukankah itu lelaki yang dulu hampir menabrak ku? Kenapa dia tidur di ruang makan? Apa dia gila? 'Batin Qiara seraya menyeringai kepada lelaki yang dia anggap hanya pemuda nakal.     

"Dia adalah tuan muda Maxwell yang saya ceritakan tadi! "Kata kepala pelayan yang menyambutnya di ruang makan itu.     

"Tuan muda Maxwell? Kenapa dia tiduran disini? "     

"Karena sudah dua hari tuan muda belum tidur, ditambah menjaga anda semalaman."Jawab kepala pelayan itu dengan berbisik agar tidak mengganggu tuan nya.      

"Benarkah? "Qiara bukan orang yang mudah terkesan pada sikap baik seseorang karena dia tidak begitu paham urusan perasaan dan emosi seseorang. Dia hanya perduli dengan apa yang dia pikirkan dan lihat sehingga ia tidak begitu percaya dengan cerita kepala pelayan itu.     

"Itu benar nona. Ya sudah, silahkan duduk dan sarapan. Akan tetapi tolong jangan ribut agar tidak membangunkan Tuan Muda!"     

Qiara tidak suka di ganggu pas makan. Oleh karena itu dia tidak berniat untuk membuat lelaki di depannya itu terbangun sehingga ia duduk dengan tenang di seberang lelaki itu.     

Sesekali dia menatap kearah lelaki yang masih memejamkan matanya itu tanpa bergerak sedikitpun. Seketika itu Qiara berfikir apakah dia manusia atau patung?     

'Apa dia patung? kenapa dia tidak bergerak sedikitpun, padahal dia dalam keadaan tertidur?' Batin Qiara sambil mengunyah makanannya.     

Qiara terus-terusan mengamati Maxwell yang belum juga terbangun sampai ia menghabiskan sarapannya.      

Karena Qiara merasa memiliki begitu banyak pertanyaan, ia pun tidak sabar untuk menunggu Maxwell terbangun, sehingga ia tidak punya pilihan selain membuat suara dengan memukul sendok di piringnya.     

Mendengar suara itu, Maxwell pun terbangun dan membuka matanya.     

"Kamu sudah bangun? Apa kamu butuh sesuatu dariku? "Tanya Max sembari menggeliat seperti anak kecil.      

"Tidak ada "     

"Apakah kamu sudah sarapan? "Tanya Maxwell dengan penuh perhatian.     

"Terimakasih sudah menolongku dan memberikan aku sarapan. Tapi, aku harus segera pergi!"Jawab Qiara setelah menyeka mulutnya tanpa emosi apapun.     

"Tapi, saya belum sarapan. Tidakkah kamu mau menemani saya sebentar? Setelah itu saya akan mengantarmu pulang. "Kata Maxwell dengan ekspresi yang menggemaskan.      

"Tidak perlu, saya harus segera pergi karena ada pekerjaan yang menunggu saya. Maaf tidak bisa memenuhi permintaanmu! "     

Qiara tidak mau berhutang banyak pada orang yang baru dia kenal karena itu akan menjadi parasit dalam langkahnya di masa depan.      

"Baiklah, sopirku akan mengantar mu pergi, karena di komplek ini jarang ada taxi kalau belum di pesan. Oh iya, ini ponselmu! "      

Maxwell bukan tipe lelaki yang suka memaksa wanita, ia lebih suka di perlakukan atas kemauan orang. Walaupun ia adalah orang yang keras kepala saat ia menginginkan sesuatu.     

"Baiklah, aku akan menerima tawaranmu. Oh iya, apa yang kamu lakukan dengan pakaianku?" Qiara baru mengingat kalau dia akan menyala bagian penting itu.     

"Pakaian mu kotor dan terdapat bercak darah disana. Oleh karena itu aku meminta pelayan ku mengganti nya. Tapi, kenapa kamu tidak menggunakan pakaian yang aku berikan?" Maxwell memperhatikan kalau Qiara masih menggunakan baju tidur itu sehingga ia langsung menanyakan nya.     

"Aku baik-baik saja menggunakan ini. Ya sudah, aku akan pergi sekarang. Setelah selesai aku cuci, aku pasti akan mengembalikannya." Setelah mengatakan itu, Qiara pun segera pergi dari hadapan Maxwell.     

Di depan pintu rumah Maxwell, mobil mewah terparkir dengan sopir yang sudah siapa membukakannya pintu belakang mobil.      

Tanpa pikir panjang lagi, Qiara pun segera masuk ke mobil karena dia harus datang ke YM Entertainment untuk tanda tangan kontrak lalu shooting pertamanya.     

Sementara itu, Julian dan Zio sedang berada di perjalanan menuju rumah lama Julian.     

Melihat jalanan yang penuh kenangan itu, Julian tanpa sadar meneteskan air mata karena di setiap jalan yang dia lalui, ada rindu yang yang mengoyak hatinya.     

"Papa kenapa nangis? "Pertanyaan Zio membuat Julian tersadar dan langsung menyeka air matanya.     

"Oh ... Papa hanya kelilipan karena tadi ada sesuatu yang masuk di mata Papa."Jawab Julian sambil memaksakan senyumnya.     

"Bohong!"     

Julian terdiam saat mendengar apa yang Zio katakan. Dia tidak menyangka kalau kemampuannya mendeteksi seseorang turun kepada putranya.      

"Hahaha ... Kamu pintar sayang. Papa memang berbohong karena malu. Padahal Papa nangis karena sedih meninggalkan nenek. "Kata Julian mengklarifikasi jawabannya yang sebelumnya.     

"Papa, bohong itu tidak boleh. Bukankah Papa yang ngajarin! "     

Julian tersenyum mendengar nasehat putranya itu yang sudah tumbuh besar dan selalu mengingat pesannya.     

"Betul itu. Oleh karena itu, Papa minta maaf! "Jawab Julian seraya membelai pipi Zio.      

Setelah mengatakan itu, Zio kembali melanjutkan lukisannya. Tanpa sengaja, Julian melirik lukisan Zio.     

"Bintang Kecil, kamu melukis apa? Kenapa orang yang disebelah tidak punya wajah? "Tanya Julian dengan heran.     

"Aku sedang melukis Papa, Zio dan Mama. Karena aku tidak pernah lihat Mama, makanya di lukisan ini, aku tidak melukis wajahnya. "Jawab Zio dengan polosnya.      

Mendengar jawaban putranya. Hati Julian langsung sakit. Dia tidak tau harus berkata apa karena dia bingung harus menjelaskan apa pada Zio tentang Mama nya.      

Rumah Julian.     

"Kita sudah sampai sayang dan ini rumah kita sekarang! Bagus kan? "Kata Julian mengalihkan pembicaraannya saat mobilnya memasuki halaman rumah lama nya itu.     

Zio langsung melihat rumah yang mewah dan dengan halaman yang luas itu.     

"Biasa sjaa! "jawab Zio tanpa emosi.      

Julian terdiam mendengar jawaban Zio yang datar. Anak itu seakan tahu kalau rumah itu penuh kenangan yang tidak ingin diingat oleh Papa nya namun sangat dirindukan.      

Tanpa mengatakan apapun, Julian turun membawa Zio. Semua pelayan langsung menyambut kedatangan Julian.      

Hanya saja, semua pelayan lamanya dipindahkan ke rumah keluarga Julian dan yang sekarang hanya ada pelayan baru dengan ketua pelayan bernama Bibi Liu.     

"Selamat datang kembali Tuan Ju dan Tuan kecil.!"Sambut Bibi Liu dengan ramah dan penuh hormat.     

"Terimakasih karena sudah menjaga rumah ini. Ini anaknya namanya Febrizio, tapi kamu bisa memanggilnya bintang kecil karena ia terbiasa dengan panggilan itu." Kata Julian tanpa emosi.     

"Halo Bintang Kecil!" Sapa bibi Liu sambil melambaikan tangannya.     

Zio malah bersembunyi di belakang papanya karena ia tidak menyukai orang baru.     

Seketika itu, Bibi Liu terdiam karena kehilangan kata-kata saat melihat Zio yang ketakutan melihatnya.     

'Anak Tuan Ju sangat tampan, tapi kenapa dia begitu dingin dan tatapannya sangat tidak biasa. Apakah ini karena dia tidak pernah melihat ibunya sejak lahir?' Batin Bibi Liu dengan perasaan kasihan.     

Bibi Liu pernah mendengar kalau Zio kehilangan ibu kandungnya setelah lahir sehingga ia merasa kasihan pada Zio.      

Kalau saja Bibi Mue masih bekerja disana, tentu ia tahu siapa ibu Zio dan bagaimana watak ibu kandung Zio. Sayangnya dia sudah pensiun Karen sering sakit-sakitan.     

"Maafkan dia, sepertinya dia lelah dan butuh istirahat. Apakah kamarnya sudah siap sesuai pesanan ku? "kata Julian saat melihat sikap putranya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.