LUDUS & PRAGMA

87. Kisah Kita Hari Ini



87. Kisah Kita Hari Ini

0"Lo suka sama Adam?"     

Kalimat itu terus saja mengusik setiap langkah kaki pendek gadis yang kini tegas menyusuri trotoar jalanan untuk sampai ke bangunan halte bus tempatnya menanti dengan sejenak meluaskan sabar untuk bus kota datang menjemputnya.     

Belum sempat Davira menjawab pertanyaan itu, Davina —si gadis sialan yang sudah mempermainkan perasaannya— menyela dengan tawa ringan sembari menepuk-nepuk pundak lawan bicaranya. Dalam akhir kalimatnya, gadis itu dengan penuh tawa dan kekonyolan di sela nada bicaranya mengatakan bahwa apa yang ditanyakannya barusan itu hanyalah sebuah candaan semata. Dengan keyakinan penuh, gadis yang sama mengatakan dan memungkaskan kalimatnya dengan sebuah kalimat bahwa Davira tak mungkin mencintai apalagi tertarik pada remaja brengsek yang suka 'bermain' bersama para gadis cantik.     

--syukur disyukuri, namun juga sayang disayangkan. Sebab Davira baru saja ingin mengakui dan mengumpulkan keberaniannya untuk mengatakan apa yang sedang terjadi padanya dan Adam. Bukan pasal perasaan, namun hanya sebatas situasi yang terjadi pada mereka. Kalau-kalau Davira beruntung, maka Davina akan memberinya saran terbaik untuk menyudahi segala keraguan dalam dirinya. Akan tetapi kalau gadis itu sedang sial hari ini, maka ia akan menerima umpatan dan amarah dari si teman sebangku yang sudah terlebih dahulu mengakui perasaannya teruntuk Adam Liandra Kin. Namun, apalah daya sebab Davina menyelanya. Mengatakan bahwa obrolan mereka kali ini hanya sebatas candaan semata tak lebih tak kurang.     

Gadis itu kini menghela napasnya kasar. Menatap trotoar jalanan sedikit sepi di depannya. Mengapa ia harus terjebak dalam situasi aneh dan menyebalkan seperti ini, sih?     

"Udah aku bilang 'kan kamu bakalan pulang sendirian." Suara bariton menginterupsi di sela langkahnya. Membuat gadis yang tadinya berjalan dengan irama langkah santai nan ringan itu kini terpaksa terhenti. Sejenak terdiam untuk menerka suara yang tak asing untuknya, kemudian sigap memutar tubuhnya.     

Adam Liandra Kin! Ya, memangnya mau siapa lagi? Dalam keadaan begini, hanya kemungkinan kecil Arka Aditya akan datang menjemputnya.     

"K--kamu masih di sini?" Davira sedikit gagap. Terkejut sebab remaja di depannya itu ternyata masih ada bersamanya. Jika diingat dengan benar, Davira juga Davina menghantar Adam ke kawasan parkir mal untuk berpisah dengan remaja itu. Juga, Davira melihat Adam mengendarai motornya keluar dari kawasan mal beberapa waktu yang lalu.     

"Hm." Singkat tanpa ada bantahan atau basa-basi untuk memperpanjang balasannya.     

"Kenapa masih di—"     

"Karena kamu juga masih di sini," sela remaja di depannya itu sembari tersenyum kuda.     

Davira menghela napasnya ringan. "Busnya udah mau datang. Jadi kamu—"     

"Ayo kita pulang bersama." Lagi-lagi remaja di depannya itu menyela. Menarik tangan Davira agar tubuh gadis itu bisa mendekat padanya.     

Davira diam. Memberi tatapan sayu pada remaja yang masih kuat menggenggam pergelangan tangannya.     

"Untuk laki-laki ada satu kalimat yang menjadi sebuah pedoman ketika ia bersama seorang gadis, yaitu ketika kita datang bersama, maka kita harus pulang bersama. Itulah etika seorang laki-laki yang baik."     

Davira terkekeh kecil. Baiklah, ini sedikit lucu. Sejak kapan Adam menjadi tertarik mengenai hal-hal yang berhubungan dengan etika seorang laki-laki baik? Bukankah baginya gadis hanya manusia yang patut dijadikan bahan bermain saja?     

"Let's go! Di sini sangat panas."     

Davira kini menghela napasnya untuk terakhir kalinya. Mengangguk samar kemudian menyahut helm yang ada di pergelangan tangan kiri milik remaja yang ada di depannya itu. Berlalu meninggalkan Adam yang kini sejenak tersenyum ringan sebab tingkah konyol yang baru saja dilakukan oleh gadis pujaan hatinya.     

***LnP***     

Moge milik Adam kini kembali melaju ringan membelah padatnya jalanan kota. Menyusuri setiap bagian jalan, belokan, dan tikungan untuk kembali menghantar gadis yang kini menjadi penumpang di belakang jok motornya. Sedang ringan adalah laju yang diciptakan Adam agar bisa menghantar gadis itu dengan selamat.     

Lima belas menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Lima puluh menit berlalu. Kini kawasan asing yang tak sering dikujungi oleh Davira berubah menjadi sebuah kawasan komplek yang menjadi tempatnya dibesarkan dengan baik. Belokan sudah ditempuh oleh remaja yang menjadi navigasinya dalam perjalanan pulang ke rumah. Moge besar itu kini memelan dan terhenti di sisi gerbang besi rumah sederhana, minimalis, namun mewah adalah kesan yang terasa kala kita masuk ke dalamnya adalah tujuan terakhir Adam siang ini. Bukan untuk kembali mampir, hanya sekadar menghantar sang gadis.     

Davira kini turun dari moge. Melepas helm yang dikenakannya kemudian mengembalikannya pada Adam.     

"Terimakasih udah nganter," ucap gadis itu dengan nada lirih. Tersenyum kaku kemudian untuk mengakhiri kalimat.     

"Ada sesuatu yang mau kamu katakan lagi?" Adam menyela. Ikut melepas helm yang dikenakannya kemudian menyentralkan fokusnya untuk menatap gadis yang masih diam sembari terus mencoba membuka mulutnya dan mengeluarkan suara miliknya.     

"Soal Davina ...." Suaranya kini lirih terdengar.     

"Davina? Kenapa tiba-tiba Davina?" tukas remaja di depannya memincingkan matanya tajam. Sedikit aneh, sebab dalam masa pendekatan yang mereka lakukan gadis di sisinya itu tak pernah menceritakan atau bahkan menyebut nama Davina. Kalau Kayla, mungkin akan terasa lebih familiar.     

"Davina itu ...."     

"Gadis sialan?" sela Adam mencoba menebak apa yang ingin dikatakan oleh gadis di depannya. Kini Adam mulai hapal, apapun yang menyertai setelah nama gadis yang dekat dengan Adam disebut adalah kata 'sialan'.     

Davira menggeleng. Matanya kini turun menatap kasar dan pekatnya aspal jalanan. Mencoba menghindari tatapan sepasang lensa identik yang masih fokus menatap dirinya.     

"Davina suka kamu," ucapnya lirih. Sangat lirih. Membuat Adam kini sejenak menunduk sembari mendekatkan telinganya ke arah wajah gadis di sisinya itu.     

"Aku gak denger. Kamu bilang apa?"     

"Davina suka kamu!" teriak Davira sedikit meninggikan bicaranya. Kini tegas menatap remaja yang baru saja terkekeh ringan sebab teriakan darinya itu.     

"Kamu tertawa?" Gadis berambut panjang sedikit ikal itu kini memprotes. Mengerutkan samar dahinya sembari sesekali berdecak ringan sebab respon yang diinginkan Davira bukan itu. Setidaknya Adam bisa berpura-pura terkejut lalu tegas mengatakan bahwa ia tak peduli juga tak akan pernah mau tau dengan perasaan seorang Davina Fradella Putri. Buatlah Davira lega! Menambah tinggi harapan yang diletakkannya untuk Adam, bukan malah bersikap santai bak seseorang yang sedang bahagia setelah mendapat bonus dari bosnya     

"Dan kamu kesal karena itu?" kelit Adam memulai dengan permainan kata-kata menjengkelkan miliknya. Catat! Bahwa remaja itu masih terkekeh kecik juga terkadang tersenyum geli kala melihat perubahan di wajah gadis cantik kesayangannya sekarang ini.     

"Udah lah, kamu mah gak akan pernah ngerti—"     

"Aku tak peduli. Aku tak ingin peduli dan tak mau tahu tentang itu. Puas?" Adam menyela. Menarik tangan gadis yang baru saja ingin memutar tubuhnya dan pergi berlalu meninggalkan Adam di sana.     

"Aku tahu kalau dia suka aku, tapi ... aku tak peduli," ulang Adam menegaskan. Membuat gadis di sisinya perlahan melunak sembari menghela napasnya ringan.     

Davira diam. Tak mampu berkata-kata lagi sebab di dalam otaknya kini sudah kosong tak berisi kalimat apapun.     

"Lalu aku harus gimana? Aku harus bilang ke dia untuk tidak menyukaiku?" Adam melanjutkan. Menatap gadis yang kini lagi-lagi mendesah ringan sebab, sekali lagi entah Davira harus berkata dan memberi respon macam apa utuk menanggapi kalimat dari remaja jangkung itu sekarang ini. Haruskah ia mengangguk dan menunjukkan keserakahannya? Ataukah ia harus menolak dengan menggelengkan kepalanya dan menjadi seorang gadis munafik yang pandai berbohong?     

"Aku akan menjaga jarak. Maksudku—"     

"Lakukan seperti biasanya. Mengubah seseorang bukan wewenang dan keahlianku karena aku bukan Tuhan." Davira akhirnya membuka suaranya. Kini perlahan melepas genggaman tangan Adam.     

"Kamu boleh pulang sekarang."     

Adam diam sejenak. Terus menyentralkan fokus pada gadis yang kini mulai memutar tubuhnya untuk benar pergi dan masuk ke dalam rumahnya. Bagi Davira cukup sampai di sini. Sebab apa yang terjadi padanya dengan Davina sebelum ini, benar-benar berpengaruh dan mengganggu batinnya.     

"Kamu marah karena itu?" Adam lagi-lagi menyela. Kembali menghentikan langkah gadis yang baru saja ingin mendorong pintu gerbang besar di depannya.     

Davira diam. Memutar tubuhnya dan kembali menurunkan padangannya. Menatap apa-apa saja yang ada di bawahnya untuk berusaha menyembunyikan ekspresi wajah yang mungkin saja ingin mengatakan dengan tegas, bahwa ia benar-benar marah saat ini. Marah karena Adam? Tidak! Davira marah dengan keadaan yang sedang membelenggunya saat ini. Keadaan aneh yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya akan ada dan menyela dalam alur hidupnya yang awalnya 'itu saja-saja' kini berubaha menjadi 'ini dan itu'     

"Hm." Davira mengerang ringan. Membuat remaja yang tadinya ada di atas moge besar itu kini turun. Meletakkan helm di atas kaca spion dan berjalan mendekat ke arah Davira. Kembali meraih tangan gadis itu sembari mencoba untuk menarik perhatiannya agar mereka bisa sejenak saling tatap.     

"Marah sama aku karena Davina menyukai—"     

Gadis itu kini menggeleng ringan. "Bukan! Bukan itu."     

"Aku hanya kesal dengan diriku sendiri. Semua keadaan ini, terasa begitu tiba-tiba. Aku sulit menyesuaikan semuanya." Davira kini menjelaskan singkat. Kembali menundukkan kepalanya sembari sesekali memainkan ujung sepatu hitam miliknya.     

Adam tersenyum. Meraih puncak kepala gadis di depannya kemudian sigap mengusapnya dengan lembut. "Ayo lalui bersama," tuturnya dengan lembut. Membuat gadis di depannya kini sigap mendongak sembari memberi tatapan teduh.     

"Keadaan aneh dan tiba-tiba yang kamu katakan tadi, kita lalui bersama." Adam memungkaskan kalimatnya dengan nada lirih dan melunak. Lagi-lagi mengusap puncak kepala gadis di depannya itu kemudian menurunkan tangannya. Menyentuh permukaan pipi sedikit cubby milik Davira dan mengusapnya dengan ibu jari miliknya.     

"Aku gak akan pernah—"     

"Wah, sekarang waktunya menjadi tokoh di drama romantis?" Seorang gadis tiba-tiba menyela. Berdiri dengan posisi tak jauh sembari menatap dua remaja yang sedang melakukan adegan romantis bak adegan di film-film yang baru saja ditontonnya.     

Davira juga Adam menoleh ringan. Menatap gadis yang kini melambai sembari tersenyum ringan dan berjalan ke arah mereka.     

"Bukankah dia itu sialan?" tanya Adam lirih. Melirik Davira yang baru saja tersenyum lebar untuk menyambut kehadiran tamu tak diundang itu.     

Tunggu, senyum itu ... Adam tak pernah melihatnya sebelum ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.