LUDUS & PRAGMA

120. Perasaan yang Aneh : Marah dan Sedih.



120. Perasaan yang Aneh : Marah dan Sedih.

0Tetes embun di atas permukaan gelas kaca yang berisi minuman manis dengan satu jeruk penghias di salah satu mulut gelas dan satu sedotan panjang yang menemani kini mulai terekam jelas oleh sepasang lensa gelap yang kini menyentalkan tatapannya untuk menatap gadis sialan yang sudah mengiriminya spam pesan. Awalnya Davina mengabaikan, tak ingin mengakhiri harinya dengan bersua dan berbincang bersama Kayla Jovanka sebab itu akan sangat membosankan juga sangat menyebalkan. Meskipun rasa yang sedang ada di dalam hati mereka berdua sama, namun tetap saja Davina adalah teman baik dari Davira Faranisa. Ia memang membenci fakta bahwa Davira mencintai Adam begitu juga sebaliknya, akan tetapi ia lebih membenci Kayla yang terus saja berusaha akrab dan dekat dengannya untuk memprovokasi Davina agar mau membantunya menghancurkan segala harapan Davira Faranisa teruntuk Adam Liandra Kin.     

"Langsung ke point-nya." Davina menyela. Menatap Kayla yang baru saja menyeruput kasar minuman dingin yang dipesannya bersama dengan menu andalan milik Davina Fradella Putri.     

Gadis bermata kucing itu tersenyum ringan. Meletakkan gelas yang ada di dalam genggamannya kemudian menatap Davina. Paras gadis yang duduk rapi sembari melipat tangannya rapi di atas perut dan menyilangkan kakinya terlihat benar-benar tak bersahabat kali ini.     

"Adam pacaran sama Davira." Tegas, singkat, padat, dan jelas. Seperti yang diminta Davina sebelum Kayla memulai membuka mulut dan berbicara dengan suara lirih nan santai.     

Gadis bermata bulat di depannya itu kini terdiam sejenak. Memberi tatapan kosong tak berekspresi apapun selepas Kayla Jovanka memungkaskan kalimatnya.     

"Gue tau lo terkejut sekarang ini 'kan?" kekeh gadis bermata kucing itu lirih.     

"Gue marah," balas Davina memalingkan wajahnya. Menatap jendela besar yang sedikit jauh dengan posisinya duduk saat ini sebab Kayla dan dirinya memilih meja tengah ruangan kafe.     

Demi apapun, Davira menyesal memenuhi panggilan dari Kayla dengan datang kemari selepas menyelesaikan les privatnya beberapa menit yang lalu. Jikalau ia tak datang dan bersua dengan si sialan menyebalkan ini, maka hatinya tak akan panas. Perasaannya tak akan hancur dan dipatahkan oleh keadaan, serta batinnya tak akan memaki dan mengumpati dirinya sendiri saat ini. Davina bodoh dengan memilih diam dalam mencintai Adam. Menatap dari kejauhan dan memutuskan untuk berlaku serta berjalan secara hati-hati. Imbasnya, ia terlambat dan pupus sudah segala harapan bahagia bisa bersama Adam Liandra Kin.     

"Apa tujuan Lo ngomong kayak gitu ke gue? Karena Lo pikir Davira gak akan jujur sama gue?" Davina kini menyela. Mengubah ekspresinya dengan senyum tajam mengimbangi apa yang dilukiskan oleh Kayla Jovanka untuknya.     

Kayla menggelengkan kepalanya. "Gue sedang berbagi cerita. Karena posisi kita sama."     

"Dan lo mau gunain gue buat menghancurkan hubungan mereka?" sahut Davina membuat Kayla kini menghentikan aktivitasnya sejenak. Menatap gadis yang menunggu jawaban pasti darinya saat ini. Benar, tebakan asal milik Davina memang benar adanya.     

"Lo pikir dengan kita duduk berdua seperti ini artinya lo adalah temen gue sekarang?" Davina terkekeh ringan. Menyentalkan lensa matanya untuk menatap perubahan wajah milik Kayla Jovanka. Kayla paham, bahwa ia sedang salah sasaran kali ini. Diamnya Davina selama ini bukan berarti gadis itu memihak dan mau menerima uluran tangan kerja sama dengannya, diamnya Davina adalah sebuah cara untuk menelisik dan menerka bagaimana cara berpikir lawan mainnya.     

"Gue pasti merusak hubungan mereka. Dengan cara gue sendiri." Davina menghentikan sejenak kalimatnya. Sedikit mencondongkan badannya ke depan untuk bisa mendekat dan mengintimkan posisinya dengan Kayla Jovanka yang masih terdiam sembari memberi tatapan tajam dan menunggu Davina untuk melanjutkan kalimatnya.     

"Lo pikir setelah gue berhasil menghancurkan mereka, gue bakalan ngasih Adam ke lo?" Gadis bermata bulat itu kini tertawa kecil nan lirih. Sukses memicu perubahan ekspresi di atas paras oriental milik Kayla Jovanka.     

"Bagi gue, orang lain yang membenci musuh gue, adalah musuh gue yang lain," pungkasnya menutup kalimat.     

Kayla diam. Menatap paras gadis yang kini tersenyum miring untuknya. Kayla paham, bahwa Davina lebih licik darinya. Diamnya bukan sebab ia pasrah dengan takdir buruk yang menimpanya, namun sebab dirinya sedang memahami keadaan. Menerka dan menelisik apa yang sedang terjadi padanya saat ini dan memikirkan tindakan apa yang pantas dilakukan olehnya selanjutnya. Ya, Davina adalah gadis yang seperti itu.     

***LnP***     

Lalita Rahmawati kini diam menatap pintu kayu yang ada di depannya. Setelah sekian kali mengetuk dengan nada sedang, ia masih kokoh menunggu jawaban dari sang pemilik ruangan untuk dengan baik hati membukakan pintu dan menyambutnya dengan ramah. Menghantarkannya masuk ke dalam kamar dan menjamu dengan baik dan sopan. Meskipun Lalita paham benar, bahwa sang adik tak akan pernah bisa dan mau untuk melakukan hal sesulit itu.     

Rena membenci kakaknya terlebih dari apa dan siapapun yang menjadi musuhnya dalam menjalani hidup, jadi mustahil ia akan menyambut dan berbincang dengan nada dan ekspresi baik dengan Lalita.     

Lalita kini mendorong perlahan pintu kayu yang ada di depannya. Berjalan masuk dengan sesekali menelisik setiap bagian ruangan untuk mencari keberadaan sang adik semata wayang. Rena tak ada di atas ranjangnya. Jendela kamarnya sedikit terbuka dan gemercik suara air yang jatuh menghantam ubin kasar di bawahnya terdengar samar masuk ke dalam lubang telinga Lalita sebelum akhirnya suara gagang pintu kasar ditekan. Pintu di buka dengan kasarnya dan perawakan tubuh ramping nan tinggi seorang gadis dengan ujung rambut yang masih basah keluar dari kamar mandi di sudut ruangan. Menatap Lalita dengan tatapan sedikit terkejut sebab ia sudah pernah mengatakan bahwa Rena membenci kelancangan sang kakak yang datang menerobos masuk ke dalam kamarnya tanpa seijin dari Rena.     

"Kakak cuma mau nganter makan malam." Lalita tiba-tiba saja berucap. Tak mau Rena meneriaki atau mengusirnya dengan kasar selepas aksi lancangnya masuk ke dalam kamar gadis yang dua tahu lebih muda darinya itu.     

"Kamu gak denger waktu kakak ketuk pintunya. Jadi kakak—"     

"Keluar." Rena menyahut. Melempar kasar handuk yang ada di dalam genggamannya kemudian berjalan ringan ke arah jendela kamar dan menutupnya.     

"Kenapa ditutup. Mau tidur jam segini?" tanya Lalita sedikit lembut. Mencoba untuk kembali mengambil fokus sang adik yang masih tak acuh akan keberadaannya saat ini.     

"Keluar. Aku mau istirahat."     

Lalita tersenyum singkat. Meletakkan nampan yang ada di dalam genggamannya kemudian mengangguk samar. "Kalau sudah selesai makan, jangan lupa bawa piring—"     

"Keluar," balas sang adik dengan nada malas. Memutar tubuhnya kemudian menatap gadis yang setara tinggi dengannya itu.     

"Oke. Kakak akan keluar," sahutnya memutar langkah. Berniat hati ingin keluar dari kamar Rena. Akan tetapi, langkahnya terhenti kala ia melihat sebuah kotak besar berada di belakang pintu tepatnya di pojok ruangan yang samar dilihat sebab cahaya sedikit remang di sana.     

Lalita memutar langkahnya. Berjalan tegas menuju ke sudut ruangan untuk memastikan bahwa yang ada di dalam sana bukanlah pakaian si adik yang berencana untuk minggat dari rumahnya.     

"Jangan mendekat," perintah Rena dengan nada malas. Mencoba untuk memperingatkan sang kakak dengan cara yang sopan kali ini.     

"Aku bilang jangan—" Kalimat gadis berambut pendek itu terpotong kala sang kakak dengan sigap membuka kotak dan melihat isinya. Kemudian menoleh pada Rena yang membuang tatapannya sembari mendesah kasar.     

"Kamu beneran daftar ke grup musik itu?" tanya Lalita mengernyitkan dahinya.     

Rena bungkam. Enggan menjawab untuk berkomentar saat ini. Hanya bisa menghela napasnya sebab ia bodoh! Bagaimana bisa ia lupa mencari tempat untuk menyembunyikan rahasianya dari sang kakak?     

"Rena! Jawab kakak!" bentak Lalita berjalan mendekat pada sang adik.     

Rena tetap diam. Menatap gantungan kunci kecil yang indah menggantung di atas tas punggung yang biasa ia bawa ke sekolah. Kemudian menyeringai samar sebab ia benci takdirnya! Mengapa Lalita yang menjadi kakaknya bukan Davira Faranisa yang menjadi orang terdekat dengannya saat ini? Bahkan orang lain saja mampu mendukung apa yang menjadi keinginan dan mimpinya, namun orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga hanya bisa menghakimi dan menghancurkan rasa percaya diri dan harapannya untuk menggapai mimpi.     

"Rena! Kakak sedang—"     

"Hm! Aku mendaftar kemarin siang," sahutnya dengan tegas. Sukses membuat sang kakak bungkam dengan menghela napasnya tak percaya. Gadis sinting ini merusak segalanya!     

"Kakak boleh punya mimpi dan harapan, kenapa aku gak boleh?!" Rena kini meninggikan nada bicaranya. Membentak gadis yang hanya diam sembari mendengarkan.     

"Apa bedanya mimpi kakak dan mimpi Rena? Sama-sama tak berguna bukan?" Gadis itu kini mengimbuhkan. Tegas air mata mulai mengalir membentuk sungai kecil yang membasahi pipi tirus miliknya.     

"Tapi kenapa papa dan mama lebih menghargai mimpi kakak sebagai seorang balerina ketimbang mimpiku sebagai seorang pemusik?" tanya Rena melirih. Gadis itu kini menundukkan wajahnya. Menyeka kasar air mata yang turun kian deras sebab ia tak kuasa lagi untuk membendungnya saat ini.     

"Karena mimpimu murahan," sahut Lalita dengan nada lirih. Kalimat singkat itu cukup membuat Rena mendongakkan wajahnya. Menatap sang kakak dengan tatapan penuh ketidak percayaan darinya.     

"Caramu menggapainya itulah yang membuat mimpimu terdengar hanya omong kosong dan sangat murah." Lalita melanjutkan.     

"Sudah berapa kali kakak katakan padamu, jadilah pintar jika kamu ingin papa dan mama melihat ke—"     

"Apa terlahir sebagai orang bodoh adalah salahku?" Rena menyela. Membuat sang kakak terdiam tak mampu banyak berbicara lagi kali ini.     

"Jika boleh memilih aku tak ingin hidup seperti ini! Aku bahkan membenci diriku sendiri karena aku tak bisa seperti kakak. Aku tak cantik! Aku tak pandai! Aku juga tak berpotensi seperti kakak! Aku tak bisa diandalkan karena itu mama dan papa menggunakan aku untuk menuruti semua permintaannya," teriaknya dengan lantang. Mengabaikan rasa sakit yang kini jelas menghujani di dalam hatinya. Hal yang paling membuat luka di dalam hati Rena terasa begitu sakit adalah sebab orang tuanya tak pernah mempercayai dirinya dalam menyusun dan membangun masa depannya sendiri. Menghancurkan semua harapan dan mimpi yang dicintai Rena adalah kemampuan yang dimiliki oleh kedua orang tuanya saat ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.