LUDUS & PRAGMA

105. Hari Baru Bersama Fakta Baru



105. Hari Baru Bersama Fakta Baru

0Riuh ramai tak pernah sepi adalah suasana yang terjadi kala jam istirahat datang menyapa. Memberikan celah pada siapa-siapa saja yang sudah berlelah dalam mendengarkan segala ocehan dari sang sang guru pasal kalimat-kalimat berteori juga angka-angka sialan yang tiada habisnya.     

Langkah kakinya memelan seiring dengan perawakan tubuh seorang gadis yang tak asing lagi untuknya sedang bersua bersama remaja jangkung yang menatapnya penuh kecurigaan. Mereka adalah Arka Aditya dan Rena Rahmawati.     

Tunggu Rena Rahmawati? Untuk apa gadis itu datang kemari di jam sekolah begini? Seragam yang dikenakannya masih rapi dengan satu tas punggungnya yang masih menggantung di atas pundaknya. Tak ada tanda-tanda bahwa gadis itu sedang membolos dan kabur dari sekolahnya.     

Davira berjalan mendekat. Menerobos kerumunan untuk bisa menjangkau posisi berdiri dua remaja yang masih tegas saling melempar tatapan satu sama lain.     

"Rena?" lirih Davira memanggil. Sejenak mengerutkan kedua sisi mata bulatnya untuk memastikan bahwa gadis berambut pendek yang sedikit jauh posisi dengannya berdiri itu adalah gadis baik yang begitu pandai menghadapi segala macam kondisi serta situasi baik juga buruk yang sedang terjadi padanya, Rena Rahmawati.     

Gadis berambut pendek dengan dua tindik di kedua ujung telinganya itu menoleh. Tersenyum ringan sembari melambaikan tangannya antusias untuk menyambut kedatangan gadis yang sudah dicarinya selama berpuluh-puluh menit lamanya. Memutar langkah kemudian berjalan mendekat pada Davira dan mengabaikan keberadaan remaja sialan yang terus saja menghujani pertanyaan ini dan itu terkait datangnya ia kemari.     

"Akhirnya kita ketemu juga," tukas Rena dengan nada penuh semangat. Tersenyum kuda di bagian akhir kalimatnya dan menghentikan langkah kala posisi yang diambilnya dirasa cukup pas untuk berbincang ringan dengan gadis berambut pekat panjang terurai di depannya itu.     

"K--kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya gadis di depannya melirik kertas yang ada di dalam genggaman tangan milik Rena. Kemudian kembali memusatkan tatapannya untuk menatap lensa pekat identik warna dengannya itu.     

"Aku pindah ke sini." Rena mempersingkat. Tak mau banyak berbasa-basi ini itu untuk menjelaskan alasannya datang di dalam lingkungan sekolahnya itu.     

"Gue curiga dia dipindahkan karena sikapnya yang kurang ajar sama guru." Arka menyela. Berjalan mendekat dan terhenti tepat di sela-sela Rena juga sang sahabat, Davira Faranisa.     

"Lo masih nuduh gue aja. Segitunya lo gak suka sama kehadiran gue?" sahut gadis bermata tajam dengan alis garis tipis yang indah duduk di atas sepasang kelopak mata ganda miliknya dengan nada ketus. Jikalau diingat tepat saat pertemuannya dengan Arka beberapa hari mungkin minggu lalu, remaja jangkung itu selalu saja membalas dengan nada bicara yang tak mengenakkan kalau didengar dengan baik. Ketus sedikit dingin dan tak acuh. Selalu menaruh curiga besar pada gadis yang benar-benar tak mempermasalahkan segala sikap aneh remaja jangkung yang kini memberi tatapan tajam padanya.     

"Alasannya?" Davira menyela dengan pertanyaan singkat. Melirik sang sahabat kemudian menarik lengannya menjauh agar bisa menatap paras Rena dengan benar.     

"Karena gue bikin kesepakatan," tuturnya tersenyum ringan.     

"Kesepakatan?" Davira mengulang untuk memastikan bahwa yang didengarnya barusan itu tak keliru.     

"Aku akan mengambil kuliah management perusahaan untuk meneruskan bisnis papa, asalkan bisa memilih di mana aku bersekolah, teman seperti apa yang ingin aku punyai, pacar yang bagaimana yang menjadi idamanku, dan mau kuliah di mana aku nanti."     

"Dan papa lo setuju?" Arka kembali menyela. Menarik sisi bibir merah mudanya tajam untuk bisa memberikan senyum seringai guna menanggapi kalimat penjelas dari Rena barusan.     

Gadis di depannya mengangguk ringan. Tersenyum pasti untuk memberi isyarat bahwa yang ditebak oleh Arka Aditya itu benar adanya.     

"Bukankah itu artinya kamu harus menutup mimpi untuk menjadi—"     

"Aku punya rencana lain nanti." Rena menyela. Terkekeh kecil untuk memungkaskan kalimatnya. Membuat gadis yang berdiri tegap mematung di depannya itu sejenak melipat keningnya samar sebab ia masih belum bisa mengerti dengan benar, sebenarnya bagaimana cara dan pola berpikir gadis di depannya itu?     

***LnP***     

Ketiganya kini berjalan ringan. Menapakki satu persatu ubin kotor yang samar memantulkan bayangan mereka.     

Arka terus menatap perubahan ekspresi wajah Davira yang kini melukiskan semburat kebahagiaan dan kenyamanan kala bisa berbincang ringan sembari menemani langkah keduanya untuk menghantar Rena masuk ke dalam kelasnya.     

Dalam cerita gadis itu, Rena dipindahkan ke dalam kelas IPA-1 dijajaran kelas pertama tepat sebelum kelas Davira dan Arka ditemukan. Bukan main semesta dalam memberikan kejutannya. Sebab Davira bahagia dan banyak memberi kasih untuk kejutan yang diberikan oleh semesta kali ini. Rena dihantarkan oleh semesta masuk ke dalam lingkungan sekolahnya sebagai seorang teman yang mampu menemani harinya kala Arka juga Davina sibuk dalam dunianya masing-masing. Meninggalkan Davira seorang diri bak si itik lepas dari induknya.     

"Kita bisa lebih akrab mulai dari sekarang," tukas Davira menyela. Menatap gadis yang kini menoleh dan mengangguk menatapnya dengan tatapan penuh kehangatan.     

"Tentu. Ngomongnya juga bisa pakai gue-lo 'kan mulai sekarang?" kekeh Rena menutup kalimatnya.     

Davira mengangguk. Ikut tertawa ringan mengimbangi aktivitas tawa yang dilakukan oleh gadis berambut pendek menggantung di bawah telinganya itu.     

Arka ikut tersenyum. Menatap sang sahabat bahagia, tentu adalah kebahagiaan tersendiri untuknya sekarang ini. Davira yang dikenalnya bukanlah gadis yang mudah bergaul dan berinteraksi nyaman dengan orang asing. Namun, Rena sedikit lain. Gadis yang memiliki luka sama besarnya dengan Davira itu mungkin adalah si teman baik yang akhirnya bisa menjadi pelampiasan bahagia untuk Davira Faranisa.     

"Jangan lupain gue," sela Arka dengan nada lirih.     

Davira dan Rena menoleh bersamaan. Davira kenudian tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya tegas sembari mengerang untuk mengiyakan kalimat candaan dari sang sahabat, Arka Aditya.     

"Ngomong-ngomong gimana lo bisa betah punya sabat kayak dia?" Rena menimpali. Sekali lagi melirik remaja jangkung yang ikut meliriknya dengan tatapan tak acuh.     

"Dia orang yang baik kok sebenernya. Cuma kadang sialan aja."     

"Tapi lo sayang gue 'kan?" tukas Arka mengacak kasar puncak kepala gadis yang ada di depannya.     

Rena menoleh sejenak pada Davira yang kini kasar berdecak untuk mengekspresikan kekesalan yang ada di dalam hatinya kali ini. Gadis itu membenci sang sahabat kalau sudah bertingkah bak bocah dengan mengacak kasar rambut indah nan halus miliknya.     

"Lo sayang sama dia? Terus Adam?" Rena menyahut. Sukses menghentikan aktivitas Davira yang baru saja ingin membenarkan helai demi helai rambutnya yang masih berantakan. Menatap sejenak Arka yang kini terhenti sembari tegas menyorotkan lensa hitam miliknya untuk Rena Rahmawati.     

"A--apa maksud lo dengan nyebut Adam?" gerutu Davira melirih. Kembali melanjutkan aktivitasnya yang sejenak terhenti.     

"Davira bilang dia sayang sama Adam?" tanya remaja jangkung yang kini tegas menarik lengan gadis berambut pendek di depannya. Menghentikan paksa langkah dua gadis yang berjalan ringan di depannya.     

Davira ikut menoleh. Menatap paras tampan milik Arka yang sukses berubah raut wajahnya kala nama Adam disebut oleh Rena Rahmawati.     

Rena terdiam. Ditatapnya sepasang lensa yang jelas menunggu harapan agar dirinya melanjutkan kalimat untuk mengonfirmasi apa yang baru saja dikatakannya itu. Bukan tentang nama Adam yang diselipkan dalam kalimatnya, namun pasal kata sayang yang ada sebelum nama Adam disebut.     

"Kenapa lo jadi peduli!" tukas Rena kasar melepas genggaman erat jari jemari panjang milik Arka Aditya. Kembali melanjutkan langkahnya untuk menyusuri lorong sekolah yang kini mulai menampilkan jelas ruang dengan satu papan kecil bertuliskan 'Kelas IPA-1' di ujung lorong.     

Remaja jangkung yang ada di belakangnya kini kembali diam. Menatap paras sang sahabat yang jelas terus mencoba untuk menghindari tatap muka dengannya saat ini.     

Benarkah itu? Tentang Davira yang memilih memberi pengakuan pada Rena terkait perasaannya teruntuk Adam Liandra Kin. Alih-alih memilih Arka Aditya sebagai sang sahabat-lah yang menjadi temannya beradu rasa sedang, susah, duka, dan bahagia, Davira memilih orang asing untuk menjadi tempat peraduannya.     

"Rena?" lirih suara menyela langkah ketiganya. Memaksa baik Davira, Rena, maupun Arka Aditya untuk sejenak terhenti dan menatap paras tampan seorang remaja berponi belah tengah yang kini tegas berdiri dan mengarahkan sentral lensa pada mereka.     

Ada satu pemandangan yang sedikit asing di sini. Adam bersama dengan Davina Fradella alih-alih bersama Kayla Jovanka.     

"Tumben lo sama Davina," papar Arka melirik gadis yang kini menoleh padanya kala namanya disebut jelas oleh Arka.     

"Gue habis ada urusan basket tadi. Gue butuh Davina buat mencatat dan melakukan chek ulang." Adam menerangkan dengan terus menatap paras Davira yang sejenak melirik kemudian tegas menoleh kala menyadari bahwa Adam sedang berkata dengan menatapnya penuh ketegasan.     

"Dari pagi lo gak ada di kelas karena—"     

"Gue bilang cuma sebatas urusan basket. Lo mau kita berantem lagi kayak kemaren?" Adam kini mulai meninggikan nada bicaranya. Berdecak kasar untuk menutup kalimat yang baru saja diucap dengan nada ketus.     

"Kalian selalu begini? Maksud gue, luka yang ada di wajah kalian. Kalian selalu bertengkar karena hal-hal kecil seperti tadi?"     

"Davira bukan hal kecil." Adam menyahut. Kembali menatap gadis yang kini menoleh sembari sedikit mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap dengan benar Adam Liandra Kin.     

"Jangan bawa sahabat gue untuk tingkah sok jagoan—"     

"Bukankah lo yang sok jagoan di sini?" Adam kembali menyela. Tersenyum seringai sembari menggelengkan kepalanya samar.     

"Lo yang mulai pertengkaran sama cewek kemaren sore dan ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya. Melangkah maju untuk mendekat pada remaja yang kini tegas menitikkan lensa matanya untuk memberi tatapan tajam bak elang yang sedang membidik untuk Adam Liandra Kin.     

"Melukai sahabat lo sendiri. Gue pikir lo adalah orang gila yang gak tau diri." Adam melirih.     

Arka sigap menarik kerah baju remaja yang ada di depannya. Menatap dengan tajam sembari menahan amarah yang mengebu-gebu dalam dirinya saat ini. Sekarang Arka paham dan menyadari satu hal, yang membuatnya murka pada Adam bukan pasal cacian dan makian serta kalimat pedas yang dilontarkan oleh remaja jangkung itu. Namun, amarah sebab rasa tak sukanya pada si remaja juga kekhawatiran yang ada di dalam dirinya kali ini. Kala melihat wajah Adam, Arka khawatir jikalau remaja itu benar merebut Davira darinya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.