LUDUS & PRAGMA

108. Tentang Rasa Yang Mulai Ber-asa



108. Tentang Rasa Yang Mulai Ber-asa

0Hampir separuh putaran jarum jam menyusuri angka demi angka moge milik Arka Aditya membelah padatnya jalanan kota kalau jam berangkat sekolah juga kerja datang menghampiri dengan langit yang tak seindah biasanya. Cuaca sedikit mendung. Gelap tiada cahaya yang menghangatkan para penduduk bumi dari sang surya pagi ini. Semilir hawa dingin pun terasa. Membuat siapa-siapa saja yang beraktivitas pagi ini harus mengenakan jaket tebal jikalau alergi dingin adalah penyakit yang bersarang dalam tubuhnya.     

Arka menepi. Memarkirkan mogenya tepat di sela-sela jajaran motor teman-teman sebayanya lalu menengok ke belakang. Mengulurkan tangannya untuk membantu Davira turun dari moge dengan kehati-hatian penuh agar sang gadis tak terluka.     

Davira kini melepas helm hitam yang dikenakan olehnya. Menatap sejenak Arka kemudian menyodorkan helm yang ada di dalam genggamannya pada si remaja jangkung yang baru saja mematikan mesin motor miliknya.     

"Gue tungguin." Davira menyela. Berjalan untuk sedikit menjauh dari posisi Arka agar memberi remaja itu celah sedikit luas untuk memarkirkan mogenya.     

Pagi ini Arka sedikit lain. Menjemput Davira sedikit pagi dengan paksaan agar gadis itu mau ikut dengannya pergi ke sekolah tanpa harus berlama-lama menunggu bus kota datang dan menjemputnya.     

Tak ada bantahan dari Davira. Hanya menurut dan melakukan apa-apa saja yang diperintahkan Arka pagi ini.     

"Pulang nanti ada acara?" tanya Arka kala keduanya mulai melangkah dan berjalan beriringan.     

Davira menoleh. Sejenak terdiam sembari mencoba mengingat mau apa ia akhir senja nanti?     

Ah benar! Adam Liandra Kin. Hari ini adalah hari terakhir mereka bersekolah. Itu artinya malam nanti adalah malam akhir pekan yang dimaksudkan oleh Adam untuk datang dan menjemput Davira menonton konser bersama seperti yang sudah disetujui oleh gadis bersurai pekat dengan sepasang mata indah yang menghias di atas paras cantiknya itu.     

"G--gue ada—"     

"Janji nonton sama Adam?" Arka menyela kala sang sahabat terlihat gugup dan ragu untuk memberi jawaban padanya.     

Davira mengangguk.     

"Jadi lo nerima tawaran dia?" kekeh Arka tersenyum miring. Sukses membuat Davira melipat keningnya samar sebab ia tak mengerti, dari mana Arka tahu pasal janjinya bersama Adam untuk menghabiskan malam akhir pekan bersama di tengah ramainya konser band indie terkenal? Adam menceritakannya? Ah! Davira rasa itu tak mungkin terjadi mengingat Arka dan Adam adalah si kucing dan si tikus yang tak akan pernah bisa akur.     

"Dari mana lo tau—"     

"Candra." Arka menghentikan kalimat Davira. Memotong kalimat gadis itu dengan jawaban singkat enggan banyak berbasa-basi.     

Hanya menyebut nama Candra? Ya! Memangnya mau berdusta bagaimana lagi? Mengatakan bahwa ajakan Adam hanya sebatas permainan bocah yang dilakukan olehnya bersama seluruh tim? Tidak. Arka tak sebodoh itu dengan mengatakan fakta yang akan melukai hari sabahatnya nanti.     

"Ah, lo gak papa kalau gue pergi sama Adam?" tanya Davira melirih. Menoleh untuk menatap Arka yang hanya tersenyum kecut tanpa mau memberi respon baik dalam rangkaian kata atau hanya anggukkan bahkan gelengan kepalanya pun.     

"Davira," panggil Arka lirih. Menyela langkah sang gadis dan kini tegas menarik pergelangan tangan milik Davira Faranisa.     

"Lo suka sama Adam?" tanya Arka langsung pergi pada pointnya.     

Davira diam sejenak. Menatap paras sahabat yang jelas mengisyaratkan padanya bahwa Arka sedang menunggunya untuk memberikan satu jawaban pasti kali ini. Tak seperti sebelumnya yang terus saja mengulur waktu dengan membalikkan pertanyaan Arka dengan pertanyaan baru miliknya.     

Gadis itu kini kembali berjalan. Membuat Arka mau tak mau harus kembali mengikuti dan mengekori langkah milik Davira menyusuri lorong yang sedikit sepi sebab jam belum benar menunjuk ke angka setengah tujuh.     

"Lo gak mau jawab lagi?"     

"Gue sendiri pun gak tau. Perasaan macam apa—"     

"Ra." Arka kembali menyela untuk ke sekian kalinya. Lagi-lagi menarik pergelangan tangan sang sahabat untuk membuatnya kembali berhenti dan menuntaskan percakapan mereka pagi ini sebelum bel sekolah masuk dan suasana sekolah menjadi ramai.     

"Kalau lo suka sama dia, akui itu. Jangan menolak," tuturnya dengan nada melunak. Membuat sang sahabat kini tegas menyipitkan matanya sebab tak percaya bahwa yang sedang berbicara di depannya itu adalah si sahabat Arka Aditya.     

"Kalau lo suka sama Adam, maka katakan bahwa lo suka sama dia. Itu akan terasa lebih mudah buat gue," katanya mengimbuhkan.     

Davira semakin tegas melipat keningnya. Masih belum mengerti dan belum mampu mencerna dengan baik apa maksud juga arti kalimat milik Arka Aditya barusan itu.     

"Kalau lo suka sama Adam, itu artinya gue bener-bener gak ada kesempatan untuk jadi—"     

"Lo adalah sahabat gue. Perkara gue suka atau gak sama Adam, itu gak akan pernah mengubah apapun tentang kita, Ka." Davira menyela. Meraih tangan sang sahabat dan mengenggamnya erat.     

"Gue pengen mengenggam tangan lo sebagai seorang sahabat dekat, dan gue gak akan melepaskan genggaman ini apapun alasannya," paparnya mengimbuhkan. Semakin erat menggenggam tangan Arka Aditya sembari memberi tatapan teduhnya pada remaja jangkung yang ada di depannya. Kembali menarik tubuh Arka untuk memulai langkah berjalan bersamanya. Meneruskan langkah kaki yang terpotong untuk keduanya kalinya.     

"Segitunya lo pengen sahabatan aja sama gue? Gak mau lebih?" tukas remaja jangkung itu memindah genggaman tangannya naik melingkar di atas bahu milik Davira. Merangkulnya dan membuat tubuh gadis itu semakin nyata menempel padanya.     

Davira menganggukkan kepalanya. Melirik sejenak Arka kemudian tersenyum ringan. "Bagi gue, sahabat adalah orang paling berharga."     

Arka ikut tersenyum. Ia memang paham, bahwa sahagatnya menyukai dirinya lebih dari apapun. Namun, dengan cara suka yang berbeda.     

"Soal Adam," ucap remaja jangkung itu sejenak menunduk untuk menatap sang sahabat yang hanya setinggi bahu lebarnya.     

"Sukai dia kalau itu adalah kemauan hati lo. Asalkan ada syaratnya."     

Gadis yang masih berada dalam rangkulan Arka Aditya samar mengerutkan dahinya. Menatap sang sahabat yang sejenak menghentikan kalimat seakan sedang memantapkan hatinya untuk mulai berkata-kata.     

"Jangan nyakitin diri lo sendiri. Jika mulai terasa sakit, keluar dari hubungan dan rasa itu dan datang ke gue." Arka memungkaskan kalimatnya dengan senyum tipis. Menatap sejenak sahabat yang hanya diam sembari terus memberi sorot lensa indahnya pada paras sang sahabat yang kini mulai melunakkan ekspresinya. Mengalihkan tatapannya jauh ke depan untuk menghindari kontak mata dengan sang sahabat.     

Davira paham benar, untuk mengatakan kalimat itu Arka pasti sudah merelakan banyak hal. Termasuk mencintai dan ingin memiliki raga serta rasa seorang Davira Faranisa dengan serakahnya. Arka dewasa, namun dirinya belum mampu melakukan hal itu. Davira paham benar jikalau dirinya terlalu egois dengan hanya memikirkan dirinya dan perasaannya sendiri. Tanpa mau memikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang ada di sekitarnya saat ini.     

***LnP***     

Ia teduh menatap sepasang remaja yang masih tegas berjalan menyusuri lorong dengan posisi intim yang mungkin saja akan membuat siapapun yang menonton mampu berpikir bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara.     

"Tumben lo berangkat pagi?" tanya Adam menoleh menatap gadis yang kini terdiam sembari berdiri mensejajarkan posisinya dengan Adam Liandra Kin. Melipat rapi kedua tangannya rapi di atas perut datar miliknya.     

"Gue cuma males di rumah pagi ini."     

"Papa mama lo berantem lagi?" tanya Adam acak. Membuat gadis yang kini menoleh tegas sembari memiringkan senyum di atas bibir merah muda tipis miliknya.     

"Nanti malem gue mau nyatain perasaan gue ke Davira." Adam kembali menyela. Melirik sekilas paras gadis yang kini menoleh dan menegaskan tatapannya untuk Adam Liandra Kin.     

"Kalau lo ditolak?"     

"Gue pernah ngrasain itu. Jadi no problem," tukas Adam menjawab dengan nada enteng.     

"Lo pernah nyatain perasaan ke Dav—"     

"Ini ketiga kalinya," beber remaja jangkung itu membuat sebuah pengakuan.     

Kayla terdiam. Benar-benar luar biasa remaja jangkung yang sudah menyita hati dan segala dunianya itu. Bagaimana ia bisa tak punya malu selepas mendapat penolakan dari gadis yang tak ada istimewa-istimewanya sama sekali itu.     

"Dam, gue mau lo jujur satu hal." Kayla menyela. Memutar seorang tubuhnya untuk bisa benar menatap remaja jangkung yang ada di sisinya.     

"Soal taruhan itu, lo punya maksud lain 'kan?" Kayla melanjutkan. Mulai mencoha mengintrogasi remaja berponi belah tengah yang kini tegas menoleh padanya. Memberi tatapan teduh pada gadis yang jelas menunggu jawaban pasti keluar dari celah bibir merah muda miliknya itu.     

"Taruhan itu lo gunain untuk bisa deket sama Davira 'kan?" lanjutnya mengimbuhkan.     

Tidak! Sekarang ini bukan anggukan kepala yang diharapkan oleh gadis bermata kucing itu dari seorang Adam Liandra Kin. Melainkan sebuah gelengan kepalanya untuk menyanggah apa yang dikatakan dan ditanyakan oleh Kayla Jovanka.     

Adam diam sejenak. Menatap dalam-dalam sepasang lensa indah milik Kayla Jovanka. Mengerang ringan sembari tegas mengangguk untuk mengiyakan kalimat tanya yang dilontarkan padanya.     

"Dan Davira menerima ajakan gue," pungkasnya menutup kalimat.     

"Segitunya lo suka sama Davira?" tanya Kayla dengan nada melirih.     

"Hm. Sangat menyukai." Adam menjawab dengan nada tegas. Sukses membuat gadis di sisinya tegas menatap sembari menarik satu sisi bibirnya untuk menyeringai samar.     

"Kayla Jovanka atau Davira Faranisa?"     

"Davira Faranisa."     

Sial! Remuk sudah hati dan segala pengharapan Kayla untuk kembali mendapatkan ruang di dalam hati Adam Liandra Kin. Sekarang gadis itu paham benar. mengenal lebih dahulu bukan berarti memiliki peluang harapan untuk terus bersama dan mendapatkan segala rasa dari orang yang dicintainya.     

Adam mengajarkan Kayla bahwa sebuah fakta yang tak sesuai harapan adalah tamparan terkeras yang begitu menyakitkan. Bagai permen karet, posisi gadis itu kini benar-benar dibuang dan di tendang keluar dari dalam hati Adam Liandra Kin. Memilih gadis baru untuk mengisi hatinya sekaligus menggantikan posisi Kayla di dalam sana.     

"Hubungan kita benar-benar berakhir?" tanya gadis yang kini tegas memberi tatapan untuk remaja yang sejenak terdiam sembari ikut memberi tatapan pada gadis yang ada di depannya.     

"Lo masih temen baik gue."     

"Lo mau gue jadi kayak Arka? Orang bodoh yang menyukai sahabatnya dalam diam. Merelakan hatinya untuk dipatahkan secara sengaja hanya sebab mempertahankan sebuah persahabat?"     

Adam bungkam. Menatap Kayla yang kini menyeringai tajam.     

"Adam ... gue bukan orang sebaik itu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.