LUDUS & PRAGMA

90. Wajah Lain Dari Si Brengsek



90. Wajah Lain Dari Si Brengsek

0Malam indah bersama jajaran cahaya kuning lampu taman kini menemani remaja jangkung dengan kaos biru polos yang dipadukan jaket jeans biru muda serta celana berbahan sama dengan warna gelap segelap sepasang sepatu yang sedang dikenakannya malam ini. Sedikit riuh, namun masih dalam batas wajar. Suasana damai nan nyaman dirasa kala pengamen jalanan yang lengkap dengan membawa segala macam bentuk alat musik di sisi taman mulai memainkan lagunya. Berdendang dengan suara merdu yang menenangkan serta menghibur suasana hati yang sedang gundah.     

Bukan Davira Faranisa. Bukan Kayla Jovanka, apalagi Davina Fradella Putri. Bukan juga Arka Aditya dan Candra Gilang yang menemaninya malam ini, namun Lalita Rahmawati. Si gadis beda usia dengan Adam Liandra Kin itulah yang menjadi alasan dasar remaja jangkung berponi belah tengah itu datang dan menghabiskan malamnya di taman kota. Ditemani secangkir kopi susu hangat yang disukainya serta secangkir cokelat manis yang ada di cup cangkir dalam genggaman gadis berparas ayu yang terus menatap semua objek yang ada di depannya. Sejenak mengabaikan Adam yang masih diam sebab entah apa yang sedang dipikirkan remaja jangkung itu saat ini.     

Lalita paham, bahwa Adam malam ini sedikit lain. Tak seperti biasanya mereka bertemu dan bersua dalam sebuah momen tak terduga. Adam datang memenuhi janjinya dengan Lalita beberapa waktu lalu dengan ekspresi wajah yang sedikit aneh. Tak banyak berbicara juga berinteraksi dengan gadis yang terlihat begitu anggun dengan dress pendek selutut yang dipadukan heels tak terlalu tinggi, anting panjang yang menghias kedua ujung telinganya serta tas slempang kecil berwarna senada dengan gaun yang ia kenakan. Riasan make up di wajahnya tak mencolok. Hanya sedikit penekanan ia berikan pada kedua ujung mata dan lengkungan indah bibir merah meronanya. Sungguh, jikalau boleh dibandingkan Lalita itu lebih mirip idol KPOP yang sedang berkencan dengan kekasihnya saat ini.     

"Ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati kamu?" Lalita kini menimpali. Memulai sebuah percakapan untuk mencairkan suasana canggung nan aneh yang tercipta di antara keduanya saat ini.     

"Sebenarnya ada yang pengen aku katakan." Adam menyahut dengan nada lirih. Sejenak menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahannya.     

Sungguh, haruskah ia mengatakan ini sekarang? Bahkan jikalau ditelisik dengan benar, Adam dan Lalita bukanlah pasangan yang sudah lama menjalin hubungan percintaan. Toh juga, Adam tak pernah mengatakan pada Lalita bahwa ia menyukai gadis di sisinya itu. Lalita hanya sebatas ... teman gadis cantik yang ia butuhkan kala Adam dalam masa bosan tiada penaman hari.     

"Katakan aja. Aku pasti dengerin dengan baik," timpal gadis di sisinya tersenyum manis. Meletakkan secangkir cokelat yang ada di dalam genggamannya nya kemudian memutar tubuhnya serong agar bisa menatap Adam dengan benar.     

"Aku ... aku—" Adam menghentikan kalimatnya sejenak. Menunduk untuk menatap jari jemarinya yang saling bertaut sebab rasa gelisah kini muncul dan mendominasi dalam dirinya.     

"Kenapa ragu?" Lalita kembali menyela. Kini mengulurkan tangannya untuk meraih pergelangan tangan remaja jangkung di sisinya.     

Adam mendongak. "Aku takut ini akan menyakiti hati kakak," ucapnya kemudian. Lagi-lagi menghela napasnya untuk mengekspresikan betapa gelisahnya ia saat ini.     

Lalita bungkam sejenak. Mengubah raut wajahnya sayu kala Adam baru saja mengeluarkan kalimat ambigu bermakna ganda.     

"K--katan saja," ulang Lalita dengan nada sedikit ragu. Sebab jujur saja, gadis itu juga sedikit takut kalau hatinya akan kembali sakit saat ini. Perselingkuhan sang mantan pacar masih membuatnya trauma untuk memulai kembali memberikan hati dan kepercayaannya pada laki-laki. Namun untuk Adam? Ia lain. Lalita ... mencintai remaja tampan di sisinya itu. Berniat mengumpulkan segala rasa percaya dalam dirinya untuk kembali memberikan cintanya pada laki-laki.     

"Aku gak pengen kita ketemu lagi." Adam menutup kalimat singkatnya itu dengan helaan napas singkat nan lirih,namun terdengar begitu berat.     

Lalita diam sejenak. Melepas perlahan genggaman yang tadinya kuat mencengkram pergelangan tangan remaja di sisinya itu. Memberi tatapan sendu pada Adam yang kini kembali menurunkan tatapannya untuk menghindari perubahan ekspresi gadis yang ada di sisinya. Adam yakin, kalau Lalita sekarang ini sedang menahan sedih dan air mata agar tak turun membasahi pipi merona miliknya.     

"Aku punya kesalahan?" Lali bertanya dengan nada gemetar. Sungguh, ia membenci makna kalimat yang baru saja diucapkan oleh Adam untuknya.     

Adam menggeleng samar. "Aku yang bersalah, Kak," tutur remaja jangkung di sisi Lalita dengan tak mengubah arah sorot matanya. Nada bicara Adam pun semakin melirih hingga samar terdengar suaranya masuk ke dalam kedua lubang telinga gadis berambut panjang tanpa poni di sisinya itu.     

"Kalau aku gak salah apa-apa, kenapa kamu tiba-tiba memutuskan—"     

Lalita menghentikan kalimatnya. Menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengusap kasar kepalanya yang benar-benar terasa berat saat ini. Keadaan dan situasi yang dihadapinya saat ini benar-benar bisa dibilang di luar ekspetasi dan di luar kendalinya. Dalam bayangan Lalita Rahmawati, malam ini akan menjadi sebuah malam di akhir pekan yang amat indah untuknya. Ia akan menyatakan perasannya pada Adam. Tak peduli meskipun dirinya adalah seorang gadis yang sedang tak tahu diri sebab mengejar dan menyatakan perasaannya terlebih dahulu, ia akan tetap melakukannya. Membayangkan bagaimana ekspresi wajah Adam ketika mendengar bahwa seorang gadis cantik menyukainya teramat sangat besar. Juga dalam bayangannya, Adam akan menerima dan malam ini ... adalah malamnya bersama Adam. Sebagai seorang pasangan kekasih yang baru saja memulai hubungan romantis penuh rasa sayang.     

Akan tetapi, apa ini? Semuanya berbanding terbalik dari apa yang ada di dalam angan dan harapannya.     

"Kita bahkan belum memulai apapun. Aku bahkan baru ingin mengatakan bahwa aku menyukai kamu. Bukan sebagai senior pada adik kelasnya, namun sebagai seorang perempuan pada laki-lakinya." Lalita menjelaskan dengan nada gemetar yang tak bisa disembunyikan lagi.     

Adam mendongakkan wajahnya. Menatap sepasang lensa yang sedang berkaca-kaca sebab menahan air mata untuk tak turun dan memperlihatkan betapa lemahnya Lalita malam ini.     

"Maafin Adam, Kak." Lirih suara remaja jangkung itu kini kembali terdengar. Membuat Lalita berdecak ringan sembari sesekali tersenyum kecil.     

"Kalau begini akhirnya ... kenapa menerima semua ajakan dan diam saja saat aku mencoba mendekatimu?" protes gadis di sisinya dengan nada kesal.     

Adam kembali menghela napasnya. Sungguh, malam yang berat bukan? Seumur-umur ia tak pernah melakukan adegan melankolis seperti ini. Jikalau ia ingin meninggalkan gadis yang sedang dekat dengannya, ia hanya cukup menjauh perlahan-lahan. Hilang kemudian dan tak berbekas agar si gadis lupa bahwa Adam pernah dekat dengannya sebelum ini.     

Namun sebab Davira, Adam mengubah cara berpikirnya tentang gadis-gadis yang sedang bersamanya. Mengakhiri hubungan harus dengan baik dan sopan sama ketika kita mencoba untuk memulainya.     

"Apa yang perlu aku maafin? Karena kamu—"     

"Aku menyukai orang lain," aku remaja itu sukses membuat Lalita bungkam mematung dengan ekspresi wajah kaku.     

"Aku menyukai teman seusiaku," sambungnya menjelaskan singkat.     

"Gadis yang waktu itu?" sahut Lalita mencoba menebak acak.     

"Kayla, benarkan namanya Kayla? Gadis bermata kucing yang selalu berada di sisi kamu. Itu kah orangnya?"     

Bingo! Kak Lita pasti akan menebak Kayla-lah yang membuat Adam melakukan hal keji seperti ini terhadap Lalita Rahmawati, mengingat di sekolah hanya Kayla-lah yang menjadi teman gadis terdekat dengannya.     

Adam menggelengkan kepalanya. "Bukan dia. Dia hanya teman biasa."     

"Lalu?"     

"Kakak gak perlu tahu. Karena aku hanya menyukainya, dia belum tentu menyukaiku." Adam menolak memberi tahukan siapa yang sudah mencuri hati Adam dari Lalita. Membuat gadis yang tadinya diam kini mulai menganggukkan kepalanya samar.     

"Aku hanya gak mau dia salah paham karena kita sering bertemu seperti ini."     

"Dia tahu kita sering bertemu dan berkontak?"     

Remaja jangkung itu menggeleng. "Aku hanya merasa bersalah jika terus membohonginya, dia gadis yang baik."     

Sial! Persetanan gila remaja brengsek satu ini. Bisa-bisanya ia memberikan pujian pada gadis lain di saat keadaan Lalita yang sedang kalut dibuatnya.     

"Jadi kamu mau kita jadi orang asing?"     

Adam bungkam sejenak. Menatap Lalita yang kini mulai sesekali menyeka air mata yang perlahan turun tak bisa dibendung olehnya lagi.     

"Tidak. Kita harus tetap berteman. Hanya saja, Adam gak bisa untuk bertemu dengan kakak tanpa alasan yang jelas seperti ini," ucap Adam dengan nada lembut. Hanya mendapat respon dari Lalita yang tersenyum kecut sembari menghela napasnya kasar.     

"Wah, aku kembali merasa dihianati."     

Adam mendesah ringan. Kembali menurunkan arah tatapannya sebab jikalau Lalita merasa dihianati, maka ia kembali merasa bahwa ia sudah mengkhianati gadis baik yang dengan sabarnya menunggu hati Adam cair untuknya.     

"Maafin aku, Kak."     

"Lebih baik kita jadi orang asing yang tak saling berbicara lagi. Sebab akan canggung nantinya," tutur Lalita dengan nada bicara yang semakin menegaskan bahwa ia sedang ingin menangis sejadi-jadinya saat ini.     

Adam mengangguk ringan. "Adam hargai keputusan kakak."     

"Aku pergi," kata Lalita memungkaskan kalimatnya setelah dirasa apa yang dikatakan Adam barusan sudah cukup untuk menyakiti dan meninggalkan luka di dalam hatinya.     

"Berdamailah dengan Rena, Kak." Adam menyela. Membuat gadis yang baru saja bangkit dan ingin menciptakan sebuah langkah dengan kaki jenjang untuk meninggalkan Adam di sana itu terhenti. Memutar tubuh tinggi nan ramping miliknya untuk kembali menatap remaja yang masih kokoh dalam posisi duduk nyamannya di ujung bangku panjang.     

"Kenapa aku harus—"     

"Aku belajar ini dari seseorang ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya. Bangkit dari tempat duduk kemudian berjalan mendekat pada Lalita yang diam bungkam sembari sesekali mengerutkan sisi mata bulat dan melipat keningnya samar. Menunggu remaja tampan di depannya itu untuk kembali meneruskan kalimatnya.     

"Dia hanya sedang sakit. Jika menambah luka atau memaksanya untuk terluka lagi, itu hanya akan menambah buruk kondisinya," tutur Adam berkelit.     

"Siapa yang sakit?"     

"Rena. Hatinya ... sedang sakit."     

"Tau apa kamu tentang adikku? Bukankah kalian baru bertemu sekali?"     

Lalita sejenak menghentikan kalimatnya. Tajam memberi tatapan pada remaja yang hanya diam sembari tersenyum manis.     

"Jangan-jangan gadis yang kamu maksud—"     

"Bukan. Tentu bukan Rena. Hanya saja keadaan mereka sekarang ini ... sama." Adam menyela. Semakin tegas mengembangkan senyum.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.