Istri Kecil Tuan Ju

Merasa Beruntung.



Merasa Beruntung.

0"Oh astaga... Kenapa kamu memberiku hadiah seperti ini? " Tanya Qiara lagi dengan heran.     

"Aku ingin melamar mu dengan cara yang baik, karena aku tidak melakukannya sebelum kita menikah. Oleh karena itu, maukah kamu hidup bersamaku selamanya? Jika iya, kamu ambil cincin ini! " Jelas Julian sambil tersenyum kearah Qiara.      

"Aku ingin kamu yang memasangnya! " Setelah itu Qiara menjulurkan jarinya kearah Julian sambil tersenyum dan sedikit gemetar.     

Dengan senang hati Julian langsung memakaikannya cincin itu.      

"Terimakasih! " Ucap Julian sambil memeluk erat Qiara.     

"Aku juga berterimakasih karena kamu masih mau mencintaiku! " Qiara memeluk erat pinggang Julian dengan perasaan yang campur aduk.      

Julian hanya tersenyum mendengar ucapan Qiara karena ia tidak butuh ucapan terimakasih, ia hanya ingin Qiara selalu ada di sampingnya.     

'Apakah di masa lalu aku pernah menyelamatkan dunia sehingga Tuhan memberikan aku lelaki sebaik ini? Ia mencintaiku dan anakku. Terimakasih Tuhan karena sudah mempersatukan kami kembali. 'Batin Qiara .      

Setelah itu mereka berdua kembali masuk ke dalam rumah sambil bergandengan tangan dengan senyum yang merekah.     

Kebahagiaan mereka tambah lengkap lagi saat mereka melihat Zio sudah berdiri di depan pintu menunggu mereka.     

"Apa kamu menunggu Papa dan tante sayang? " Tanya Qiara sambil membungkuk menyamakan tingginya dengan Zio.     

"Aku tidak mau sarapan sendirian. " Jawab Zio dengan suaranya yang manja.     

"Ya ampun kasihan sekali. Baiklah, ayo kita makan sama-sama! "     

"Iya."     

Setelah itu mereka bertiga masuk ke dalam rumah dengan senang.      

Rumah Maxwell.     

Sementara itu, Maxwell baru saja selesai berolah raga. Tiba-tiba Rafael datang menghampirinya.      

"Ada apa?" Tanya Maxwell tanpa melihat Rafael.     

"Ada telpon untuk anda!" Jawab Rafael sembari menyerahkan ponselnya.     

Maxwell langsung mengambilnya tanpa mengatakan apapun. Setelah itu ia duduk sambil memperhatikan kebunnya yang indah.     

"Halo ... "     

"Bos ... Ada masalah!" Terdengar suara panik dari seberang telpon.     

"Katakan apa masalahnya? " Ujar Maxwell tanpa ekspresi.     

"Kebun anggur yang kita incar selama ini  sudah di ambil alih oleh JJ Grup."      

Maxwell langsung berdiri mendengar berita itu. Ia kaget karena JJ Grup bisa merebutnya dengan mudah. Padahal ia sudah mencoba beberapa kali tapi pemiliknya masih dalam pertimbangan.     

'Julian Al Vero, apakah ini tanda kalau kamu sudah mengibarkan bendera perang denganku? Apakah kamu mau mengulang sejarah lagi?' Batin Maxwell dengan ekspresi gelap.     

"Apakah kakekku tahu tentang ini?" Tanya Maxwell.     

"Belum ... "      

"Aku akan ke Paris hari ini juga. Jadi, pastikan agar kakekku tidak mendengar berita ini!'      

"Siap bos!"      

Setelah itu Maxwell melempar ponsel Rafael ke kolam renang yang berada di samping kanannya.      

'Ini sudah ke empat puluh lima kalinya bos menghancurkan ponselku. Untungnya aku tidak pernah menyimpan data penting di ponsel dan selalu membedakan ponsel pribadi dan yang khusus untuk pekerjaan. Kebiasaan buruk memang sulit di hilangkan.' Batin Rafael sambil menatap iba kearah kolam renang itu.     

"Siapkan ke berangakatan ku sekarang ke Paris! Aku akan perlihatkan kepada mereka siapa aku sebarnya.'" Perintah Maxwell.     

"Baik bos!" Setelah itu Rafael segera pergi untuk mengurus semua keperluan Maxwell.     

Paris.     

Beberapa Jam Kemudian, Maxwell sudah sampai di Paris. Ia langsung di sambut oleh anak buahnya yang berpakaian serba hitam.     

"Selamat datang di Paris Ketua ..." Sambut mereka semua dengan penuh hormat.     

Maxwell berdiri tegak lalu membuka kaca mata hitamnya. Ia lalu menatap semua anak buahnya dengan tatapan tajam.     

Setelah itu ia mengeluarkan tongkat berukuran kecil dari jasnya. Ia lalu mengatur panjangnya dengan ekspresi gelap.     

Seketika itu mereka semua bergidik ngeri, karena mereka tahu apa yang akan terjadi jika Maxwell sudah mengeluarkan tongkat andalannya itu.     

"Kalian bodoh ... " Teriak Maxwell sambil mendekat kearah anak buahnya lalu memukul mereka semua satu persatu.     

"Argh ..." Ringisan mereka terdengar pilu sehingga Rafael menunduk karena tidak sanggup melihat kegilaan Maxwell.     

"Ampun bos ... Kami tidak tahu kalau orang-orang JJ Grup datang merayu pemilik kebun. Dan sekarang kebun itu di awasi oleh semua anak buah Tuan Ju." Jelas salah satu dari mereka sambil menahan rasa sakit akibat pukulan Maxwell.     

Sayangnya penjelasan itu tidak membuat Maxwell berhenti memukul mereka.      

Setelah puas memukul mereka semu, Maxwell berjongkok sambil mencengkram baju salah satu dari mereka yang ditugaskan untuk memimpin.     

"Bukankah kamu tahu kalau aku tidak suka ada kesalahan? Aku sudah mengatakan kepada kamu kalau Kebun anggur itu akan menjadi hadiah ulang tahun untuk nenekku karena kebun itu satu-satunya bukti kisah cintanya dengan kakek ku. Tapi, karena kebodohanmu aku kehilangan semuanya. Apa kamu mau mati?"      

Setelah mengatakan itu, Maxwell langsung menampar keras wajah lelaki itu hingga ia tersungkur ke tanah dengan berlumur darah.     

"Ayo pergi!" Maxwell langsung mengajak Rafael meninggalkan tempat itu tanpa memperdulikan anak buahnya yang sedang terluka.     

Maxwell berjalan melewati mereka semua setelah memasang kembali kaca matanya. Rafael mengikutinya dengan patuh.     

'Julian ... Kamu sudah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya kamu sentuh. Oleh karena itu, aku tidak akan bermurah hati padamu lagi.' Batin Maxwell setelah masuk ke dalam mobil menuju rumah besarnya.     

Rumah Yumi.      

Siang itu, Yumi memutuskan untuk kembali ke rumahnya karena ia tidak mau berlama-lama tinggal di rumah Kevin. Walaupun sebenarnya ia sangat senang karena bisa melihat Gavin.     

 Tepat saat ia akan masuk ke kamarnya untuk istirahat, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.     

"Siapa itu?" Tanya Yunmi pada dirinya sendiri.     

Setelah lama bertanya-tanya, Yumi pun segera berlari menuju pintu karena orang yang berada di luar tidak berhenti mengetuknya.     

"Anda mau cari ..... " Yumi tidak bisa melanjutkan kata-katanya saat melihat siapa orang yang berada di balik pintu.     

"Nathan? "     

"Yumi ... Apakah kita bisa bicara?" tanya Nathan dengan gugup.     

"Maaf aku tidak bisa. Lagi pula, tidak ada yang harus dibicarakan diantara kita lagi!" Setelah itu Yumi segera menutup pintunya, akan tetapi Nathan langsung menghalanginya.     

"Tolong jangan tolak aku! Setidaknya izinkan aku bicara secara langsung denganmu." Kata Nathan dengan ekspresi memohon.     

Yumi akhirnya luluh sehingga ia membuka pintunya lebar-lebar. Entah kenapa ia tidak pernah bisa menolak pesona Nathan.     

"Terimakasih karena kamu sudah mau memberikan aku kesempatan untuk bicara. Tapi, aku ingin kita bicara di suatu tempat, bukan disini." Ucap Nathan sambil tersenyum.     

"Dimana?" Tanya Yumi dengan ketus.     

Tanpa mengatakan apapun, Nathan segera menarik Yumi untuk pergi dengannya.      

"Tunggu dulu, aku harus mengambil tas dan menutup pintu kamarku." Kata Yumi setelah melepaskan diri dari genggaman Nathan.     

Nathan pun membiarkan Yumi kembali ke dalam rumahnya.      

Sesaat kemudian, Yumi sudah siap dan segera mengikuti Nathan pergi.     

"Sebenarnya kamu mau mengajakku kemana?" Tanya Yumi dengan bingung setelah mereka cukup jauh dari rumah Yumi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.