LUDUS & PRAGMA

83. Mari Awali Hari Bersama.



83. Mari Awali Hari Bersama.

0Kasar gadis bersurai pekat itu merebahkan tubuh mungil sedikit semampai miliknya di atas ranjang. Menatap sayu langit-langit kamarnya kemudian mendesah ringan. Melirik sejenak jaket hitam yang baru saja ia gantung di sisi ruang kamarnya. Sedikit aneh memang dirinya belakangan ini. Sebab selalu saja ia merasa bimbang sebab perlakuan Adam yang terus saja mengejutkan dan bisa dibilang seenak jidatnya sendiri tanpa memperdulikan bagaimana perasaan seorang Davira Faranisa yang sebenarnya.     

Jujur saja ia masih sedikit kesal dengan apa yang dilihatnya beberapa waktu lalu tepat di penghujung senja saat ia memutuskan untuk menyambangi rumah sakit tempat ibunda Adam Liandra Kin dirawat.     

Remaja itu sedikit brengsek dengan sikapnya yang terlalu manis terhadap Kayla Jovanka. Membuat Davira benar-benar ingin merebus dan memakan Adam hidup-hidup saat ini.     

Tubuh mungilnya kini mengeliat kasar. Meraih ponsel yang ada di sisinya kemudian menggeser layar dan mulai memainkan ujung jari jemari lentiknya dengan luwes untuk menuju apa yang menjadi tujuannya membuka ponselnya pagi menjelang siang ini.     

Menghubungi Arka? Ah! Itu membosankan. Sedari tadi pagi ia menghabiskan paginya dengan remaja sialan yang terus saja menghujaninya pertanyaan-pertanyaan gila terkait apa yang dilihat oleh mereka di taman kota pagi tadi. Adam bersama gadis sialan bernama Kayla Jovanka! Ah, kenapa Davira harus melihat semua adegan itu? Dari sekian banyak manusia yang menjadi kenalannnya, mengapa ia harus bertemu dan berpapasan dengan Adam Liandra Kin?     

Selepas pergi untuk menghindari Adam, gadis itu tak benar lolos dari cengkraman Arka Aditya. Remaja itu masih saja bertanya ini terkait perubahan ekspresi dan perginya Davira selepas ia bertemu dengan Adam juga Kayla. Dalam pertanyaan Arka, ia menegaskan sebuah kalimat yang sukses membuat sahabat kecilnya itu bungkam rapat mengunci bibir mungil miliknya.     

--"Lo keberatan sama Adam dan Kayla tadi?" Singkat. Namun sialan memang sahabatnya itu!     

Mengirim pesan pada Adam? Ah, tidak. Untuk apa Davira melakukannya saat ini? Bahkan perasaannya sedang kalut nan gelisah sebab remaja brengsek yang suka mempermainkan perasaan para gadis-gadis cantik incarannya.     

Rena?! Ya. Pilihan yang tepat. Gadis itu kini membuka akun sosial medianya. Menekan beberapa huruf untuk menemukan nama Rena Rahmawati si gadis tomboy yang ditemuinya beberapa hari yang lalu. Tak mau menyia-nyiakan pertemuan dengan gadis itu kemarin, Davira meminta kontak dan segala hal yang berhubungan dengan gadis itu agar Davira bisa menghubunginya jikalau ia sedang memerlukan sosok Rena di sisinya. Sedikit puitis nan melankolis memang alasan gadis itu meminta segala informasi pasal teman barunya. Akan tetapi, mau bagaimana lagi alasannya? Sebab kenyataannya memang begitu 'kan?     

Jikalau ditanya apa alasan Davira terus mengingat nama gadis itu dan ingin menghubunginya juga tetap menjaga komunikasi yang baik dengannya, alasannya hanya satu ... sebab Davira menyukai gadis itu! Bukan. Bukan sebagai seorang pasangan yang menyukai pasangannya secara romantis, sebab Davira masih bisa dikatakan gadis normal yang meskipun kadang tak punya hati nurani. Davira Faranisa menyukai bagaimana cara seorang Rena Rahmawati menyikapi masalah dan menjalani sebuah kehidupan. Memandang apa-apa saja yang ada dalam diri dan lingkungannya dengan cara nyata tak dilebih-lebihkan juga tak palsu dan tak terlalu banyak menyanjung serta mengangungkan Sang Pencipta.     

Jujur Davira sangat menyukai seseorang yang seperti itu. Bukan menjalani kehidupan dengan banyak kepribadian, namun menjalani kehidupan dengan satu kepribadian akan tetapi mampu menempatkan diri dengan baik. Seperti seorang Rena misalnya.     

Ting! Satu notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Mengubah niat gadis yang baru saja ingin mengetikkan pesan untuk Rena itu kini beralih. Membuka pesan yang baru saja masuk menyela aktivitasnya.     

Adam, nama yang tertera di dalam layar ponsel yang ada pada genggaman gadis itu saat ini. Gadis itu menghela napasnya kala satu kalimat tegas dieja oleh bibir mungil miliknya.     

"Aku ingin jaketnya." Singkat, padat, dan suka memerintah! Bukankah Adam sekarang terkesan bak remaja brengsek yang menyebalkan sebab suka memerintah seenaknya sendiri?     

"Sekarang!" Satu pesan lagi-lagi masuk dan sukses membuat gadis itu mengumpat sejadi-jadinya.     

"Kita harus bertemu di mana?" balas Davira sembari sesekali bedecak kesal sebab jujur saja, ia ingin pergi berasama Rena bukan Adam! Katakan saja bahwa singkatnya Davira sedang marah dan membenci Adam Liandra Kin saat ini.     

Sepersekian detik tak ada jawaban dari remaja itu. Pesan singkatnya hanya dibaca. Membuat gadis itu kini benar-benar ingin mengumpat dan mengirimi Adam sebuah pesan suara yang berisi umpatan estetik miliknya.     

Davira kini bangkit. Sigap meraih jaket sweater rajut yang digantungnya di sisi jaket hitam milik Adam. Berjalan gontai ke arah sisi meja riasnya kemudian mulai memoleskan tipis make up di atas paras cantiknya yang sebenarnya, jikalau pun Davira tak melukis wajahnya dengan bedak, eyeliner, maskara, blush on, dan kawan-kawannya paras gadis itu sudah cantik. Namun, sedikit pucat sebab kulit putih susu nan bersih miliknya.     

Davira kini menyisir kasar rambutnya. Jengkel? Ya! Sebab Adam tak kunjung membalas pesannya. Haruskah ia pergi ke rumah remaja itu? Sungguh. Jikalau ia pergi ke rumah Adam, itu akan sangat jauh kalau diukur dari rumah tempatnya tinggal. Bisa dikatakan bahwa sekolah adalah tempat yang pas jikalau mereka ingin bertemu di tengah-tengah. Namun, tak lucu bukan kalau hari libur begini datang ke sekolah?     

Davira kini bangkit. Cepat menarik jaket Adam yang digantungnya kemudian melipatnya rapi dan memasukkan benda itu ke dalam tote bag. Menarik tas slempang kecil miliknya kemudian berjalan turun ke lantai bawah. Menyapa sang mama yang masih sibuk dengan aktivitasnya mengupas apel seperti layaknya seorang tuan rumah yang sibuk kala ada tamu yang sedang menyambangi rumahnya.     

Tunggu, tamu?     

Davira kini tegas menghentikan langkahnya. Menghampiri sang mama masuk ke dalam dapur sembari terus menatap aktivitas aneh wanita berusia 40 tahunan itu.     

"Mama ... ngapain mama potong apel dan masukkin ke dalam kotak makan?" Davira menyela. Membuat sang mama menoleh kemudian tersenyum ringan.     

"Buat dibawa pulang sama tamu kita." Tegas Wanita itu menjawab. Membuat sang putri sejenak melipat keningnya sembari mengerutkan kedua ujung matanya. Tamu?     

Tanpa mau berbicara banyak lagi, gadis itu melenggang pergi. Keluar dari dalam dapur dan ... Adam ada di tengah ruang tamu. Duduk rapi sembari terus menatap televisi besar yang ada di depannya.     

Sialan! Remaja itu memang sialan.     

"K--kamu ... sejak kapan ada di situ?"     

"Tiga puluh lebihnya sepuluh menit yang lalu mungkin?" Mamanya menyela. Berjalan ke arah dua remaja yang kini terdiam sejenak sembari saling padang tanpa ada aktivitas lainnya.     

"Katanya mama kamu sakit 'kan? Tante udah kupasin apel dan potong kecil-kecil. Bawa pulang dan kasih ke mama kamu, oke?" Diana kembali menimpali. Membuat remaja yang ada di depannya itu menganggukkan kepalanya samar sembari tersenyum ringan.     

"Kalian mau pergi main?" tanya Diana menatap penampilan sang putri.     

Adam tersenyum. "Sepertinya begitu, Tante."     

Ah, brengsek sudah ia ditipu oleh remaja satu itu. Sekarang Davira paham mengapa Adam tak membalas pesannya tadi. Jikalau Adam membalas dan mengatakan ia ada di rumah Davira saat ini, maka gadis itu akan turun dengan penampilan alakadarnya. Bukan seperti seorang putri, namun seperti seorang pembantu!     

Namun, jikalau Adam tak membalas dan membiarkan pesan singkat dari gadis yang menanyakan mau bertemu di mana mereka nanti saat Davira harus mengembalikan jaket Adam, gadis itu akan bersiap-siap dengan mengganti pakaiannya, berdandan layaknya seorang putri dari kerajaan jauh di negeri dongeng, dan mempersiapkan segalanya dengan baik. Seperti penampilan Davira hari ini.     

Meskipun gadis itu hanya menggenakan kemeja putih polos yang dimasukkan ke dalam celana jeans panjang miliknya dengan jaket sweater rajut merah muda dan satu selempang tas kecil yang tergantung di sisi pundaknya dengan membawa sebuah tote bag yang dalam tebakan Adam Liandra Kin, isi dari tas kain berukuran sedang itu adalah jaket miliknya. Riasan di atas wajahnya itu pun bisa dibilang sederhana. Tak terlalu mencolok, namun cukup untuk membuat Adam terpesona dengan kecantikan dan keanggunan gadis itu pagi menjelang siang ini.     

"Kami pergi dulu, Tante." Adam kembali berucap. Menarik tangan Davira hingga cukup untuk membuat perubahan ekspresi di atas paras cantik milik gadis itu.     

Benar, selain brengsek dan menyebalkan Adam itu lancang!     

"Oh, oke. Hati-hati di jalan," jawab Diana sembari tersenyum manis. Membiarkan sang putri dibawa pergi oleh remaja tampan yang jikalau Diana masih seusia dengan sang putri maka ia akan menyukai remaja itu.     

***LnP***     

Davira menghentikan paksa langkahnya. Membuat Adam yang masih kokoh menggandengnya itu mau tak mau harus ikut berhenti untuk mengimbangi aktivitas gadis di sisinya itu.     

Davira menghela napasnya kasar. "Ini jaketnya," ucap gadis itu dengan lirih. Setelah meninggalkan halaman rumahnya, gadis itu baru mau berucap untuk menanggapi sikap Adam kali ini.     

"Simpan aja," timpal Adam sukses membuat gadis di sisinya samar menyeringai.     

"Kamu mempermainkan aku sekarang ini?"     

"Aku hanya mau ngajak kamu jalan," sahut Adam dengan nada tegas nan enteng.     

Gadis di sisinya kini mendesis. Sejenak menundukkan kepalanya untuk mencoba meredam amarah yang mulai mengebu-gebu dalam dirinya. Mengapa Adam bisa semenyebalkan ini?     

"Ambil jaketnya dan pulang," tuturnya singkat. Kini berbalik dan berniat untuk masuk kembali ke dalam rumahnya. Meninggalkan Adam di sana yang entah mau kemana remaja itu setelah ini. Pergi meninggalkan rumah Davira dan berpindah menjenguk rumah gadis cantik lainnya?     

Tak peduli! Davira ... benar-benar tak peduli saat ini.     

"Aku terlanjur bawa dua helm," sela Adam kembali menarik tangan gadis di depannya.     

"Buang aja. Toh juga kamu bisa beli lagi 'kan?"     

"Sayang kalau dibuang," kelit remaja itu tersenyum ringan. Mencoba meredam amarah yang di dalam diri gadis di depannya itu. Adam tahu bahwa Davira sedang marah padanya kali ini sebab apa yang dilihatnya tadi pagi.     

"Jual aja. Uangnya buat beliin jajanan Kayla. Selesai 'kan masalahnya?"     

Adam terkekeh kecil. Bingo! Davira ... cemburu padanya saat ini. Sungguh hari yang membahagiakan untuk Adam.     

"Kamu cemburu?" tanya remaja itu di sela kekehan kecil miliknya.     

Davira bungkam sesaat. Cemburu? Dirinya? Ah! Sialan memang remaja di depannya itu.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.