LUDUS & PRAGMA

112. Malam Terindah



112. Malam Terindah

0"Segitunya kamu gak suka kalau dibohongi?" Adam menyela. Menyodorkan satu cup gelas es krim yang baru saja dibelinya di minimarket terdekat. Meninggalkan gadis itu sendiri di tepi taman kota yang sedikit ramai sebab akhir pekan akan datang menyapa kalau malam ini berakhir dan pagi menggantikannya.     

Gadis yang kini melirik es krim cokelat di dalam genggaman tangan Adam itu mengerang ringan. Menganggukkan kepalanya sembari kembali memalingkan wajahnya. Davira masih dalam perasaan yang sama. Kalut, sedih, marah, kecewa, dan malu kini bercampuk aduk di dalam dirinya. Arka menipunya lagi. Berurusan dengan orang-orang yang paling dibencinya dalam dunia ini adalah sebuah kesalahan besar yang sukses membuat hati Davira hancur saat ini.     

"Ambil es krimnya." Adam kini menarik tangan gadis yang ada di sisinya. Menyodorkan paksa es krim yang ada di dalam genggamannya agar berpindah tangan pada Davira Faranisa.     

"Ini malam. Makan es krim—"     

"Kalau aku marah dan sedih juga kecewa, biasanya aku makan es krim cokelat," sela Adam memotong kalimat gadis yang kini menoleh untuk menatap paras tampan miliknya.     

"Kamu pernah kecewa?" tanya Davira melirih. Menerima es krim yang diberikan oleh remaja jangkung di sisinya.     

Adam menganggukan kepalanya tegas. Ikut menoleh paras gadis yang masih terlihat begitu kacau dengan sepasang mata lembab dan hidung yang memerah. Meskipun begitu, kecantikan Davira untuk Adam Liandra Kin tak akan pernah surut sedikit pun.     

"Aku juga manusia," pungkasnya menutup kalimat dengan senyum manis. Mulai menyendok es krim cokelat yang sama dengan milik Davira Faranisa.     

"Kamu sedang kecewa saat ini?" tanya Davira lagi-lagi menyela. Sukses membuat Adam menghentikan aktivitas makannya dan kembali menyorotkan lensa pekat miliknya untuk menatap Davira.     

"Katanya kamu akan makan es krim cokelat kalau lagi marah dan kecewa." Gadis yang terlihat begitu anggun dengan gaun pendek selutut yang membalut rapi di atas tubuh mungil sedikit semampainya itu kini mengimbuhkan. Entah harus mengiringi kalimat dengan ekspresi macam apa kali ini, Davira hanya bisa menatap dengan raut wajah sayu dan kacau.     

"Hm. Sangat kecewa."     

"Karena aku membatalkan janjinya sepihak?" lanjut Davira membuat Adam menghela napasnya sembari menggeleng ringan. Melukiskan senyum kecut di atas parasnya kemudian mengulurkan tangannya dan membenarkan helai demi helai rambut milik gadis di sisinya yang sedikit berantakan sebab bayu menerpa di atasnya.     

"Karena melihat kamu menangis dan kecewa. Aku kecewa karena itu."     

Deg! Mengapa Adam Liandra Kin yang memiliki kalimat indah seperti itu bukannya si sahabat Arka Aditya? Mengapa semua kalimat yang diucapkan oleh Adam terasa begitu sejuk dan menenangkan untuk hati Davira saat ini. Adam pandai dalam merangkai dan menempatkan kapan ia akan mengutarakan kalimat itu dan kapan ia hanya perlu terdiam tanpa suara untuk menjadi seorang pendengar yang baik. Kemampuan itu yang membuat Davira benar-benar goyah saat ini.     

"Apa masalahnya kali ini?" tanya Adam mengubah arah topik pembicaraan. Memicu reaksi gadis yang ada di sisinya. Davira menghela napasnya kasar.     

"Aku punya adik tiri. Alia namanya." Gadis itu mulai menjelaskan. Ini adalah waktu yang tepat untuk Adam menunjukkan betapa pandainya ia menjadi seorang pendengar yang baik.     

"Mama Alia masuk rumah sakit dan papa Alia—"     

"Papa kamu juga 'kan?" sela Adam mencoba membenarkan kalimat gadis yang kini menoleh sejenak sembari menyeringai tajam. Senyum itu ... Adam mulai terbiasa.     

"Papa Alia adalah papa Alia. Papa Davira sudah mati." Tegas gadis itu mengucapkan kalimatnya. Memberi penekanan penuh disetiap kata yang diucapkannya.     

Adam mengangguk. Tersenyum ringan tanpa mau memberi banyak bantahan kali ini. Ini adalah momen Davira mengeluarkan apa yang ada di dalam benaknya, bukan momen Adam untuk bertingkah sok jagogan dan sok bijak.     

"Singkatnya, Alia hidup tanpa bisa merasakan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Mama Alia dirawat di rumah sakit dan Papanya bangkrut. Pria itu harus memulai karirnya dari awal lagi."     

Adam sukses menolehkan kepalanya dengan cepat. Yang ada di dalam cerita Davira adalah dua orang tuanya juga. Bedanya, salah satu dari orang tua itu Davira tak mengharapkan kehadirannya ada di dalam kehidupan gadis bersurai pekat yang kini menundukkan kepalanya sembari mengusap kasar wajahnya. Ia gelisah! Davira bukan terlibat marah saat ini. Dalam tebakan Adam, marahnya gadis itu pasti sudah surut saat ini. Hanya bersisa kecewa dan gelisah yang baru saja menyelimuti dalam hatinya.     

"Mamaku membantu kehidupan mereka saat ini. Aku tahu itu hal yang baik, tapi—"     

"Arka juga melakukannya?" Adam lagi-lagi menyela.     

Davira menganggukkan kepalanya ragu. "Dia membohongiku."     

"Kamu marah dan kesal karena itu?" tanya Adam sedikit miringkan kepalanya untuk bisa menatap dengan paras cantik milik Davira Faranisa.     

"Aku benci ditipu." Davira menyahut dengan kalimat singkat. Sukses membuat Adam tersenyum ringan sembari meletakkan es krim yang ada di dalam genggamannya. Sedikit bergeser untuk mendekatkan posisinya pada Davira.     

"Semua membenci itu, akan tetapi mendengar kebenaran dari orang lain adalah yang paling menyakitkan 'kan?"     

Davira menoleh. Menatap Adam yang kini mengusap puncak kepalanya dengan lembut.     

"Arka sudah jujur meskipun itu terlambat. Maafkan dia. Kesalahannya bukan karena berniat untuk membohongimu, kesalahannya hanya terlambat untuk memberitahu padamu apa yang sedang terjadi padanya saat ini," tutur remaja jangkung berponi belah tengah itu dengan nada melunak. Mencoba untuk membuat Davira sedikit tenang dan lega saat ini.     

"Bukannya kamu juga membenci Arka?"     

Adam tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya tegas untuk menyetujui apa yang baru saja dikatakan Davira padanya. "Sangat membencinya."     

"Terus kenapa kamu bilang begitu untuk membela Arka?" tanya gadis itu samar mengerutkan dahinya samar. Sungguh, seberapa keraskah ia mencoba untuk mengerti apa yang ada di dalam pikiran Adam, Davira selalu saja gagal untuk melakukannya.     

"Aku berbicara seperti itu bukan untuk membela dan membenarkan posisi Arka, tapi untuk kamu," jawahnya mengacak lembut puncak kepala gadis di sisinya.     

"Makan es krimnya sebelum mencair," sambungnya mengimbuhkan.     

"Maaf." Davira menyela. Kalimat yang seharusnya di ucapkannya sebelum percakapannya bersama Adam sejauh ini.     

"Untuk apa meminta maaf? Karena membasahi kemejaku dengan air mata kamu?" kekeh Adam mencoba untuk mencairkan suasana sedih yang sedang terjadi di antara keduanya.     

Davira melirik. Benar! Kemeja di bagian dada bidang Adam sedikit basah karena air matanya yang turun deras beberapa menit yang lalu, tepat saat sebelum Adam melepaskan pelukannya dan mengusap lembut air mata milik Davira. Menata rambut gadis itu dan membawanya untuk keluar dari area rumah sakit.     

Dalam pelajanan kemari, Adam tak banyak berkata apapun. Hanya terus menggenggam tangan gadis yang juga ikut diam tak mau menatap paras tampan milik Adam.     

"Haruskah aku mencucinya?" tukas Davira melirih. Ingin meraih baju Adam namun mengurungkan niatnya.     

Adam tertawa kecil. "Kamu minta aku melepasnya di sini?"     

Davira sejenak membulatkan matanya. Menatap remaja yang terus saja mengembangkan senyum manis di atas paras tampannya. Senyuman milik Adam malam ini benar-benar terlihat indah menyaingi taburan bintang dan bulatan sang dewi malam di atas gelapnya langit malam.     

"Maaf karena membatalkan menonton konsernya secara sepihak. Sengaja mengabaikan panggilan dan pesan dari kamu. Membuat kamu menunggu dan harus belajari ke sini." Davira semakin melirihkan nada bicaranya. Sejenak menunduk dan membiarkan helai demi helai rambutnya turun melalui kedua batas telinganya.     

Adam sigap memiringkan kepalanya. Menarik dagu gadis yang ada di sisinya untuk kembali membuat Davira bisa dengan benar bertukar tatap dengannya.     

"Konsernya gak penting."     

"Yang terpenting adalah keadaan kamu sekarang," imbuh remaja itu mengusap kedua pipi merah merona milik Davira Faranisa.     

"Konser hanya jembatan untuk aku mengatakan sesuatu malam ini." Adam kini kembali melanjutkan. Melepas jari jemarinya yang lembut mengusap permukaan pipi sedikit cubby milik Davira kemudian sigap merogoh saku jaket yang ada di sisinya. Mengeluarkan satu kotak kecil dengan pita biru muda yang telihat serasi dengan tas slempang kecil milik Davira Faranisa.     

Gadis itu sejenak menatap Adam Liandra Kin. Kemudian tegas menurunkan pandangannya untuk menatap kotak kecil yang mulai diarahkan padanya oleh Adam.     

Remaja itu perlahan membuka kotaknya. Menampilkan satu kalung dengan gantungan kalung berbentuk kunci kecil yang terlihat sederhana namun begitu cantik untuk Davira.     

"Do you want to be my girlfriend, Davira Faranisa?" Ucapan remaja jangkung itu sangat tegas. Tak ada keraguan yang terlintas di setiap kata demi kata yang diucapkannya teruntuk gadis cantik yang ada di sisinya itu. Davira diam sejenak. Haruskah ia menolaknya lagi? Tapi bagaimana ini, perasaanya bergejolak sekarang. Rasanya pada Adam, memang tak seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu.     

Davira membenci Adam. Kebrengsekan dan sikap tengil nan menyebalkan remaja itu sungguh mengganggunya dulu, akan tetapi waktu mengubah semuanya. Meskipun tak benar yakin dengan apa yang dirasakannya sekarang teruntuk Adam Liandra Kin, namun Davira paham benar bahwa rasanya untuk Adam sudah berubah dan menjadi lain tak sama seperti dulu.     

"Aku tau ini bukan saat yang tepat untuk mengatakannya. Aku sudah mempersiapkan semuanya dengan baik sebenarnya. Mengajak kamu nonton konser, makan bersama setelah itu, dan membawa kamu ke taman. Berbincang ringan untuk mengulur waktu sebelum menyatakan ini untuk kesekian kalinya."     

Davira diam. Adam yang terus menerangkan posisinya sekarang terlihat sedikit salah tingkat kala menyadari bahwa tak ada perubahan ekspresi di paras cantik gadis itu saat ini.     

"Aku tau waktu itu aku terlalu terburu-buru dan tidak menyatakannya dengan benar, dan sekarang aku ingin mengulanginya lagi, Davira." Adam memungkaskan kalimatnya dengan embusan napas samar. Benarkah yang sedang dikatakannya saat ini? Bagaimana jika Davira menolaknya sebab ia terlalu banyak berbicara saat ini? Akankah ia baik-baik saja selepas ini?     

"Aku tahu aku tak—"     

"Hm." Davira mengerang ringan. Menyela kalimat Adam dan sukses membuat remaja itu mendongak. Menatap paras cantik Davira sembari membulatkan matanya.     

"Aku mau jadi pacar kamu."     

Tepat sasaran! Kalimat singkat yang diucapkan Davira barusan sukses membuat Adam mengembangkan senyum di atas paras tampannya. Meraih tubuh gadis di sisinya kemudian memeluknya dengan erat. Malam ini adalah malam pertama untuk hubungan mereka.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.