LUDUS & PRAGMA

93. Tentang Kita Bertiga



93. Tentang Kita Bertiga

0Tatapan teduhnya jauh menatap jalanan yang kini mulai tak sesepi kala ia datang kemari beberapa menit lalu. Sesekali kepalanya mendongak untuk memastikan bahwa gumpalan awan hitam yang menyembunyikan agungnya sinar sang surya pagi ini masih kuat untuk membendung butir tetes air hujan agar tak jatuh menghantam kasarnya permukaan bumi. Pagi ini semesta sedang berduka, entah sebab apa. Bukankah seharusnya Davira-lah yang berduka sebab hatinya sedang kalut pagi ini?     

Kenangan kemarin sore kala rintik hujan datang membawa hawa dingin dan basahnya udara yang berembus masih melekat kuat di dalam ingatannya. Ia mengakhiri pertemuan tak disengaja yang sudah diatur oleh semesta itu dengan sebuah perpisahan tak sopan, sebab tekad bulatnya yang benar-benar ingin pulang seorang diri tanpa Arka juga Adam Liandra Kin. Davira tak membenci keduanya, ia hanya ... ingin menepi sejenak sebab situasi rumit selalu saja terjadi padanya kalau-kalau semesta mendatangkan takdir dengan mengadakan pertemuan antara Adam Liandra Kin dengan Arka Aditya. Gadis itu hanya sesekali muak sebab itu terlalu konyol dan kekanak-kanakan!     

Ia pergi. Dengan wajah sedikit masam tanda tak baik hatinya. Memaska agar sang sahabat tak mengikuti atau melarangnya pergi seorang diri. Entah apa yang terjadi pada dua remaja itu setelah Davira meninggalkan mereka di sana. Mungkinkah sebuah pertengakaran ronde dua yang melanjutkan selisih paham dan adu mulut yang mereka lakukan sebelumnya?     

"Bukankah cuacanya sedikit tak bersahabat kali ini?" Seseorang menyela diam yang dilakukan oleh gadis berjaket rajut cokelat tua dengan tas punggung putih bersih yang menjadi bantal sandarannya kali ini.     

Davira menoleh menatap perawakan tubuh jangkung yang baru saja berdiri di sisi halte tempatnya berteduh kalau-kalau hujan datang tanpa peringatan dan aba-aba sebelumnya.     

"Adam?" tanyanya dengan nada lirih. Sejenak menyipitkan matanya untuk memastikan yang sedang ditatapnya saat ini bukan sebuah ilusi dan halusinasi sebab jujur saja, beberapa menit yang lalu ia sedang memikirkan perihal bagaimana keadaan dan situasi Adam Liandra Kin sekarang ini? Bukan hanya Adam, melainkan juga sang sahabat Arka Aditya.     

Yang dipanggil namanya hanya tersenyum ringan. Melambaikan tangannya kaku kemudian berjalan mendekat dan duduk di sisi gadis yang masih kokoh memangku payung lipat yang dibawanya.     

"Kamu ngapain di sini?" tanya Davira kembali membuka suaranya. Membuat remaja yang baru saja ingin menyandarkan tubuhnya itu menoleh.     

"Berangkat ke sekolah," jawabnya mempersingkat.     

"Dari sini?"     

"Kemaren aku nginep di rumah temen lama yang rumahnya sekitar sini. Jadi aku datang ke sini untuk menunggu bus dan—"     

"Moge kamu?" Davira menyela. Lagi-lagi mengintrogasi remaja yang kini tegas menoleh padanya. Ah, benar! Ia lupa pasal mogenya!     

"Di rumah temen. Bannya bocor," tukasnya mengakhiri kalimat dengan senyum kaku. Ia tak terlihat sedang berbohong 'kan sekarang?     

Davira kini menganggukkan ragu kepalanya. Melirik sejenak remaja di sisinya itu kemudian kembali memusatkan tatapannya jauh ke depan.     

"Aku lega," lirih gadis itu kembali membuka suaranya. Menghela napasnya sejenak untuk mengekspresikan dan mendukung kalimat yang baru saja diucapkannya. Bahwa ia lega.     

"Lega? Karena apa?"     

Davira tersenyum ringan. "Karena wajah kamu baik-baik saja."     

Adam diam. Samar mengerutkan dahinya tak mengerti. Memangnya wajahnya harus tak baik-baik saja kali ini?     

"Aku kira kalian brantem lagi pas aku pergi kemaren. Aku sedikit merasa bersalah karena itu." Davira melanjutkan. Menjelaskan singkat kalimatnya kemudian menunduk menatap ujung sepatu putihnya yang kini saling beradu satu sama lain.     

"Kamu khawatir sama—"     

"Arka!" Davira menyela. Lagi-lagi mendongakkan kepalanya untuk menatap paras tampan milik Adam Liandra Kin. Hampir saja dirinya tertangkap basah sedang mengkhawatirkan remaja brengsek satu ini!     

"Aku hanya gak enak dan gak tahu harus minta maaf seperti apa sebagai sahabat Arka sama kamu. Arka itu ... sedikit ceroboh," sambungnya menjelaskan.     

Arka? Ah, benar mengapa Adam bisa melupakan fakta bahwa masih ada dinding besar yang menghalanginya untuk mendapatkan hati Davira Faranisa saat ini?     

"Soal sepatu—"     

"Soal mama kamu—" Keduanya kini saling diam dengan sama-sama melempar tatapan satu sama lain kala kalimat mereka juga sama-sama tersela. Adam tersenyum ringan. "Kamu duluan," kata remaja itu memberi celah.     

"Soal kata Arka kemarin, kamu ninggalin mama kamu—"     

"Jangan dibahas. Aku bahkan sudah lupa." Adam memotong kalimat gadis yang ada di sisinya. Sejenak melirik kemudian tegas mendongakkan kepalanya untuk menatap awan mendung yang semakin menghitam saja.     

"Soal sepatu yang dikasih Arka kemarin, kamu nerima itu?" tanya Adam di sela helaan napas panjang yang baru saja ia lakukan.     

Davira mengangguk samar. "Karena itu pemberian sahabatku," tuturnya menjelaskan singkat.     

Gadis itu ingat betul, satu jam setelah sampainya ia di dalam rumah dan membasuh dirinya untuk melepas segala penat dan menyegarkan pikirannya, Arka kembali datang dan menyambangi rumahnya. Bukan bertemu Davira, namun disambut baik oleh sang mama yang tentunya mengijinkan dan merekomendasikan pada remaja itu untuk sejenak mampir dan minum teh bersama. Menunggu Davira turun ke lantai bawah selepas memakai pakaian dan merapikan rambut basahnya. Aka tetapi, Arka menolak dengan tegas. Mengatakan bahwa ia sedang dikejar oleh waktu dan beberapa urusan pasal dunia basket yang digelutinya sekarang. Tentunya itu hanya alasan semata. Datangnya Arka hanya pasal sepatu yang tak sempat di bawa pulang oleh gadis itu sebelumnya, jadi Arka menghantar dan memberikannya pada sang pemilik yang baru.     

"Kalo aku yang ngasih itu ke kamu, kamu mau nerima?"     

Davira menoleh. Sejenak membulatkan matanya untuk memberi respon pada apa yang dikatakan oleh Adam barusan itu.     

"Kalau gak mau—"     

"Kalau itu menarik pasti aku terima," sahut sang gadis dengan memberikan penuh penekan pada setiap kata yang diucapkannya.     

"Kalau aku ngasih ini?" Adam kini menyodorkan secarik kertas kecil berbentuk persegi panjang dengan tulisan namanya kecil di bagian sudut kertas. Sejenak melirik tangan gadis yang kini mulai berekasi untuk menerima apa yang baru saja disodorkan padanya kemudian kembali memusatkan tatapannya untuk menatap paras cantik gadis yang ada di sisinya.     

Davira menerimanya dengan hati-hati. Menurunkan pandangannya untuk menatap apa yang menjadi isi dari secarik kertas kecil yang baru saja berpindah tangan kepadanya.     

"Tiket kursi VIP basket. Nama dipojok kiri itu adalah nama yang mengundang, jadi kalau masuk ke sana gratis juga bisa duduk di kursi paling depan dan paling nyaman. Karena anggota tim yang mengundang kamu untuk datang," terang remaja itu menjelaskan kala semburat wajah bingung terlukis di dalam paras cantik seorang Davira Faranisa.     

"Kamu gak mau nerima itu? Harganya emang gak semahal—" Ucapan remaja itu terhenti kala lensanya menangkap aktivitas gadis di sisinya yang kini melipat rapi secarik kertas yang ada di dalam genggamannya kemudian memasukkannya ke dalam saku tas punggung miliknya. Menatap sejenak Adam yang kini terdiam sebab jujur saja, ia tak mengira Davira mampu melakukan hal itu secara terang-terangan.     

"Kenapa liat aku kayak gitu? Ada yang salah? Kamu mau ambil tiketnya lagi?"     

Adam menggeleng cepat. "Buat kamu, hari rabu jam empat sore. Alamat tempatnya ada di situ," tukas remaja itu tersenyum manis.     

Davira menganggukkan kepalanya mengerti. "Kenapa bukan buat Kayla?"     

Remaja yang duduk rapi di sisinya itu sejenak terdiam. Menelisik arti tatapan Davira kala gadis itu tegas melempar pertanyaan aneh seperti itu.     

"Karena aku pengennya ngasih ke kamu."     

"Kamu suka Kayla?" tegas gadis itu menyahut. Tak mengubah arah sorot lensa teduh miliknya, juga tak mengubah ekspresi yang terlukis di atas paras cantiknya.     

"Huh? Kayla?"     

"Iya, Ka—" Davira menghentikan kalimatnya. Membulatkan sejenak kedua matanya kemudian sigap mengatupkan bibirnya kala tersadar kalimat tanya yang baru saja lolos keluar dari mulutnya itu sungguh gila dan memalukan. Bagaimana bisa ia menanyakan hal sebodoh itu sekarang ini?     

Adam tersenyum. "Kenapa aku harus suka sama dia?" balasnya mengakhiri kalimat dengan senyum manis dan menggoda.     

Davira diam sejenak. Menggelengkan samar kepalanya kala tersadar bahwa ia sedang melompat ke jurang untuk membunuh dirinya sendiri saat ini. "Aku cuma salah ngomong."     

"Aku cuma suka sama kamu," tukasnya dengan nada lembut. Menjulurkan tangannya untuk bise meraih puncak kepala Davira dan mengusapnya lembut. Bagaimana bisa gadis yang selalu terlihat dingin dan tak acuh seperti ini bisa berperilaku hangat dan menggemaskan?     

"Aku bilang aku cuma salah ngomong doang," protesnya sigap menghindar agar Adam tak bisa mengusap puncak kepalanya lagi. Bukannya apa, ia hanya tak suka jikalau jantungnya berdetak tak karuhan irama dan ritme detakkannya karena Adam. Parahnya lagi, bagaimana kalau pipinya memerah saat ini?     

"Davina pun sama. Aku bahkan gak dekat sama dia. Jadi jangan cemburu dan salah paham." Adam melanjutkan.     

"Aku bilang aku cuma salah ngomong."     

"Kemarin malam aku juga udah mengakhiri hubungan tanpa status dengan Kak Lita, kakaknya Rena. Aku bilang untuk kita gak usah ketemu lagi dan menjalin hubungan dekat. Aku hanya ingin berteman sama dia, selebihnya gak ada dengan alasan bahwa aku mencintai gadis lain saat ini dan aku gak ingin dia salah paham," tutur remaja itu kembali menjelaskan tanpa mau mengubris kalimat gadis yang ada di sisinya.     

"Semua itu karena aku serius ingin suka sama kamu," pungkasnya menutup kalimat dengan lengkungan bibir indah di atas paras tampannya. Kalimat yang muncul dari sela-sela bibir tipisnya itu sukses untuk membuat Davira diam membisu. Tak mampu banyak berkata apapun lagi untuk menanggapi Adam untuk saat ini. Haruskah ia berterimakasih sekarang?     

"Aku—"     

"Dia bilang kalau dia cuma salah ngomong," tukas seseorang menyela di balik bangunan halte. Membuat Adam dan Davira sigap memutar tubuhnya sebab untuk mereka suara berat yang khas itu sudah tak asing lagi.     

"Dia bilang dia cuma salah ngomong, sialan." Arka –remaja yang kini berjalan memutar untuk sampai ke dalam bangunan halte— kembali mengulang kalimatnya. Bukan untuk Davira, namun untuk memperjelas pada Adam bahwa Davira hanya asal berbicara saat ini.     

"Ngapain lo di sini?" Davira menyahut.     

"Sejak kapan lo berdiri di sana?" lanjutnya kala yang ditanya hanya diam tak bersuara apapun.     

"Sejak kamu datang," sahut Adam menyela dengan tegas. Menatap remaja jangkung yang hanya tersenyum miring untuk merespon kalimat dari Adam barusan.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.