LUDUS & PRAGMA

52. Awal Mula Cinta Ber-asa.



52. Awal Mula Cinta Ber-asa.

0Riuh bergemuruh kini mulai tegas terdengar oleh gadis yang perlahan membuka matanya setelah menyelesaikan mimpi indah di pagi menjelang siang begini. Ia mengedipkan matanya berkali-kali guna menyesuaikan cahaya terang yang kini mulai masuk ke dalam lensanya. Sejenak terdiam kala sepasang lensa identik warna dan bentuknya sedang memberi tatapan langsung dengan jarak yang amat intim. Ia bangkit dengan cepat. Menatap sekelilingnya yang ramai dipenuhi remaja sebaya berseragam sama dengannya. Kemudian melirik jarum jam kecil yang melingkar di atas pergelangan tangannya dan mencocokkannya dengan benda sama berukuran lebih besar yang menggantung di tengah ruangan. Pukul 9 pagi, lebihnya lima menit.     

Gadis yang tadinya terdiam untuk terus mencoba menerka keadaan asing yang baru saja terjadi padanya itu kini menoleh ke arah remaja sebaya yang duduk rapi sembari menyangga kepalanya miring untuk menatap Davira.     

"Lo ketiduran," katanya menyela. Seakan sudah tau apa yang diperdebatkan gadis itu di dalam kepalanya saat ini.     

"Dari jam 8 pagi tadi?" sahutnya bertanya dengan nada terkejut sejenak tak mempercayai hal bodoh yang sudah ia lakukan.     

Tidur di jam kosong! Memang sih tak ada yang salah di sini. Yang salah adalah guru yang sudah meninggalkan semua muridnya tanpa tugas dan interuksi yang jelas. Sejak bel masuk berbunyi dua jam lalu, tak ada satupun guru yang masuk memberi materi terkait jadwal pembelajaran yang sudah di susun dan ditentukan. Davira pun bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada yang mengganggunya! Arka yang duduk rapi di sisinya hanya bisa melihat wajah gadis yang tertidur pulas di atas buku tulis miliknya itu sembari sesekali tersenyum juga tertawa kecil nan singkat. Davira terlalu lelah? Entahlah. Gadis satu itu memang tergolong gadis yang malas jikalau dihadapkan dengan apa itu 'sekolah'.     

"Kok lo gak bangunin gue!" gurutunya jengkel. Menarik buku tulis yang baru terisi separuhnya itu kemudian mengambil bolpoin hitam dan menggoreskannya kasar di atas permukaan kertas putih di depannya.     

Davira tak henti-hentinya mengerutukki dirinya sendiri sebab hal teledor yang baru saja dilakukannya itu. Bagaimana bisa ia tertidur padahal pekerjaan rumah yang dibawanya sampai ke sekolah itu belum selesai adanya. Menyisakan beberapa nomor kosong sebab si gadis yang sudah terlanjur tidur pergi ke dunia mimpi dan terlena akan ketampanan pangeran-pangeran tampan yang menawan yang hati.     

"Salah siapa gak dikerjain kemaren sore," kata Arka menyela aktivitas gadis yang kini jelas mempercepat gerak penanya untuk segera menghasilkan hasil maksimal di waktu yang amat sangat minimal.     

"Diem gak usah bacot! Bentar lagi pelajaran kimia. Mampus gue kalo ini gak selesai," ucap Davira menyela dengan nada ketusnya. Sejenak melirik jam kecil yang melingkar di atas pergelangan tangannya. Waktu terus berjalan. Menyisakan lima belas menit untuknya bisa melahap semua soal yang masih kosong sebab kebodohan darinya itu. Kalau pun ada waktu tambahan sebagai bonus dari semesta sebab telah memberi empati pada gadis itu perihal nasib sial yang menimpanya hari ini, paling-paling hanya lima menit adanya. Sebab guru kimia itu bukan tipe orang Indonesia yang kalau datang selalu saja mengulur-gulur waktu hingga lupa bahwa tak ada waktu banyak yang terisa untuknya bisa melaksanakan tugas dan janji. Guru kimia Davira tak seperti itu. Perempuan tua yang galaknya setengah mati itu adalah tipe orang 'on time' yang kalau terlambat satu menit saja sudah meminta ampun pada seluruh murid yang jujur saja, berharap lebih agar si guru tak datang sekalian. Berdosa! Memang sih, tapi mau bagaimana lagi? Jangan munafik dengan mengatakan bahwa ada murid yang mencintai guru killer!     

"Gue cabut dulu kalau gitu," tutur Arka bangkit dari kursinya. Mengusap kasar puncak kepala gadis yang kini mendengus kesal sebab aksi konyol tak tau diri milik Arka Aditya barusan. Sudah tau Davira sedang dongkol dan terburu-buru, masih bisa-bisanya dia mengganggu gadis cantik dengan rambut separuh diikat ke belakang yang begitu cantik mengenakan jepit putih sebagai penghias di sisi kepalanya itu.     

"Lo emang gak pernah setia!" gumam gadis itu tak merubah ekspresinya. Arka yang tadinya diam kini terkekeh kecil. Mendorong meja kosong di belakang mereka untuk bisa keluar tanpa melalui dan mengganggu gadis yang sudah menjabat sebagai sahabat kecil sekaligus cinta pertamanya itu.     

"Ada Davina, gak usah manja." Lagi-lagi remaja itu tertawa ringan. Menatap si pemilik nama yang baru saja ia sebut masuk ke dalam kelas dengan beberapa camilan di tangannya. Sejenak tersenyum kuda pada Arka kemudian memusatkan sorot lensa pekatnya ke arah Davira. .     

"Cih!"     

"Davira, lo udah bangun juga akhirnya." Gadis yang baru saja disebutkan namanya itu mendongak sekilas. Mengerang ringan tanda respon singkat yang diberikan pada sang mantan teman sebangku kemudian kembali melanjutkan aktivitas menulisnya.     

Arka melenggang pergi. Sekarang Davina Fradella Putri-lah yang menjadi peneman untuk Davira dalam mengerjakan tugas negara yang diberikan padanya.     

"Lo belum ngerjain itu? Mau gue contekkin punya gue?" Davina kini menyela di sela-sela aktivitas makannya. Sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menatap paras gadis yang sedikit tertutup oleh separuh rambut panjang yang sengaja tak diikatnya dengannya rapi.     

"Lo kayak gak tau aja si nyonya kalau tau ada muridnya contekan kayak gimana," kekeh Davira tak merubah arah tatapan juga tak menghentikan aktivitas menulis yang ia lakukan.     

Davina mengangguk. Benar juga, memberikan dan meminta pekerjaan teman untuk mata pelajaran yang satu ini sama saja kau meminta tali besar nan kuat untuk adegan gantung diri selepas bel pembelajaran kimia dilaksakan.     

"Kalau gitu, good luck!" ucap Davina sembari mengempalkan tangannya. Memberi sedikit dukungan pada si teman kelas untuk lebih menambah motivasi dan tenaga sebab waktu hanya tinggal lima menit lagi, sedangkan Davira masih belum menyelesaikan tiga soal terakhir yang dalam seingat Davina soal itu memang pendek perintah dan maksudnya, namun untuk jawabannya ... kau harus menulis hingga berlembar-lembar banyaknya tak peduli lelah juga pegal datang menyelimuti setiap jari jemari lentik nan panjang yang kau milikki.     

***LnP***     

Ruang basket. Tempat kecil nan minim oksigen kalau siang datang menyapa dengan penghuni yang kian banyak jumlahnya. Sebenarnya sih masih ada satu pendingin ruangan yang terpampang jelas di salah satu sudut ruangan, akan tetapi benda itu tak berguna! Sebab apa? Sebab rusak tak mampu dinyalakan dan digunakan dengan benar adalah status yang disandang benda itu sejak beberapa hari lalu.     

"Kita latihan lagi sampai sore. Semangat!" Suara bariton kini menginterupsi dari balik bilik ganti. Sesaat semua yang riuh saling bercakap dan menyahut satu sama lain sejenak terdiam sembari saling pandang kemudian melempar sorot lensa identik warna dan bentuk milik semuanya ke arah ruang bilik ganti yang kini terbuka menampilkan perawakan tubuh jangkung berotot pepak yang menghias di kedua lengannya. Ototnya sih tak besar nan indah bak seorang binaragawan. Akan tetapi dengan bentuk lengan yang seperti itu di usianya yang baru saja menginjak masa remaja sudah membuat Adam Liandra Kin terlihat amat sangat mempersona dan menawan hati kalau-kalau sudah memakai seragam basket.     

"Arka juga udah ada 'kan?" kekehnya sedikit menyindir sebab ketidahadiran remaja itu kemarin.     

"Gue 'kan anggota tim yang berbudi luhur dan tepat janji. Sorry, karena kemaren gue absen." Remaja itu menyahut dengan nada ringan. Tak terbebani sebab sindiran halus yang dilontarkan Adam padanya barusan itu.     

"Gaes!" Suara serak nan cempreng kini menyela semua yang ada di ruangan. Di salah satu sudut nampak seorang remaja berambut cepak terlihat begitu antusias dengan apa yang baru saja dilihatnya dalam layar ponsel yang ada di genggamannya. Gambar porno? Ngawur! Candra memang suka mesum dengan segala pemikiran dewasa perihal artis-artis luar yang suka berpakaian minim yang membentuk lekuk tubuh mereka. Juga tak keliru jikalau ia disebut rajanya situs terlarang kalau-kalau seseorang sedang ingin mencari hiburan dengan menonton sesuatu yang tak layak. Namun, Candra juga masih tergolong orang baik nan sopan yang tau tempat juga etika. Jadi, tak mungkin ia melihat 'itu' di area sekolah siang-siang begini.     

"Lo kenapa?" tanya Arka menyahut.     

"Ada band indie yang bakalan bikin konser dua minggu lagi. Kita harus nonton!" katanya antusias.     

"Pas hari ulang tahun lo, dong?" Adam menyahut sembari berjalan mendekat ke arahnya. Mengambil ponsel si teman kemudian memusatkan sorot matanya ke dalam layar. Benar, remaja satu itu tak sedang mempermainkan teman-temannya hanya untuk meningatkan bahwa dua minggu lagi, ia mengurangi satu angka dalam jatah hidup yang diberikan semesta untuknya.     

"Jadi lo yang bayarin," kekeh seorang remaja menimpali.     

Arka menganguk. "Setuju!"     

"Sembarangan! Kita bertujuh terus gue doang yang bayar?" gumamanya memprotes.     

"Tim utama aja, dua cadangan gak usah." Adam mengusulkan. Menatap dua orang di sisinya yang tegas menggeleng tak setuju dengan lelucon murahan yang dikatakan Adam padanya.     

"Kita tahuran. Yang menang, gue yang bayar tiket nontonnya." Candra kini mengusulkan. Menatap satu persatu remaja sebaya dengannya yang diam sembari sejenak berpikir perihal apa yang diusulkan Candra barusan. Memang sih, semua akan menguntungkan orang-orang yang di sana kecuali sang pengusul. Sebab, mau kalah atau menang dalam taruhan nanti tak akan berpengaruh banyak untuk mereka.     

"Apa taruhannya?"     

"Yang bisa ngajak cewek cantik di sekolah ini untuk nonton, dua tiket gue yang bayar." Candra berkata tegas. Membuat semua yang ada di ruangan tertawa ringan. Remaja satu itu terlalu banyak menonton drama anak muda yang disuguhkan dengan alur berlebihan.     

"Gue gak—"     

"Setuju!" kata Adam menyela kalimat Arka yang baru saja ingin lolos dari celah bibirnya. Semua mengangguk. Memang ya, pengaruh suara dari kapten selalu saja mudah untuk diindahkan oleh semua timnya.     

"Gue yang tentuin orangnya."     

Candra kini meletakkan ponsel yang baru saja di kembalikan Adam untuknya. Menyiapkan jari jemari panjang dan kurus miliknya untuk menghitung nama-nama gadis cantik yang akan masuk dalam daftar taruhannya.     

"Kayla Jovanka," ucapnya memulai. Kali ini Adam menoleh. Tersenyum miring ke arah Candra.     

"Meila Sabila anak IPA-1, Fira Adelia, Davina Fradella, dan ...." Canda memutus kalimatnya kala tak ada lagi nama gadis cantik yang bisa disebut olehnya.     

"Davira Faranisa," sahut Adam tegas. Membuat Arka yang berdiri di sisinya menoleh.     

Dasar brengsek gila!     

....To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.