LUDUS & PRAGMA

107. Masa Remaja Penuh Tanda Tanya



107. Masa Remaja Penuh Tanda Tanya

0Arka menatap gadis yang kini masih kokoh menyandarkan tubuhnya ke dinding yang ada di belakangnya. Tangan kanannya sesekali meremas handuk kecil yang membungkus beberapa balok es kecil yang sedikit mencair sebab udara panas datang menyapa kalau tengah hari sudah tiba. Menempelkannya tepat di atas permukaan pipi kiri miliknya yang sedikit memerah selepas mendapat dua tamparan dari sang kakak.     

Remaja itu kini mendesah ringan. Selepas memaksa Rena untuk masuk ke dalam UKS dan membuatnya menunggu beberapa saat sebab Arka ingin mengambil es balok untuk mengompres pipinya.     

"Lo seriusan mau nungguin gue di sini?" Rena menyela. Melirik sekilas remaja jangkung yang sudah mengambil satu posisi nyaman dengan duduk di atas kursi dan menyandarkan tubuhnya ke belakang. Bertemu dengan dinginnya dinding UKS sebab pendingin ruangan sedang dinyalakan saat ini.     

"Ada yang mau gue tanyain." Arka menyahut dengan nada lirih. Memaksa Rena untuk sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Arka.     

"Soal Davira dan Adam?" tukas gadis berambut pendek itu mencoba menebak dengan asal.     

Arka menoleh. Menatap paras Rena yang kini tak sedang menampilkan ekspresi wajah apapun. Tak peduli? Bukan. Gadis itu hanya sudah bisa menebak apa yang ada di pikiran Arka Aditya saat ini.     

"Lo tau sesuatu tentang Davira dan Adam?"     

Rena tersenyum. "Gue menjual informasi dengan harga yang mahal. Lo berani beli berapa?" kekehnya di akhir kalimat.     

Arka berdecak. Bangkit dari tempat duduknya kemudian sigap merogoh dompet yang ada di saku celana abu panjang miliknya kemudian melemparkannya tepat jatuh di depan gadis yang kini mulai menyeringai tajam selepas melihat apa yang dilakukan Arka hanya untuk 'membeli' informasi pasal sang sahabat dengan si musuh bebuyutan, Adam Liandra Kin.     

"Boleh gue ambil semua?"     

"Ambil yang lo mau." Arka menyahut dengan nada ketus. Melirik Rena yang kini terkekeh kecil sembari kembali menyodorkan dompet untuk diberikan pada sang pemilik.     

"Gue cuma bercanda," paparnya menyodorkan dompet pada Arka.     

"Lo khawatir rupanya," lanjut Rena mengibuhkan. Sukses membuat Arka melipat keningnya samar sembari terus menyentralkan lensanya menatap gadis yang kini meletakkan handuk kecil dalam genggamannya ke atas meja kecil yang ada di sisi ranjang miliknya.     

"Lo khawatir kalau Davira beneran suka sama Adam dan ninggalin lo?"     

Arka diam enggan menanggapi kalimat dari gadis yang jelas menunggu jawaban lolos dari bibir tipis merah muda miliknya.     

"Davira masih binggung. Haruskah ia menyukai Adam dan memantapkan hatinya atau tetap dalam perasan yang tak jelas begini." Rena mulai menerangkan. Mengubah posisi duduk dan kembali memakai sepatu yang sempat dilepas olehnya.     

"Bukankah itu jadi tugas lo sebagai sahabat? Meyakinkan Davira untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tanpa menyakitinya ataupun Adam Liandra Kin." Gadis yang kini menatap tegas pada paras tampan milik Arka tersenyum ringan. Menepuk pundak remaja yang masih diam mengunci bibirnya rapat-rapat. Arka tak tahu, harus menanggapi dan menjawab bagaimana untuk merespon kalimat dari Rena barusan?     

"Dari yang gue lihat, Davira bukan tipe orang yang akan meninggalkan orang-orang berharga hanya untuk mendapatkan apa yang disukainya," papar Rena melanjutkan.     

"Kekhawatiran lo gak beralasan dengan jelas." Rena menutup kalimatnya. Tersenyum ringan kemudian memutar langkahnya untuk pergi meninggalkan Arka di dalam ruang UKS.     

"Dia sering melakukan itu ke lo?" Arka kini mulai membuka mulutnya. Menghentikan langkah gadis yang baru saja ingin keluar dan meninggalkan dirinya.     

Rena menoleh. Samar melipat keningnya sebab ia belum bisa mengerti arti dan maksud tujuan Arka menanyakan hal itu padanya.     

"Kakak lo. Lalita," sambung Arka melirih.     

Rena tersenyum ringan. "Dia adalah kakak yang baik sebenernya, cuma kadang dia brengsek. Lo tau sendiri 'kan kalau sebaik-baiknya manusia, pasti mereka memiliki sifat iblis yang sangat brengsek dan menyebalkan sebab manusia bukan Tuhan." Rena memungkaskan kalimatnya dengan senyum miring. Kembali melangkah dan mendorong pintu kaca yang ada di depannya. Melangkah keluar dan punggungnya hilang kala suara pintu tertutup dengan rapat.     

Sekarang Arka mulai paham mengapa sang sahabat begitu menyukai dan terlihat sangat nyaman kala bersua dan berbincang dengan Rena Rahmawati. Bukan hanya luka, namun Davira suka dengan cara gadis itu menanggapi dunia yang terlihat begitu keras dan menyebalkan untuknya.     

***LnP***     

Agungnya sinar senja kini mulai tenggelam sebab ditelan oleh gelapnya malam. Suara kerikan jangkrik datang mengeringi bersama rintikan hujan yang membasahi tanah bumi malam ini. Tiada bulatan indah rembulan di atas sana. Langit kosong sebab tak ada juga bintang bertabur yang indah membentuk motif acak di atas luasnya bentangan cakrawala.     

Gadis bersurai pekat itu kini menatap tegas bentangan luasnya langit bersama sang mama yang menemani. Bukan Arka Aditya. Bukan juga Adam Liandra Kin atau si teman dekat Davina Fradella yang menjadi alasannya menatap bentangan luas langit malam yang sudah mempurnakan indah dan jingganya cahaya senja penutup hari.     

Segelas susu cokelat hangat menemani obrolan ringan dengan sesekali jeda untuk menarik napas berat tanda malam ini tak setenang suasana yang sedang dilihat oleh sepasang mata telanjang.     

Awalnya, Diana tak bermaksud untuk datang dan menemani sang putri menikmati gelapnya langit malam yang mendung dengan menurunkan hujan gerimis dan hawa dingin semilir bayu yang berembus. Wanita itu hanya bermaksud datang dan menghantar segelas susu untuk sang putri. Namun, Davira sedang tak belajar. Hanya menatap langit kosong dengan sesekali bersenandung ringan untuk memecah keheningan yang ada.     

"Ada masalah di sekolah?" tanya sang mama memulai kembali percakapan selepas basa-basi mereka terjeda sebab tak ada lagi topik yang bisa dibicarakan oleh keduanya.     

Davira mengangguk ringan. Mengerang lirih tak mengubah arah tatapannya dan terus memfokuskannya untuk menatap luasnya bentangan cakrawala.     

"Soal temen? Atau soal—"     

"Soal Adam." Davira memotong kalimat sang mama. Membuat wanita yang ada di sisinya tegas menoleh dengan sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menelisik perubahan ekspresi wajah yang ada di atas paras cantik milik sang putri.     

"Adam yang kemarin ke sini itu?" tanya Diana dengan nada lembut.     

Davira mengangguk. Mungkin, bagi beberapa orang sebuah masalah pasal perasaan pada lawan jenis di masa puber begini adalah hal tabu dan terlalu bersifat pribadi untuk dibicarakan dengan orang tua mereka. Akan tetapi, bagi gadis yang kerap disapa dengan sebutan Davira itu, permasalahan begini adalah hal biasa yang bisa dibagikan dan dibicarakan dengan sang mama. Toh juga, ia tak ada teman berbicara selain mama dan Arka Aditya 'kan?     

Rena? Meskipun Davira menyukai kehadiran gadis itu, namun tetap saja. Rena adalah orang asing untuknya.     

"Kamu suka sama Adam?" Diana kembali membuka suaranya. Tersenyum ringan selepas kalimat dengan nada lembut penuh pengertian yang dilontarkan untuk sang putri selesai diucapkan olehnya.     

Davira diam. Menghela napasnya kasar kemudian melirik wajah sang mama yang masih kokoh mengembangkan senyum di atas paras cantik awet muda miliknya.     

"Enggak? Terus kalau bukan masalah itu karena apa? Jangan-jangan Adam gangguin kamu di sekolah?"     

Davira kini benar menoleh. Sesaat terdiam untuk benar menelisik arti tatapan yang diberikan oleh mamanya untuk dirinya saat ini. Kemudian menggelengkan kepalanya ringan tanda tak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Diana saat ini.     

"Mama pernah jatuh cinta 'kan?" tanya Davira asal. Sebenarnya tanpa gadis itu melontarkan pertanyaan dan menunggu sang mama untuk menjawab, Davira paham benar kalau Diana tentu pernah mendapat anugerah semacam itu dari Sang Pemberi Cinta.     

Mamanya mengangguk. "Tentu. Dengan papa kamu."     

"Dia adalah adalah cinta pertama mama?"     

Lagi-lagi Diana menganggukkan kepalanya tegas. Tersenyum ramah pada sang putri kemudian mengulurkan tangannya dan mengusap lembut helai demi helai rambut pekat milik Davira Faranisa.     

"Karena dia adalah cinta pertama mama, jadi mama sulit untuk melupakannya."     

"Meskipun laki-laki itu sudah membuat luka besar di dalam hati mama?" Davira kembali melempar satu pertanyaan yang sukses membuat mamanya sejenak terdiam. Menatap paras sang putri yang sedikit lain kali ini. Biasanya Davira akan menatap dengan penuh kemarahan kalau sudah membicarakan pasal sang papa, akan tetapi kali ini tidak seperti itu. Tatapan dan raut wajah milik sang putri, terlihat lunak dan bersahabat.     

"Karena dia adalah cinta pertama mama." Diana mengulang kalimatnya. Menegaskan pada sang putri bahwa ada satu keistimewaan yang hadir pada seseorang yang menjadi orang pertama dalam kehidupan percintaan kita. Orang yang berhasil mendobrak masuk dan meruntuhkan dinding yang ada di dalam hati kita. Melunakkan segala yang keras dan meruntuhkan segala yang berdiri di dalam sana adalah dia si orang istimewa yang tak akan pernah padam meskipun bara api cinta itu telah sirna dan pupus sebab tiup angin yang dilakukan oleh orang ketiga dalam sebuah hubungan.     

Diana ingin putrinya tau bagaimana rasanya menyimpan nama seseorang yang tak akan pernah bisa kita milikki kembali raga dan rasanya.     

"Mama pernah membenci papa?" tanya Davira dengan nada melunak.     

"Tentu pernah." Tegas Diana merespon.     

"Meskipun papa adalah cinta pertama mama?"     

Wanita paruh baya itu kini kembali mengembangkan senyum manis di atas paras cantik awet muda miliknya. "Karena mama adalah manusia bukan Tuhan. Membenci sebab merasa dikhianati adalah hal yang wajar bukan?"     

Davira mengangguk. Ikut tersenyum ringan sembari menatap teduh wanita yang sudah merawatnya kala sang papa benar-benar pergi dan memilih sebuah kehidupan baru bersama wanita sialan itu.     

"Ada yang salah dengan pertanyaan itu? Maksud mama—"     

"Davira sepertinya menyukai Adam." Gadis itu tegas menyela. Menundukkan wajahnya agar sang mama tak bisa menatap perubahan ekspresi yang ada di atas paras cantiknya.     

"Sepertinya? Itu artinya kamu gak yakin sama perasaan kamu?"     

Davira mengangguk samar. Perlahan mendongak untuk bisa menatap dengan benar wajah sang mama. "Davira takut akan bernasib sama seperti mama nantinya."     

"Seperti mama? Memangnya Adam itu mirip seperti papa?" kekeh wanita paruh baya itu sembari mengacak perlahan puncak kepala sang putri semata wayang.     

Davira bungkam sembari tegas menatap sang mama. Benar, apakah Adam itu sama identik dengan sang papa?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.