Istri Kecil Tuan Ju

Masih Membekas.



Masih Membekas.

0Karena tidak bisa mengejar mobil yang membawa Vania. Julian pun pulang dengan perasaan yang kacau. Ia kembali mengurung diri di kamar karena sang Papa tidak mengijinkannya untuk pindah sekolah ke Jakarta.     

 'Selamat tinggal kota A. Selamat tinggal Julian. Terimakasih karena sudah menjadi sahabat yang baik buatku. Maaf karena tidak sempat pamit. Semua ini karena aku ingin pergi tanpa meneteskan air mata. Aku tidak mau kau tau kalau aku sakit. ' Batin Vania sebelum ia menarik kopernya untuk masuk ke Bandara bersama Papa.     

'Aku berharap semoga kamu selalu  bahagia. Sama seperti itu. Aku ingin kamu dapat menemukan teman yang jauh lebih baik dariku.' Lanjut Vania dengan mata yang berkaca-kaca.     

Sementara itu di dalam kamarnya. Julian menatap keluar jendela memperhatikan setiap daun yang berguguran setelah seminggu kepergian Vania yang membuat ya semakin merasa sangat kesepian.     

"Vania Aku merindukanmu! Sampai kapan aku harus menahannya? Berapa lama aku harus menunggu pertemuan kita? Berapa lama lagi tidurku harus terusik oleh kenangan tentangmu? Aku ingin menemuimu dan menyusulmu. Tapi , Papa ku belum juga menyetujuinya. Aku sekarang menyesali kebodohan ku karena membiarkanmu pergi begitu saja. Aku membiarkanmu pergi tanpa tau bagaimana perasaanku sebenarnya yang aku miliki padamu" Ucap Julian yang kini merasa patah hati.     

Kali ini, ia tau bagaimana rasa patah hati sebelum memulai. Ia pun menyesal karena beberapa kali ia pernah melakukannya kepada teman perempuannya yang lain. Sepanjang malam Julian habiskan tanpa tidur membuatnya selalu berharap akan ada keajaiban Vania muncul di depannya. Julian tetap menantikan kedatangan Vania di setiap sudut yang pernah mereka lalui bersama.     

"Vania ... Penantianku untuk bertemu denganmu tidak akan pernah membuatku lelah untuk menantikan hari pertemuan kita lagi. Agar aku bisa menyembuhkan seluruh rasa rinduku." Ucap Julian setelah itu ia memejamkan mata setelah lelah menatap dedaunan dari balik jendela. Hingga akhirnya. Julian di izinkan untuk pindah sekolah karena sang Mama tidak tega melihat Julian merengek sambil mengancam untuk kabur.     

"BACK" Mengingat semua kenangan itu. Julian membiarkan dirinya tenggelam dengan semua kenangan-kenangan tentang Vania yang tak bisa dia usir pergi, walaupun kepergian Vania sudah hampir setahun.     

Tepat saat itu. Julian di kagetkan oleh bunyi ponselnya. Ia pun segera mengangkatnya setelah menutup dompetnya dimana satu foto Vania tersimpan rapi.     

"Halo!" Sapa Julian setelah ia menggeser icon hijau di ponselnya.     

"Bos ... Apakah anda akan kembali hari ini?" Tanya Eny yang tidak lain adalah sekretarisnya.     

"Aku akan kembali besok. Ada apa?" Jawab Julian seraya mengendalikan emosinya.     

"Ada berkas yang harus anda tanda tangani. Selain itu, anda Juga ada jadwal bertemu beberapa tim sukses yang akan mendukung pemilihan Papa anda." Jelas Eny tanpa melewatkan satu informasi pun.     

"Baiklah! Kamu bisakan mengundur waktunya hingga sore.? Karena aku akan kembali di pagi hari." Jawab Julian.     

"Siap bos. Saya akan melaksanakannya." Setelah mengatakan itu, Eny menutup telpon dengan sopan.     

Sehabis bicara dengan Eny. Julian langsung melepas bajunya. Seketika itu tubuhnya yang bagus dengan garis kotak-kotak di perut membuat Julian terlihat begitu seksi. Tubuhnya yang tidak terlalu putih dan tidak gelap pula membuatnya semakin menggoda.     

Perlahan, Julian melangkah ke kamar mandi. Waktu terus berjalan. Tidak terasa Qiara membuka mata ketika mendengar adzan Asyar. Mengingat janjinya sama Qiano. Ia pun segera bangun dari tidurnya lalu bergegas menuju kamar mandi. Tidak lama kemudian. Qiara selesai mandi tepat saat ponselnya berbunyi dan itu dari Qiano. Ia pun langsung menggeser icon hijau di ponselnya.     

"Khemm ... Halo No!" Sapa Qiara dengan suara yang cukup lembut.     

"Halo ... Bisa bicara dengan Qiara?" Tanya Qiano seraya menahan senyumnya di seberang telpon.     

"Ini aku Qiara ... "Sahut Qiara dengan heran.     

"Masak sih? Tolong dong jangan berbohong! Karena saya kenal betul kalau suara Qiara itu kasar dan meninggi. Sedangkan kalau yang ini sangat lembut." Kata Qiano lagi.     

"Qiano ... Kamu nyebelin deh. Ini aku Qiara ... Memangnya kamu fikir siapa?" Teriak Qiara dengan kesal.     

"Nahhh ... Ini baru Qiara yang aku kenal. Sebab kalau dia tidak berteriak aku pun tidak akan pernah bisa mengenalinya. He he .. " Ucap Qiano sambil terkekeh.     

"Ihhh ... Dasar racun. Ya sudah, kita jadi ketemu gak nih?" Tanya Qiara dengan cemberut.     

"Tentu jadi dong! "Jawab Qiano dengan antusias.     

"Kalau begitu. Kita ketemu dimana? Kenapa sampai sekarang kamu tidak mengirim lokasinya?" Lanjut Qiara dengan tidak sabaran.     

"Setelah ini aku akan mengirim lokasinya. Jangan lupa untuk mengaktifkan lokasimu agar tidak nyasar ok." Setelah mengatakan itu. Qiano langsung menutup telponnya karena ia juga akan berangkat ke tempat yang sudah dia pilih untuk bertemu. Di waktu yang sama. Qiara melempar ponselnya ke tempat tidur. Setelah itu ia memilih pakaian Vania yang ingin dia gunakan. Kali ini Qiara tampak bersemangat untuk bertemu Qiano sampai ia sangat hati-hati dalam merias wajahnya, agar tidak terlihat mencolok atau pun biasa saja.     

Tidak lama setelah itu, ia selesai berdandan. Gaun yang Qiara gunakan terlihat lucu dan menggemaskan. Gaun itu menggunakan lengan panjang dan panjangnya selutut dan terlihat sangat serasi dengan kulit Qiara yang hitam manis. Kombinasi warna coklat muda menciptakan kesan manis dari penampilan Qiara.     

"Sayang ... Apa kamu sudah mau berangkat?" Tanya Papa yang menatap takjub kearah Qiara. Gaun yang dipilih Qiara adalah gaun yang sangat di sukai oleh Vania karena itu hadiah dari Julian untuk ulang tahunnya.     

"Iya. Temanku sudah menungguku Pa. " Jawab Qiara dengan malu-malu.     

"Kalau begitu Papa akan mengantarmu. Kebetulan sekaran ini Papa tidak ada kerjaan. Biar kamu tidak telat." Kata Papa sambil tersenyum manis dengan raut wajah penuh harap.     

"Tidak perlu Pa! Qiqi bisa naik taxi. Lagi pula kan, Papa harus banyak istirahat selagi ada di rumah. " Kata Qiara menolak dengan halus. Ia berfikir, tidak mungkin kalau dirinya diantar oleh Papa. Karena itu, sama artinya ia membongkar sikap buruknya pada Julian, terlebih yang dia temui adalah seorang laki-laki.     

"Baiklah kalau begitu. Kamu hati-hati di Jalan! Juga, jangan sampai pulang malam-malam ya!" Ucap Papa dengan raut wajah khawatir sebab ia tau kalau Qiara tidak pernah keluar sendirian sebelumnya selama dia ada di Jakarta.     

"Tentu ... Qiqi pulang sebelum magrib. Kalau begitu, Qiqi berangkat dulu ya Pa!" Kata Qiara seraya mencium punggung tangan Papa nya.     

"Ya sayang! Hati-hati di jalan!" Ucap Papa seraya menatap kosong kearah putri satu-satunya itu yang keluar dari rumah sendirian.     

Padahal ia tidak mengenal kota itu dengan baik sehingga Papa sangat khawatir melepaskan Qiara sendirian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.