Masuk Dalam Dunia Novel

Chapter 163 ( Istana Menjadi Sepi )



Chapter 163 ( Istana Menjadi Sepi )

0Belhart kemudian memutuskan untuk mengalah.     

"Baik. Aku mengerti. Dan tidak perlu khawatir karena aku punya banyak alarm di istana,"     

Masih ingin bertanya lebih jauh alarm seperti apa yang Belhart maksudkan. Neil yang sudah memegang payung, menghampiri Belhart. Menatap mereka berdua dengan pandangan tertentu.     

Neil sengaja sedikit menunduk ketika matanya bertemu dengan mata Belhart.     

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya baru saja membeli payung dan mencari Anda,"     

Diikuti dengan kemunculan para dayang Monna yang sibuk mencari Monna di tempat semula, setelah berhasil membeli beberapa payung besar.     

Datang dengan tergesa-gesa dan berlarian kecil mengabaikan rintik hujan yang masih turun. Namun sudah sedikit mereda.     

Ketiganya berebut untuk bicara lebih dulu.     

"Nyonya! Kami datang membawakan payung! Dan kami sempat kesulitan menemukan Anda.Tapi, ternyata Anda berada di sini?" panik dan merasa lega.     

Pertanyaan Merri disusul Lily.     

"Syukurlah jika Anda tidak sampai kehujanan!"     

Begitu juga Dessie yang merasa lega dan mengajukan usul.     

"Apa Anda ingin kembali?"     

Mengernyit dengan ekspresi lelah ketika keributan para dayangnya semakin mengundang banyak perhatian. Monna spontan menjawab lemah.     

"Ya.. aku rasa lebih baik seperti itu," ucapnya sembari membuat pertimbangan.     

Tidak yakin apakah hujan akan cepat berhenti. Atau mereka akan terjebak seharian di bawah atap kedai dengan orang-orang terus merasa penasaran dengan siapa mereka sebenarnya.     

Belhart lalu berbalik.     

"Dimana kereta kuda kalian? Aku akan mengantar. Dan kalian tunjukkan jalannya,"     

Monna tidak langsung merasa yakin.     

"Tapi aku ragu. Karena aku sudah menyuruh Paman Lumian untuk menunggu kami sampai petang,"     

Belhart membalas.     

"Tidak apa-apa. Kita coba saja ke sana dulu. Baru memutuskan,"     

Semua mengangguk. Bersama-sama pergi.     

Namun, dengan cekatan. Belhart mengambil salah satu payung yang paling besar. Memayungkan Monna dan menyuruhnya berjalan mendekat.     

"Kemarilah. Kita lebih baik satu payung,"     

Monna sontak terkejut dan gugup.     

"Tidak, Yang Mulia! Bagaimana mungkin saya bisa membiarkan Anda yang memegang payung? Merri atau Lily bisa memayungkanku!"     

Belhart lantas melirik para dayang yang terpaku di tempat.     

"Tunggu apa lagi. Kalian tidak ingin menunjukkan jalan?" ucap Belhart penuh perintah. Dan memberikan penegasan bahwa tugas para dayang adalah hanya menunjukkan jalan.     

Merri reflek menjawab.     

"Ya! Yang Mulia! Sebelah sana!" teriak Merri panik. Menunjuk salah satu arah.     

Monna yang sudah tidak memiliki pegangan, terpaksa mengalah. Mengikuti keinginan Belhart untuk satu payung dengannya dan berjalan ke sisinya demi agar mendapatkan peneduh.     

Payung yang para dayang beli, ternyata lebih dari cukup untuk menampung dua orang di bawahnya. Meraih tangan yang menjulur ketika keseimbangan perlu mereka pertahankan agar tidak sampai kehujanan.     

Belhart diam-diam menggoreskan senyum samar.     

Hujan ini ternyata membawa berkah dan keuntungan baginya. Bisa membuat alasan agar sentuhan tangannya tidak menjadi aneh.     

Deg!     

Monna terus menahan napas. Takut jika kegugupannya berhasil terbaca dan napasnya mengganggu.     

Belhart menegur pelan.     

"Apa yang kau lakukan dengan menahan napas?"     

Menatap dengan linglung. Monna menelan saliva-nya.     

"Anda tahu?"     

"Ya. Karena karena aku tidak merasakan hebusan napasmu."     

Merasa malu. Monna perlahan menghembuskan napasnya.     

Sulit memang. Tapi, tangan besar yang mendadak menyentuh pundak dan memayunginya.     

Benarkah itu, Belhart?     

Perjalanan terasa sunyi. Keduanya sama-sama tidak berkata apapun. Bukan karena tidak ingin. Melainkan tidak sanggup. Karena terlalu banyak yang sedang mereka pikirkan.     

Apalagi Monna yang merasakan tubuhnya memanas. Padahal cuaca sedang dingin dan dia sempat bersin.     

Mereka berenam akhirnya sampai di depan kereta kuda. Menemukan sosok Lumian yang sedang berada di tempat kemudi beratapnya.     

Lumian lalu turun. Mengabaikan rintik hujan dan membiarkan tubuhnya basah. Dan hanya wajahnya yang selamat dari hujan karena mengenakan topi.     

"Anda kehujanan , Nyonya?!"     

Langsung bertanya ketika berhasil menghampiri Monna.     

Lumian nampak terkejut ketika mengenali Putra Mahkota. Pernah bertemu dengannya beberapa kali ketika mengantar keluarga Bourston datang ke istana. Lumian bisa langsung mengenalinya walaupun pakaian yang Putra Mahkota kenakan saat ini sangat berbeda.     

"Y-Yang Mulia!"     

Menjadi sungkan dan menunduk.     

Monna menggunakan kesempatan ini untuk bertanya.     

"Paman Lumian? Anda sudah berada di sini, padahal aku menyuruh Anda untuk kembali ketika hari sudah menjelang petang?"     

"Ya, Nyonya. Karena tiba-tiba saja hujan. Jadi saya khawatir pada Anda mungkin saja kembali lebih awal,"     

Monna mengangguk paham.     

"Kalau begitu kita langsung kembali dan berpisah sampai di sini,"     

Kata 'pisah' selalu menjadi kata-kata yang Belhart benci. Apalagi jika kata-kata itu diucapkan oleh Cattarina.     

Namun, Belhart memutuskan untuk bersikap netral.     

"Baiklah. Kau benar. Dan kembalilah dengan selamat,"     

Memberikan gagang payung pada Lumian.     

Neil yang sigap langsung membukakan payung untuk Belhart.     

Melirik sekilas, lalu pergi meninggalkan Monna tanpa mengucapkan apapun lagi. Perpisahaan ini agaknya memunculkan sedikit perasaan aneh dalam benak Monna ketika dia ikut berbalik.     

"Ayo, Paman. Kita kembali dan buat Therens tidak panik,"     

***     

Seperti yang Monna dan beberapa dayang menduga. Therens nampak sangat marah ketika Monna berani mengunci dan kabur dari rumah.     

Sudah melarang pergi. Tapi lega ketika semua baik-baik saja.     

Sementara di dalam istana yang sunyi.     

Neil yang masih penasaran terhadap beberapa hal menemui Belhart.     

"Ada apa Neil? Tidak biasanya kau berinisiatif sendiri datang menemuiku ketika aku tidak memanggilmu?"     

Menatap Neil dengan sangat serius. Belhart tahu, hari ini Neil terlihat sedikit berbeda ketika dia bertemu dengan Cattarina.     

Diam beberapa saat, Neil yang sedang mengusun kata-kata. Ragu sejenak.     

"Istana ini menjadi sepi, Yang Mulia."     

"Sepi?"     

"Ya. Dan saya juga tidak punya banyak pekerjaan yang bisa saya lakukan,"     

"Termasuk tugas yang sudah aku berikan untuk melatih pada ksatria di istana. Kau masih saja merasa hal itu kurang?"     

Neil belum memberikan jawaban.     

Pekerjaan melatih para ksatria memang memakan waktu banyak. Apalagi pekerjaan itu dilakukan setiap hari. Tapi jelas bukan hanya pekerjaan ini yang Neil inginkan.     

Sama halnya ketika dia menjaga dan melindungi Putri Mahkota. Tugas melatih ksatria memang jauh lebih berat.     

Tapi, ada hal lain yang terasa kosong dan membosankan.     

Tidak ada yang menyuruhnya melakukan hal aneh-aneh dan tidak ada yang..     

"Kau ingin aku mengajakmu sekali-kali minum teh?" tanya Belhart yang memperkirakan masalah hati Neil.     

Menatap dengan perasaan tidak enak.     

"Saya tidak berani, Yang Mulia. Dan bukan seperti itu yang saya maksudkan. Hanya saja..."     

"Kau merasa kehilangan tidak menemukannya dalam radius pandanganmu?" tanya Belhart.     

Tidak menjawab. Dan itu bisa dianggap sebagai jawaban 'ya' darinya.     

"Dan ketika kau melihatnya hari ini. Pertahananmu menjadi goyah?"     

Merasakan hal sama. Belhart tidak mungkin mengakuinya di depan Neil.     

"Saya minta maaf, Yang Mulia. Dan berjanji tidak akan mengulanginya,"     

Mengurungkan niatnya untuk membuat sebuah perubahan. Neil kemudian pergi meninggalkan Belhart dengan sisa-sisa kehampaannya tidak bisa berbuat banyak     

Belhart yang melihat kepergian Belhart, menghembuskan napas lelah.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.