LUDUS & PRAGMA

101. Aku Datang!



101. Aku Datang!

0Davira Faranisa sedang berada di dalam ruang guru. Menghadap si pembimbing basket guna mengatakan sesuatu hal yang penting tak bisa dibicarakan melalui pesan singkat atau surat tertulis. Kalimat penutup obrolannya dengan seorang teman itulah yang sukses mengerakkan sepasang kaki jenjang milik Arka Aditya untuk menyapu ubin demi ubin yang samar memantulkan bayangan tubuh jangkungnya. Menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke tujuannya pagi ini. Ruang guru.     

Sekarang Arka paham benar mengapa saat ia menjemput Davira pagi tadi, gadis bersurai pekat dengan tubuh mungil sedikit semampai itu tak ada di dalam rumahnya. Kata sang mama tercinta, Davira udah berangkat pagi buta entah apa sebab dan maksud tujuannya.     

Ternyata inilah tujuannya. Menghadap si guru pembimbing yang kalau sedang marah galaknya minta ampun bak seekor mancan yang sedang kelaparan di tengah panasnya gurun sahara.     

Arka terus menegaskan langkahnya. Ingin cepat sampai ke tujuannya sekarang ini agar semuanya tak bisa dikatakan terlambat dan nasi sudah menjadi bubur. Jikalau Davira mengatakan bahwa ialah yang menjadi penyebab hilangnya Arka dari tim hingga menimbulkan kekalahan mutlak tak ada bantahan dan sanggahan lagi, habislah sudah gadis itu.     

Jikalau hanya menulis surat permohonan maaf seribu nomor banyaknya, mungkin tak akan pernah menjadi masalah besar untuk gadis yang kerap terlihat akrab bersamanya itu. Akan tetapi, bukan pembimbing olahraga basket namanya kalau hanya memberikan hukuman seringan dan semudah itu.     

"Arka lo mau ke mana buru-buru gitu?" sela seseorang menarik paksa pergelangan tangan remaja yang kini dipaksa berhenti dengan raut wajah tegang.     

Arka menoleh. Menatap paras cantik seorang gadis yang kini terdiam sembari menunggu jawaban pasti darinya.     

"Lo yang ngasih tahu Davira soal guru pembimbing?" Arka mengubah arah pembicaraan kala ia tersadar bahwa dirinya melewatkan satu hal penting di sini. Soal, Davina Fradella Putri.     

Gadis brengsek yang sudah mengakui perasaan akan Adam Liandra Kin. Berniat menusuk sang teman dekat yang sedang dekat dengan remaja jangkung sedikit brengsek itu.     

Davina terdiam sesaat. Menyentralkan fokus lensa miliknya untuk menatap Arka yang kini mulai tajam menitikan arah sorot sepasang lensa teduh miliknya. Dalam bayangan remaja itu hanya ada satu nan jelas kali ini, jika bukan Davina yang mengatakannya, siapa lagi memangnya?     

"Lo yang—"     

"Hm." Davina melepaskan cengkaman jari jemari lentik miliknya yang kuat memenang pergelangan tangan Arka Aditya. Menatap remaja yang kini mulai melunak kala mendengar kalimat singkat bentuk respon untuk menjawab pertanyaan rumpang milik Arka Aditya barusan.     

"Untuk apa?" tanya Arka melirih.     

Gadis di depannya kini menyeringai. "Ada dua alasan untuk itu. Mau mendengar dua-duanya?" pekik sang gadis sembari mempertegas senyum seringai yang ada di atas paras cantik miliknya.     

"Pertama karena gue yang disalahin sama senior atas perginya lo dari tim. Tim kalah dan gue sebagai koordinasi yang disalahkan. Gue muak," tukas Davina memberi penekanan pada kata 'muak' yang menjadi akhir penutup kalimat penjelasan singkat miliknya.     

"Kedua. Gue bantuin lo," ucap Davina mempersingkat. Sedikit amigu dan rancu memang. Di mana letaknya bantuan Davina Fradella untuk Arka Aditya?     

Informasi yang diberikan oleh Davina semalam pada si sahabat dekat sukses membuat Davira bertingkah sembrono dengan datang dan masuk campur ke dalam urusannya.     

"Lo mau lihat seberapa besar Davira berharap sama Adam? Lo bisa pergi ke kantor guru sekarang." Davina melanjutkan dengan senyum picik di atas paras cantiknya. Menatap perubahan ekspresi wajah Arka yang kini tegas melipat keningnya samar.     

"Pergi, lo bisa check—" Kalimat yang diucapkannya kini kembali rumpang kala remaja yang diajak berbincang pergi begitu saja. Meninggalkan Davina tanpa berpamit atau sejenak menunggu gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Kembali berjalan menyusuri lorong sekolah dan menerobos kerumunan yang ada di depannya.     

Sepersekian detik kemudian langkah sepasang kaki jenjang milik Arka terhenti. Menatap pemandangan sedikit asing untuknya mengingat ini adalah lingkungan sekolah. Adam bersama sang sahabat. Saling tatap sejenak dalam diam kemudian Davira memalingkan wajahnya. Mulai berjalan dengan langkah sedang yang diekori oleh Adam Liandra Kin di belakangnya.     

Tak mengejar? Tidak. Arka tak punya waktu untuk itu sekarang ini. Yang harus dilakukannya adalah datang ke depan meja pembimbing basket dan menanyakan apa-apa saja yang sudah dikatakan oleh Davira Faranisa maupun Adam Liandra Kin.     

***LnP***     

"Aku gak nyangka kamu datang ke sana." Adam menyela di sela langkah ringan yang diciptakannya untuk mengimbangi irama sepasang kaki milik Davira Faranisa.     

Gadis di sisinya menoleh sejenak. Tersenyum kaku kemudian kembali menurunkan pandangannya untuk menatap ujung jari jemarinya yang kasar saling bertaut satu sama lain.     

Gelisah, itulah perasaan yang ada di dalam diri gadis bersurai pekat itu. Bukan pasal apa yang dikatakannya pada guru pembimbing mengenai alasan Arka pergi meninggalkan tim. Davira, berdusta! Gadis itu mengatakan dengan tegas bahwa perginya Arka Aditya dari pertandingan kemarin sore, sebab menghantar dirinya yang tiba-tiba sakit. Menghantar Davira dan sejenak menungguinya di rumah sakit untuk memeriksakan kondisi sang sahabat yang menyebabkan Arka tak bisa ikut berperang dalam pertandingan.     

Adam mendengar semuanya. Davira tak ingin melibatkan banyak orang di dalam hal ini. Seakan ingin melimpahkan segala kesalahan yang tak sepenuhnya adalah dosa dirinya itu seorang diri. Ada dosa Kayla di dalam sana. Juga, ada dosa dirinya yang tak kunjung datang mencegah dan diam mengikuti interuksi dari si sialan Arka Aditya.     

"Kenapa bohong?" tanya Adam kembali membuka suaranya.     

Davira melipat bibirnya sejenak. Mencoba memikirkan alasan yang tepat agar dirinya tak terlihat bak orang bodoh juga seorang pecundang besar sebab tak berani mengakui kesalahannya secara jujur.     

"Aku hanya tak ingin masalahnya membesar." Davira menimpali dengan nada lirih.     

"Arka tahu kamu pergi ke kantor guru?" Adam kembali melempar pertanyaan singkat untuk gadis di sisinya yang kini tegas menggeleng sembari menghela napasnya kasar.     

"Dia akan marah karena aku ceroboh."     

"Kamu datang untuk Arka?" tutur remaja jangkung itu sukses membuat Davira kembali menoleh dengan sedikit mendongakkan kepalanya sebab tingginya hanya setinggi bahu milik Adam Liandra Kin.     

Davira diam sejenak. Kembali memalingkan wajah sesaat tatapannya tak sengaja bertemu dengan sepasang lensa pekat milik Adam.     

Seingatnya selepas Davina melakukan panggilan suara dengannya kemarin malam, gadis yang begitu indah dengan senyum manis nan ceria di atas paras cantiknya itu mengatakan pada Davira perihal konsekuensi yang akan diterima oleh tim, Adam, juga Arka.     

Untuk si anggota yang pergi meninggalkan pertandingan secara tiba-tiba tanpa ada perencanaan dan persetujuan bersama sebelumnya mungkin hanya akan diberikan hukuman sedikit berat. Parahnya, ia hanya diturunkan dari tim inti menjadi tim cadangan di masa percobaan awal.     

Namun untuk ketua tim yang memimpin, akan tetapi tak mampu untuk mengatur anggotanya hingga menyebabkan kerugian besar yang bisa dikatakan tak bertanggungjawab, akan mendapat sebuah peringatan yang serius. Bukan hanya mengelilingi lapangan beratus-atus kalinya. Namun, ia bisa saja diturunkan jabatan dan disisihkan ke tim cadangan sebab tak becus menjadi seorang kepala tim.     

Jadi, bisa ditegaskan bahwa gadis itu datang bukan untuk sang sahabat, melainkan untuk Adam Laindra Kin.     

"Hm. Aku datang untuk Arka." Davira berdusta. Tak mau mengatakan apa yang sebenarnya menjadi tujuannya datang kemari. Berangkat pagi buta menerjang dinginnya hawa bayu yang berembus untuk mendapat bus pertama agar sampai ke sekolah lebih awal dari biasanya. Mendustai sang sahabat yang jelas mungkin sedang mencari keberadaannya saat ini.     

"Arka pasti akan segera tahu kamu datang ke kantor guru."     

Davira menghela napasnya kasar. "Tentunya."     

"Soal kemarin di stadion tentang pembuli yang—"     

"Aku dan Arka punya satu sahabat. Namanya, Larisa. Dia anak yang baik." Davina menyahut dengan nada ringan. Sukses membuat remaja jangkung di sisinya tegas menoleh sembari sejenak menaikkan sepasang alis tebal miliknya.     

"Tahun kedua di SMP, dia jadi korban buli karena kesalahan yang gak dilakukannya. Membuat Larisa, pergi dan pindah ke luar negeri."     

Adam menganggukkan kepalanya sedikit mengerti. Memahami mengapa dari sekian banyak kalimat yang bisa diucap oleh Arka kemarin sore, remaja itu memilih untuk menghentikan aksi sang sahabat dengan menyingung kalimat pasal bulian.     

"Sebelum pergi, Larisa ingin bunuh diri dan mengakhiri semua rasa malunya. Tapi Arka mencegah dan menyelematkan Larisa." Gadis yang masih melangkahkan kakinya dengan langkah sedang itu kini kembali melanjutkan. Menatap lurus jalanan lorong yang kini mulai menyepi sebab area taman sekolah ada tujuan langkah mereka saat ini.     

"Dan aku membalas perlakuan mereka. Menjadi pembuli yang—"     

"Kamu gak jadi pembuli. Kamu adalah orang baik yang memberi pelajaran untuk para pembuli," tukas Adam menyahut. Menarik pergelangan tangan gadis yang kini terhenti menatap paras tampan milik Adam Liandra Kin.     

"Davira ...." Adam memanggil dengan nada lirih. Tersenyum tipis di bagian akhir kalimatnya kemudian mengulurkan tangannya dan mengusap lembut puncak kepala gadis yang ada di depannya.     

"Kerja yang bagus. Hari itu dan hari ini kamu melakukan hal yang benar." Remaja jangkung yang kini mulai menarik kembali uluran tangannya agar tak lagi menyakiti helai demi helai rambut Davira mengakhiri kalimatnya dengan senyum manis.     

"Jika ada sesuatu yang mengganggumu seperti kemarin, teleponlah aku. Aku akan menjawabnya dan datang menemuimu," pungkasnya menutup kalimat.     

Deg! Berhenti sudah jantung Davira dalam berdetak. Sejenak mencoba menyelami rasa aneh yang mulai datang mendobrak pertahanan yang dipunyainya selama ini. Menatap sepasang lensa teduh nan indah yang sudah sukses meluluhkan hatinya pagi ini. Semua kalimat singkat yang diucapkan oleh Adam Liandra Kin teruntuk dirinya barusan itu, tak pernah didengarnya lolos dari celah bibir sang mama ataupun si sahabat tua Arka Aditya. Kalimat itu terdengar singkat nan tegas memang, namun bagi Davira itu adalah kalimat yang amat sangat istimewa. Sebuah kalimat yang menghantarkan rasa dan pengharapan besar untuk diberikan pada Adam Liandra Kin.     

Davira ... mengakuinya! Gadis itu mencintai Adam Liandra Kin sebagai seorang gadis pada laki-laki tampan yang menarik hatinya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.